Terima Kasih, Pak Ahok!
Simak sebuah opini yang ditulis oleh Darul Asmawan, mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP 2013. (Foto: Istimewa)
Judul di atas mungkin terkesan satire, bahkan banyak orang yang kontra Ahok menyebut kata itu salah alamat, tidak pada tempatnya. Pun demikian, saya tak ragu memakai kata itu sebagai front-line tulisan ini. Apakah mengucap ‘terima kasih’ pada penista agama adalah nonsense? Ternyata tidak juga.
Saya memercayai sebuah filosofis yang diajarkan Taoisme: Yin dan Yang. Artinya, jika kita melihat sifat Yin (negatif), maka yakin dan percayalah selalu ada sifat Yang (positif) bersamanya. Mereka berhubungan, mereka tak bisa dipisahkan. Filosofis ini juga di-aamiin-kan kitab umat islam: Al-Qur’an.
Surah Yassin ayat 36 menyirat makna serupa tapi tak sama. “Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang mereka ketahui,” firman Allah dalam kitab-Nya.
Dua definisi penguat di atas menggiring kita pada satu fakta: semua hal tercipta selalu berpasangan, termasuk positif dan negatif. Jika kita membuat asumsi bahwa penistaan agama ada yang bilang keseleo lidah ala Ahok adalah sifat negatif, maka pertanyaan yang menyeruak adalah: apa sifat positifnya?
Menilai sebuah kasus dari dua sudut pandang harus kita latih bersama. Fungsinya apa? Agar kita turut menjalankan firman Allah lainnya: mengambil hikmah dari setiap kejadian. Ada tiga hikmah positif yang bisa saya rangkum dari kata negatif –penistaan agama– ala Ahok. Jika ada tambahan, silakan.
Satu: Kecintaan terhadap Islam menguat.
Buktinya? Lihatlah aksi berjilid-jilid yang tergelar di DKI Jakarta. Tugu Monas yang saban hari dihadiri wisatawan hingga pelancong, pernah loh penuh sesak oleh para pembela firman Allah. Tak hanya Monas, beberapa ruas jalan jadi saksi riuhnya kerumunan umat Islam.
Kapan pengumpulan massa sebanyak itu pernah terjadi sebelumnya? Pernah saat aksi mahasiswa tahun 1998. Tapi perlu dicatat, gerakan mahasiswa kala itu bukan membela agama, tapi melawan keterjajahan dalam berserikat, berkumpul, dan mengutarakan pendapat.
Penistaan agama ala Ahok kian menyulut daya juang umat Islam. Hingga muara dari aksi berjilid-jilid kini terpenuhi, Ahok resmi dikerangkeng. Harapan kita -termasuk saya, momentum ini dipakai pula untuk introspeksi diri masing-masing. Boleh lantang membela agama, tapi sholat lima waktu dilaksanakan ya.
Dua: Ahokers mengajarkan loyalitas.
Faktanya: Ahok adalah oase di tengah gersangnya panggung politik Indonesia. Loyalnya para Ahokers adalah bukti mereka amat mengenang jasa-jasa politik Ahok. Saking terkenangnya, mereka ngotot membela Ahok, meski sadar akan kena cap ‘kafir’ oleh penentang Ahok.
Masalahnya: amat sedikit pemimpin muslim berintegritas yang mampu melawan bargain Ahok di kancah politik nasional. Bahkan, sang gubernur petahana ini baru benar-benar bisa dikalahkan lewat manuver-manuver politis dilancarkan haters Ahok di kancah politik. Di mana pemimpin muslim berintegritas?
Solusinya: Anies Baswedan hadir laksana superhero. Beliau bagaikan the right man in the right place untuk DKI 1. Manisnya tutur kata Anies mampu jadi oase lainnya di kancah politik. Semoga tutur kata berlabel ‘politik santun’ ini tak hanya manis didengar, tapi juga terkenang manis secara kinerja.
Ketiga: Indonesia amat krisis pemimpin muslim teladan.
Buktinya? Anies melalui politik santunnya saja amat sulit mengalahkan bargain Ahok. Bahkan sang pendiri gerakan ‘Indonesia Mengajar’ ini, harus arungi badai Pilkada selama dua putaran untuk bisa menggusur takhta Ahok sebagai Gubernur DKI.
Upaya itu pun masih terbantu oleh kontinuitas media massa yang memuat citra buruk Ahok dalam kurun enam bulan terakhir. Selain Anies, siapa lagi sosok pemimpin muslim yang bisa jadi teladan? Hayo, coba sebutkan siapa saja?
Meski Jokowi banyak cacatnya, namun harus diakui, beliau kini jadi pemimpin muslim paling berintegritas di Indonesia. Yang lebih baik dari Jokowi? Pasti anda pusing menjawabnya. Dan jawaban Anda tak akan jauh dari nama Ridwan Kamil, hingga Tri Rismaharini. Jumlah itu banyak? Tidak! Jumlah itu amat sedikit.
Tiga hikmah di atas patutlah kita hayati bersama. Jangan karena Ahok berucap satu kata negatif, kita justru membalasnya dengan sepuluh kata negatif. Jika begini siapa yang lebih buruk? Ahok atau kita? Balaslah kata negatif ala Ahok di Kepulauan Seribu itu lewat sifat teladan nan elegan.
Jika Anda tak sepakat negara ini dipimpin orang non-muslim, maka siapkanlah diri Anda jadi pemimpin muslim yang inspirasional. Jadilah pemimpin muslim yang memberi teladan, yang menjaga integritas, yang mengedepankan akhlakul karimah, dan terpenting bermanfaat untuk orang lain.
Itu bukti bahwa Anda membalas hujatan penistaan agama dengan sifat teladan nan elegan. Pegang kata-kata saya. Jika ada sepuluh pemimpin muslim yang lebih baik kinerja politiknya dari Ahok, maka Ahokers tak akan segitu loyalnya. Masyarakat rindu politikus merakyat dan Ahok mempraktikan itu.
Terima kasih banyak Pak Ahok, ucapan Anda menyadarkan banyak pihak, kalau jumlah pemimpin muslim berintegritas amat terbatas. Hingga pendukung Anda (yang lintas agama) begitu setia mendukung Anda. Saya sangat menghormati kinerja Anda secara politis. Semoga Anda bisa lebih santun dalam bertutur kata.
Hikmah di atas harusnya menumbuhkan gerakan-gerakan kecil menjadi besar dari umat muslim. Gerakan konsisten laksana peribahasa ‘biar sedikit-sedikit, tapi lama-lama menjadi bukit’. Ahok, sang minoritas dan non-muslim saja bisa memberi banyak teladan, kita selaku umat muslim harusnya juga bisa dong.
Semoga Anda, termasuk saya– menjadi pemimpin muslim terbaik, semoga kita bisa menjadi pemimpin muslim yang paling dikenang.
Siap?
Darul Asmawan
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP 2013