Opini

Tidak ada PR di Finlandia: Surat Terbuka untuk Rektor Unmul

Komersialisasi pendidikan dan konsekuensinya

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Ada satu hal menarik yang baru saya ketahui setelah bergabung di sebuah komunitas bernama Muda Mengajar. Rupanya, sejak 2013 pemerintah mencabut mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar (SD) negeri. Mata pelajaran itu dicabut bersamaan dengan dicabutnya mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes) serta Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Karena itulah, Muda Mengajar didirikan. Komunitas ini berusaha mengajar bahasa Inggris bagi mereka yang kurang mampu. Kebijakan itu berpotensi menghasilkan ketimpangan. Mereka yang mampu secara finansial dapat mengakses pendidikan bahasa Inggris lewat sekolah swasta atau kursus privat. Sementara, mereka yang hanya mampu bersekolah di sekolah negeri akan kehilangan akses tersebut.

Kenyataannya pun ternyata lebih mengerikan dari itu.

Norimitsu Onishi, seorang jurnalis New York Times menyoroti kengerian itu dalam artikel berjudul As English Spreads, Indonesians Fear for Their Language. Dalam tulisannya, ia memaparkan bagaimana bahasa Indonesia mulai dilupakan oleh anak-anak dari keluarga menengah ke atas di Jakarta. Di sekolah-sekolah swasta tempat mereka belajar, bahasa Inggris menjadi bahasa utama. Orang tua mereka pun kemudian membiasakan anak-anaknya berbahasa Inggris di rumah. Pekerja rumah tangga mereka pun diwajibkan untuk dapat berbahasa Inggris.

Sheryl Sheinafia, salah satu musisi pop Indonesia merupakan salah satu contohnya. Meski lahir dan besar di Indonesia, ia tak mampu berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia baru mulai ia pelajari setelah menjadi musisi. Hal itu ia ungkapkan dalam sebuah sesi podcast bersama Raditya Dika.

Tulisan saya bukan soal pudarnya bahasa Indonesia, yang mengerikan bagi saya adalah: sementara tidak ada akses belajar bahasa Inggris yang mumpuni untuk anak-anak kurang mampu, mereka yang memiliki akses lebih justru fasih berbahasa Inggris seolah itu bahasa ibu mereka.

Ini tentu saja menunjukkan jurang ketimpangan yang semakin lebar.

Pendidikan di Finlandia

Finlandia merupakan negara yang lekat dengan sistem pendidikan yang maju. World Economic Forum pun mengakui ini. Finlandia dijuluki sebagai negara dengan most well-developed education in the world (Edukasi paling maju di Dunia).

Banyak orang salah kaprah mengenai penyebab kemajuan pendidikan di Finlandia. Ada yang menilai bahwa ketiadaan pekerjaan rumah atau PR (homework) adalah penyebabnya. Pendidikan di Finlandia memang memberikan ruang eksplorasi bagi anak didiknya dan meminimalisir jumlah PR. Namun, anggapan ini mengabaikan gambaran yang lebih besar: bahwa pendidikan di Finlandia gratis untuk semua orang.

Dalam lima puluh tahun terakhir, Finlandia telah melarang komersialisasi pendidikan. Dari jenjang SD hingga perguruan tinggi, penarikan biaya untuk pendidikan dilarang. Baik kalangan menengah ke atas maupun kalangan menengah ke bawah mendapatkan akses pendidikan yang sama. Mereka masuk ke sekolah dan perguruan tinggi negeri. Pendidikan gratis itu dibiayai oleh negara yang dananya berasal dari pajak.

Singkatnya: Tidak ada sekolah dan perguruan tinggi swasta di Finlandia.

Rektor Unmul dan PTN-BH

Pendidikan Indonesia justru menunjukkan kenyataan sebaliknya. Ketika Finlandia melarang  komersialisasi pendidikan, negara ini justru melakukan ‘swastanisasi’ terhadap pendidikan negeri. Hal itu terlihat dalam kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Singkat kata, perguruan tinggi negeri dialihfungsikan layaknya perusahaan. Pendirian unit usaha dibolehkan dan pengelolaan dana dilakukan secara mandiri. Anggaran yang dikucurkan dari negara pun akhirnya dikurangi.

Kampus-kampus besar di Indonesia telah menerapkan ini. Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) adalah beberapa contoh di antaranya. Rektor Universitas Mulawarman, Abdunnur pun ingin menjadikan kampus yang dipimpinnya seperti kampus-kampus besar tersebut. Status PTN-BH merupakan salah satu target dalam periode kepemimpinannya.

Sayangnya, PTN-BH mempunyai konsekuensi besar. Salah satunya adalah risiko kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Tentu saja, menaikkan biaya kuliah memang menjadi cara paling mudah untuk mendapatkan pemasukan ketika anggaran dari negara sudah dikurangi.

Kasus mahasiswi UNY bernama Nur Riska Fitri Aningsih adalah contoh konkretnya. Sejak 2022, kampusnya resmi menjadi PTN-BH. Ia pun mesti membayar biaya UKT yang mahal, padahal berasal dari keluarga tidak mampu. Cuti kuliah pun diambilnya sambil meminjam sana-sini. Awal 2023, dia wafat di tengah cuti kuliahnya.

Riska ternyata bukan satu-satunya. Mahalnya UKT berdampak bagi banyak mahasiswa dan mahasiswi UNY. Seorang mahasiswa yang namanya disamarkan berkata, ia bahkan sampai harus bekerja sambilan dan menjual sapi milik keluarganya.  

Percayalah, bahkan sekarang pun banyak mahasiswa dan mahasiswi Unmul yang bekerja sambil kuliah. Kuliah hingga siang, bekerja dari sore sampai malam. Ada pula yang bekerja untuk wedding organizer di akhir pekan. 

Sebagian mungkin melakukannya untuk mencari pengalaman. Namun, sebagian besar melakukannya karena terbebani biaya UKT. Bahkan ada yang juga harus menanggung biaya listrik rumah dan kesehatan orang tuanya. Lakukan saja surveinya kalau tidak percaya.

Maka, saya hanya meminta satu hal kepada Abdunnur, Rektor Unmul kita tercinta: pertimbangkan baik-baik keputusan menjadikan Unmul PTN-BH. Ada banyak cara alternatif menjadikan kampus ini lebih baik.

Jangan sampai nantinya mereka yang kurang mampu tak dapat lagi berkuliah. Di mana membayar biaya kuliah perguruan tinggi negeri saja mereka tak mampu, swasta apalagi.

Pendidikan harusnya bukan privilege yang hanya dimiliki oleh anak orang kaya seperti anak wakil gubernur. Pendidikan seharusnya adalah hak yang dapat diakses dan dimiliki semua orang. Tanpa terkecuali.


Opini ditulis oleh Muhammad Al Fatih, mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP 2022.




Kolom Komentar

Share this article