Opini

Sudah Dewasakah Kita dalam Berdemokrasi?

Sumber foto: Ramadhan Sakti Nasution

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Universitas Mulawarman. Sebuah kampus megah nan besar yang dititipkan Tuhan di Tanah Borneo. Seharusnya menjadi inkubator lahirnya mahasiswa yang memiliki daya kritis dan penalaran luar biasa. Namun, betapa kompleksnya permasalahan kota dan provinsi ini dengan kealpaan mahasiswa di dalamnya menjadi sebuah pertanyaan besar. Di mana posisi mahasiswa hari ini?

Ketika bicara masalah, kita akan menarik sebuah akar permasalahan dari hal itu, yakni regenerasi kepemimpinan di tatanan mahasiswa.

       “Bagaimana kondisi daya kritis mahasiswa saat ini?”

Memasuki musim Pemilihan Raya (Pemira) baik BEM KM Unmul maupun BEM fakultas, kita bisa melihat bersama bagaimana kurang bergairahnya pesta demokrasi di kampus kita pada hari ini. Masih teringat dalam benak saya, pada 2011 saat menjadi mahasiswa, saya merasakan begitu tingginya tensi dan persaingan demi meraih tampuk kepemimpinan BEM Unmul yang saat itu menjadi sebuah pencapaian luar biasa bagi setiap aktivis dan organisasi mahasiswa. Jika menarik track-nya hingga saat ini, kita bisa merasakan betapa Pemira menjadi sebuah hal yang dianggap “kurang penting” oleh mahasiswa.

Beberapa waktu yang lalu, dalam tulisan Presiden BEM Unmul 2013 Muhammad Iqbal Suwandi mengatakan, pemira tahun ini sebagai Pemira “Satu Warna”. Betapa tak menariknya pesta demokrasi di kampus menjadi tanda, sudah sejauh mana kedewasaan kita dalam berdemokrasi? Sudah sejauh mana peran organisasi dalam mengkader aktivis mahasiswa? Dan mengapa saat ini Unmul seakan “dicengkeram” oleh satu kelompok yang berbeda nama saja?

Saya menganggap demokrasi di Unmul mengalami kemunduran. Sejak diterapkan sistem Pemira online yang begitu rawan akan kecurangan. Bahkan sejak awal diwacanakan hingga saat ini, saya masih memilih untuk menolak sistem Pemira online di Unmul. Betapa tidak, begitu mudahnya akses masuk untuk melakukan log in hingga dapat melakukan vote menjadi celah yang begitu lebar untuk tindak kecurangan

Bisa saja, satu orang dapat memilih hingga 1.000 suara jika ia mampu mengetahui nomor induk mahasiswa (NIM) dan password tiap mahasiswa. Lagi-lagi, dalam setiap Pemira pasti mahasiswa baru menjadi korban lahan basah ini, sebab dengan kepolosannya hingga mudah untuk dibuai dalam setiap pertemuan-pertemuan berbalut praktikum oleh para abang dan kakak mereka. Pun tak perlu datang ke Unmul untuk melakukan pemilihan, sebab bisa diakses dari sudut manapun di muka bumi ini. Sehingga kita bisa merasakan betapa tak ada partisipatif langsungnya suasana Pemira di Unmul.

Hari ini, saya ingin mengajak kita semua merenung. Sudah sejauh mana kedewasaan kita dalam berdemokrasi? Sudah sejauh mana kita bisa melihat masa depan kaum intelektual yang semakin meninggalkan dunia organisasi kampus? Sudah sejauh mana kita membiarkan belenggu “Satu Warna” ini akan terus menghisap darah para mahasiswa? Akankah kita menunggu matinya “Darah Juang” mahasiswa, sebab dunia gerakan tak lagi menarik? Dunia gerakan mahasiswa yang ujung-ujungnya terafiliasi oleh partai politik dan penguasaan pada satu kelompok bisa jadi membuat gerakan-gerakan organisasi internal kampus akan semakin kerdil. Jika kita tak sadar dan beranjak untuk bergotong-royong membangun kembali tatanan gerakan mahasiswa baru, maka saya meyakini kita hanya menghitung hari untuk berduka terhadap matinya demokrasi mahasiswa Unmul. (e4)

Ditulis oleh: Ramadhan Sakti Nasution, SP- Presiden BEM Fakultas Pertanian Unmul 2014/2015



Kolom Komentar

Share this article