Opini

Tak Lagi Ramah Anak

Kini kehidupan anak tak lagi aman, mereka tumbuh dan berkembang di situasi yang tak lagi ramah. (Sumber ilustrasi: dnaindia.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Anak adalah cindera rasa, obor asa, jejak nyata ada kita di dunia hingga surga -(Helvy Tiana Rosa)

Hari ini mungkin mereka masih merah. Mungkin juga masih bermain gundu, lari ke sana kemari dengan riangnya. Tuhan titipkan mereka untuk dilindungi dan dibesarkan dalam keadaan yang harusnya ramah dan aman. Hingga sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, mereka siap menjadi garda terdepan perbaikan bangsa. Siapakah mereka? Anak Indonesia.

Namun, yang terjadi hari ini begitu memilukan hati. Mereka tumbuh dan berkembang disituasi yang tak lagi ramah dan aman. Situasi yang menjadikan mereka objek kejahatan seksual, kekerasan, penculikan bahkan penjualan manusia. Pengamat hukum, Maximus Watung mengatakan, hal itu terjadi karena anak-anak dianggap polos, mudah percaya, mudah dirayu, dan juga fisiknya lemah. Benarkah demikian? Bagaimana dengan ketamakan orang dewasa yang telah membutakan mata dan nurani? Hingga tak segan merenggut masa keemasan pemilik masa depan bangsa ini. Apa kiranya yang sedang melanda ibu pertiwi?

Maret tahun ini saja misalnya, kita dikejutkan dengan kasus pemerkosaan seorang gadis 12 tahun oleh 13 orang yang terjadi di Samarinda. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, tak hanya menjadi korban kejahatan seksual, gadis tersebut pun disekap kurang lebih sepekan dan dicekoki narkoba oleh para pelaku. Berita yang berhasil dihimpun dari kompas.com (15/3), Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aji Suwignyo, mengatakan bahwa korban mengakui jika para pelaku menjadikannya alat tukar untuk mendapatkan sabu dan uang.

Data yang disampaikan Halda Arsyad selaku Kepala Dinas Kependudukan, PPPA Kalimantan Timur juga mengejutkan. Pada 2014-2015, angka kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Bumi Etam mengalami peningkatan sebesar 22,34%, sedang Samarinda sebagai ibukota dengan kasus kekerasan seksual terbanyak.

Belum usai dengan kasus pemerkosaan yang dialami gadis 12 tahun asal Samarinda, publik kembali dihebohkan dengan terungkapnya kasus kejahatan pedofil. Kejahatan ini tergabung dalam grup facebook Official Candy’s Groups. Grup yang beranggotakan 7 ribu orang tersebut, diharuskan mengirim gambar atau video yang dibuat dengan melakukan kejahatan seksual pada anak. Disampaikan Kapolda Metro Jaya, Irjen M. Iriawan (14/3), grup ini pun ditengarai memiliki kaitan dengan sindikat kejahatan seksual pada anak berskala global.

Maraknya kabar, penculikan dan penjualan organ tubuh anak juga tak kalah meresahkan. Bagaimana tidak, anak yang harusnya masih bebas bermain, ini harus meregang nyawa hanya untuk memenuhi kantong pihak yang silau akan dunia. Harga yang ditawarkan pun tak tanggung-tanggung, yakni hingga menyentuh angka miliran rupiah setiap organnya. Meski demikian, pada Jumat (23/3) lalu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah menyatakan hal tersebut adalah kabar bohong. Terlepas dari benar tidaknya kabar yang berhembus, orang tua dan semua pihak harus memperketat pengawasan agar tidak kecolongan.

Keseriusan negara dalam hal ini sangatlah diharapkan. Pencegahan, penanganan dan penindakan hukum yang berkeadilan adalah tanggung jawab negara. Bagaimana tidak, negara telah diamanahkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya. Jika ditelisik lebih jauh, kurungan penjara, denda, pemasangan chip, publikasi identitas pelaku hingga kebiri kimia, nampaknya belum mampu menuntaskan persoalan ini.

Nyatanya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia setiap tahunnya merilis angka yang terus meningkat. Dari tahun 2013 hingga 2014 saja, KPAI menunjukkan pelecehan dan kekerasan seksual anak meningkat 100%. Terlebih lagi, laporan World Rape Statistic tahun 2012 melaporkan bahwa tidak ada jaminan, efek jera atau bahkan mengurangi jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak di negara-negara yang juga memberlakukan hukuman kebiri. Apakah hukuman yang ramai diperbincangkan ini hanya akan sebagai ‘peredam resah', lantas hilang entah ke mana?

Kehadiran negara dalam penuntasan masalah di atas, tak bisa dilepaskan dari peran dan fungsi keluarga. Orang tua khususnya adalah tempat berlindung dan sekolah utama bagi anak. Psikolog sekaligus konsultan pendidikan, Choirus Syafrudin mengatakan bahwa orang tua adalah pembangun moral anak. Peran ini adalah upaya membentengi buah hati dari terpaan ‘angin puting beliung’ kemerosotan moral. Namun sangat disayangkan, penelitian yang dilakukan KPAI menunjukkan bahwa sebanyak 70% orang tua belum memiliki kemampuan mengasuh anak dengan metode yang tepat dengan perkembangan zaman.

Kemudian, hanya 30% orang tua di Indonesia yang menanyakan persoalan sosial, hobi, permasalahan dengan teman, status media sosial, bahkan soal reproduksi anak mereka. Renggangkah komunikasi orang tua kita hari ini? Padahal Miftahul Jinan, penulis buku Tips Instan Mendidik Anak memaparkan, keakraban merupakan pintu satu-satunya untuk mendidik anak. Ia juga menambahkan, bahwa berkomunikasi dengan dukungan dan penerimaan memungkinkan anak akan lebih banyak bercerita tentang dirinya. Hal inilah yang diharapkan mampu menangkal kemungkinan kejahatan pada anak, entah sebagai korban atau pelaku.

Jika anak-anak masih dihadapkan dengan fenomena tak bermoral ini, maka ia akan tumbuh dalam trauma berkepanjangan. Tak menutup kemungkinan, ia akan menjadi pelaku di masa yang akan datang. KPAI melaporkan 78,3% anak yang menjadi pelaku dulunya adalah mereka yang pernah melihat atau bahkan merasakan kekerasan. Maka, mata rantai ini harus sedini mungkin diputus.

Slogan “Lindungi Anak Anda dari Predator Seksual” dan sejenisnyan, semoga tak hanya menjadi pemanis di media yang hanya laris jika korban jatuh menangis, tapi benar-benar menjadi semangat terbarukan semua pihak dalam memerangi kekerasan seksual dan kejahatan lainnya terhadap anak.

Apakah hari ini pemerintah, orang tua dan kita sudah menjadi lingkungan yang ramah bagi anak? Jika belum, maka kepada siapa lagi kita titipkan masa depan bangsa ini?

Salam,
Sulastri Khasan
Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP 2013
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan BEM FKIP UNMUL



Kolom Komentar

Share this article