Opini

Sudahkah Kita Menemukan Esensi dari Kebangkitan Nasional?

Ilustrasi Hari Kebangkitan Nasional yang diinisiasi oleh pemuda.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber gambar: Istimewa

Setiap tahunnya 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Bersamaan dengan tanggal tersebut, seorang murid dari STOVIA (sekolah pendidikan dokter bagi pribumi pada masa pemerintahan Hindia Belanda) Sutomo dan rekannya mendirikan organisasi kepemudaan bernama Budi Utomo 111 tahun yang lalu. Selebihnya kita semua tahu, baik secara pasti maupun samar-samar dari sejarah yang kita baca dan pelajari mengenai latar belakang Harkitnas serta kaitannya dengan Budi Utomo.

Lalu, apa lagi yang perlu kita ketahui dari hal tersebut? Toh, sudah jelas kan dasar peringatan daripada Harkitnas itu sendiri, setidaknya bagi sebagian besar masyarakat pada umumnya. Namun yang lebih penting dari itu adalah apakah kita sendiri paham dan sadar dari makna Harkitnas? Belum tentu. Jangankan melontarkan pertanyaan yang seperti itu, tahu tentang konsep kebangkitan nasional saja belum bagi sebagian orang, apalagi menyampaikan definisinya yang tepat secara lisan ataupun tertulis.

Perayaan Harkitnas selama ini kesannya hanya bersifat seremonial belaka. Padahal Harkitnas seharusnya bisa dijadikan momen untuk merefleksikan negara kita yang tercinta. Paling utama adalah bagaimana caranya kita semua sebagai bangsa yang besar dapat bersama merawat keutuhan serta persatuan nasional. Harus diakui bahwa tidak mudah untuk menjaga kohesi sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, tidak hanya dari segi fisik dan kulturalnya saja, tetapi juga pola pikir. Tidak hanya itu, negara kita juga membutuhkan sosok pemimpin yang capable, mampu menjawab serta menyelesaikan problematika kompleks yang sering kita hadapi.

Namun, untuk memanifestasikan pandangan tersebut di masa sekarang rasanya sulit. Bukannya mustahil, akan tetapi realitas politik, sosial, dan ekonomi justru mengatakan yang sebaliknya, malahan jauh dari yang dicita-citakan founding fathers dan apa yang termaktubkan dalam konstitusi negara kita bagi sebagian khalayak. Sebagai contoh, alih-alih melihat jauh ke depan dalam menentukan nasib, masyarakat akhir-akhir ini justru lebih terpaku dengan kontestasi Pilpres 2019, terlebih tentang siapa yang curang dan seharusnya menang di antara kedua paslon. Saling lempar tudingan pun tak terelakkan.

Rasanya belum pernah dalam sejarah, penyelenggaraan Pilpres di Indonesia menciptakan opini yang terpolarisasi di antara masyarakat. Jadi jangan heran kalau selama ini banyak muncul dikotomi seperti “cebong” dan “kampret” yang tujuannya tidak lain adalah untuk membedakan siapa kawan dan lawan. Tidak seharusnya menghakimi pilihan orang lain jika kita berpatokan pada alam pikir yang dewasa dan demokratis. Kalaupun merasa tidak setuju dengan pihak sebelah, mengapa tidak diadu saja gagasannya dengan berdialektika ketimbang mencaci-maki dan menyebarkan hoaks. Bukan untuk mencari siapa benar atau salah, tetapi untuk mencapai taraf saling memahami bahwa dalam perbedaan, kesatuan tetaplah harus dijaga.

Eskalasi suhu politik semacam ini bukan hanya konsekuensi dari pengamalan demokrasi yang dianut pemerintahan kita, tetapi juga diakibatkan monopoli peta perpolitikan oleh elit tertentu, sehingga kita hanya bisa menerka apa yang bakal terjadi ketika sudah mencapai boiling point-nya. Fenomena tersebut menciptakan semacam kondisi yang kurang kondusif di arena politik dan ketidakpastian bagi kaum akar rumput yang termarginalkan. Tidak sedikit yang memilih pasrah karena siapapun pemimpin yang terpilih, tidak menjamin bahwa taraf kehidupan mereka secara berangsur akan membaik.

Masih segar dalam ingatan kita, penayangan dokumenter Sexy Killers (terlepas dari indikasi yang mengatakan dokumenter tersebut sebagai ajakan golput) menjelang pilpres seolah jadi serangan fajar yang mengingatkan kembali kelamnya eksploitasi batu bara dan keterlibatan elit politik, serta imbasnya kepada masyarakat. Jelas bertentangan dengan prinsip Sumber Daya Alam (SDA) dikelola negara untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.

Di sisi lain, kita juga masih terkungkung dengan konsep nasionalisme yang tidak hanya semu, tetapi juga sempit. Banyak yang “tersulut” nasionalismenya ketika mendengar salah satu bentuk kebudayaan Indonesia diklaim negara tetangga, padahal bisa saja hal tersebut semata-mata karena kedekatan kultural yang juga hampir mirip dan tidak eksklusif di Indonesia saja. Selain itu, masih ada juga sebagian golongan yang bertindak rasis dengan mengatasnamakan SARA dan pribumi serta menuduh sesamanya antek asing. Sikap-sikap seperti ini jauh dari kesan ramah yang dimiliki orang Indonesia, tetapi bersifat chauvinis dan melanggengkan kebencian antar sesama.

Kaum nasionalis karbitan ini diibaratkan sedang membakar rerumputan basah, minim sekali substansinya dan terkesan overproud. Siapa juga yang serius memikirkan hal yang selama ini tidak mereka acuhkan, karena bagi yang awam memikirkan kebutuhan sehari-harinya saja setengah mati, apalagi harus jadi seorang nasionalis sejati. Konklusinya adalah pengewajantahan kebangkitan nasional di era sekarang bukan perkara enteng yang dapat dihiraukan. Solusinya sederhana, kembali ke ideologi dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila. Lebih dari itu, Harkitnas harusnya menjadi momen bagi kita untuk melihat sudah sejauh mana pencapaian yang didapatkan bangsa Indonesia.

Ditulis oleh Putera Tiya Ilahi, mahasiswa Sastra Inggris, FIB 2015. 

                                                  

                                                                                                                                      



Kolom Komentar

Share this article