Opini

Zionisme Ugal-ugalan: Menilik Ideologi Nation-Building Israel

Mengupas Zionisme di tengah konflik Israel dan Palestina

Sumber Gambar: Freepik

Konflik antara Israel dan Palestina kembali merebak pasca serangan dadakan yang dilakukan oleh Brigade Izzaddin Al-Qassam, sayap militer partai Hamas, dari Jalur Gaza ke berbagai wilayah Israel. Serangan Brigade Al-Qassam yang dilakukan pada tanggal 7 Oktober silam, dengan nama Operasi Banjir Al-Aqsa, mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa dan luka-luka dari pihak Israel serta menawan 243 orang. 

Selang beberapa waktu,  per tanggal 29 Oktober menurut situs palinfo.com, Israel melancarkan serangan balasan dengan membombardir Jalur Gaza yang telah menyebabkan lebih dari 9 ribu korban jiwa dan 20 ribu lebih korban luka-luka, yang di mana sebagian besar adalah rakyat sipil. Israel lebih lanjut mengancam akan memutus pasokan air dan listrik ke Jalur Gaza apabila Hamas tidak membebaskan 243 tawanan yang mereka tangkap pada Operasi Banjir Al-Aqsa. 

Tak hanya itu, Israel juga menyeru populasi Jalur Gaza bagian utara, yang berjumlah sekitar 1,1 juta jiwa untuk mengungsi ke arah selatan sebagai langkah antisipasi invasi darat berskala besar. Ini merupakan bentuk respons Israel atas serangan yang dilakukan oleh sayap militer partai Hamas, Brigade Al-Qassam.

Bila kita menilik akar permasalahan antara Israel dan Palestina, kita tidak bisa menghindarkan pembicaraan tentang alasan berdirinya kedua negara tersebut. Israel berdiri didasari oleh gerakan nasionalisme bangsa Yahudi, dikenal dengan Zionisme, yang menginginkan wilayah di mana bangsa Yahudi dapat hidup secara bebas dan aman. Aspirasi yang masuk akal mengingat bangsa Yahudi hidup secara “luntang-lantung” di berbagai penjuru dunia selama ribuan tahun dan mengalami persekusi di mana pun mereka menetap. 

Di lain sisi, Palestina “dimerdekakan” oleh Inggris dari Kekaisaran Utsmani pasca Perang Dunia I sebagai pemenuhan Perjanjian Sykes-Picot antara pihak Inggris dan Perancis dalam upaya mereka mengkolonisasi wilayah Timur-Tengah dan menamai wilayah baru tersebut dengan nama Mandat Palestina. Benih permasalahan ditabur oleh pihak Inggris ketika mereka mengakomodasi ide Zionisme dengan menjanjikan daerah Mandat Palestina sebagai “rumah” bangsa Yahudi.

Mandat Palestina yang saat itu memiliki penduduk mayoritas Arab tiba-tiba kebanjiran imigran Yahudi yang berasal dari Eropa. Hal itu menyebabkan terjadinya gesekan antara komunitas pendatang dan komunitas penetap dan berujung pada konflik bersenjata pada tahun 1947. 

Dalam menyikapi kejadian tersebut, pihak Inggris sebagai penanggung jawab wilayah Mandat Palestina pada saat itu, memutuskan untuk membagi wilayah Mandat Palestina menjadi negara Israel dan beberapa wilayah lainnya diserahkan pada Kerajaan Yordania dan Mesir. Rakyat Palestina tidak memiliki institusi representatif yang independen secara resmi, hingga terbentuknya Organisasi Pembebasan Palestina pada tahun 1964.

Zionisme secara umum berbicara tentang pengadvokasian berdirinya negara di mana bangsa Yahudi dapat hidup tanpa adanya persekusi seperti yang telah mereka alami sejak ribuan tahun yang lalu. 

Dalam kasus berdirinya negara Israel, Zionisme yang dianut bukan hanya menginginkan negara-bangsa Yahudi, tetapi negara-bangsa Yahudi dengan orang-orang Yahudi sebagai penduduk mayoritas di dalam negara yang didirikan dengan meminimalisir (baca: menihilkan) peran penduduk beretnis Arab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti yang dijelaskan oleh Noam Chomsky dan Ilan Pappe dalam buku On Palestine. 

Konsep ini sangat bermasalah mengingat wilayah berdirinya negara Israel memiliki demografi yang sangat majemuk dengan bangsa Arab yang beragama Islam sebagai penduduk mayoritas. Oleh karenanya, untuk mencapai tujuan tersebut, Israel mengambil langkah-langkah dengan mengesampingkan legalitas untuk menguasai tanah Palestina sebanyak-banyaknya dan mengisinya dengan penduduk-penduduk Yahudi. 

Orang-orang Arab sebagai pemilik tanah dan penduduk asli dipaksa untuk menyingkir ke daerah-daerah lain. Pengusiran dan pencaplokan wilayah besar-besaran oleh Israel terjadi pada 1948, yang dikenal dengan istilah Nakba, di mana 700.000 warga Palestina diusir secara paksa dan Israel mendeklarasikan kemerdekaannya dengan mengklaim 78% Mandat Palestina sebagai bagian dari negaranya. 

Hal tersebut merupakan dampak dari kemenangan Israel pada konflik yang terjadi di tahun yang sama dan menjadi tren pada konflik-konflik selanjutnya. Oleh sebab itu, Israel hanya “menyisakan” wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza, yang perbatasannya dijaga sangat ketat oleh militer Israel, sebagai tanda “kemurahan hatinya” pada rakyat Palestina dan juga sebagai suaka bagi orang-orang Arab yang telah diusir dari tempat tinggalnya oleh militer Israel.

Dalam kasus Jalur Gaza, saking ketatnya penjagaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Israel, daerah itu dapat disebut sebagai penjara-terbuka terbesar yang pernah ada di muka bumi dengan populasi lebih dari 2 juta jiwa yang menempati wilayah sebesar 365 km2. Dengan demikian, Jalur Gaza secara efektif memiliki peran kamp konsentrasi layaknya Auschwitz pada tragedi Holocaust saat Perang Dunia II. 

Sebuah ironi luar biasa mengingat kebijakan rasis nan apartheid tersebut dilakukan secara sadar oleh Israel yang salah satu alasan berdirinya ialah menghindarkan bangsa Yahudi dari hal yang sama persis seperti yang terjadi di Jalur Gaza.

Kisah berlatar sedih di balik Zionisme tidak dapat menjadi pembenaran atas kebijakan, atau bahkan berdirinya, negara yang bernama Israel yang menyebabkan terusirnya, laparnya, dan terbunuhnya rakyat Palestina. Tidak logis rasanya mengasihani dan memaklumi seorang “maling” dengan alasan ia terpaksa menjadi maling karena harta bendanya habis dimalingi oleh orang lain.

Tidak logis juga rasanya orang yang mempertahankan dirinya dari maling tersebut justru dikecam oleh warga karena tidak bisa bersimpati pada kisah sedih maling tersebut. Apapun perlawanan dari rakyat Palestina selalu, dan akan seterusnya, berupa reaksi atas tindakan kolonial Israel. Seperti ucapan yang dinukil dari Tan Malaka, “Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya”, kira-kira begitulah ringkasan semangat perjuangan rakyat Palestina melawan eksistensi dan kebijakan imperialis-kolonialis Israel. 

Ratusan rumah yang luluh lantak serta ribuan nyawa hilang bersimbah darah seakan tak menghentikan perjuangan rakyat Palestina untuk merebut kembali wilayah mereka dan hidup di negara Palestina yang berdiri di atas tanah leluhur mereka sendiri. 

Ghassan Kanafani, seorang sastrawan Palestina sekaligus anggota Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina, dalam wawancaranya dengan Richard Carleton pada tahun 1970 menjabarkan alasan rakyat Palestina rela menumpahkan darah demi melawan rezim Zionis Israel dengan kalimat berikut, “...to us, to liberate our country, to have dignity, to have respect, to have our mere human rights, is something as essential as life itself!”. Baginya, dan memang seharusnya, kehidupan tanpa harkat martabat serta kemerdekaan tak layak untuk dipertahankan.

Opini ditulis oleh Zain Aqil Hidayat, Koordinator Komunitas Laboratorium Intelektual Humanawa, FIB 2018.



Kolom Komentar

Share this article