SDGs dan Indonesia: Keberlanjutan atau Sekadar Retorika?
SDGs butuh aksi lokal dan global demi keberlanjutan
- 11 Jan 2025
- Komentar
- 77 Kali
Sumber Gambar: Website United Nations
Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang digaungkan pada 2015 dengan tujuh belas tujuan ambisius, ditargetkan tercapai di 2030. Mulai dari pengentasan kemiskinan hingga aksi melawan perubahan iklim. SDGs dirancang untuk bersifat inklusif, dengan melibatkan semua negara dan lapisan masyarakat.
Namun, krisis global seperti pandemi Covid-19, konflik geopolitik, dan krisis iklim telah mengancam kemajuan yang telah dicapai.
The Sustainable Development Goals Report 2024 memberi kita gambaran yang cukup mengejutkan tentang kemajuan global menuju pencapaian SDGs. Dari total target yang ada, hanya 17 persen yang berada di jalur pencapaian. Sisanya? Hampir setengah yang hanya menunjukkan sedikit kemajuan, sementara lebih dari sepertiga mengalami stagnan atau mundur.
Negara-negara berkembang, terutama di Afrika sub-Sahara dan Asia Selatan, menjadi pihak yang paling terpukul. Ketimpangan dalam akses pembiayaan, teknologi, dan infrastruktur menunjukkan bahwa sistem ekonomi global masih belum berpihak pada pembangunan yang merata.
Namun, laporan ini juga membawa sedikit harapan. Penurunan angka kematian anak, peningkatan akses air bersih, dan biaya remitansi yang lebih murah menjadi contoh perubahan tetap mungkin terjadi jika ada komitmen bersama. Sayangnya, keberhasilan ini hanya sebagian kecil dari pekerjaan besar yang harus dilakukan.
Salah satu tantangan terbesar dalam laporan ini adalah krisis iklim yang memperburuk banyak target SDGs. Emisi karbon yang terus meningkat, investasi minim dalam energi terbarukan, dan ketergantungan negara berkembang pada bahan bakar fosil menjadi penghalang utama. Ketidakserasian dengan target The Paris Agreement atau Perjanjian Paris hanya menambah urgensi untuk bertindak lebih cepat.
Sebagai generasi muda, laporan ini harus menjadi panggilan untuk bertindak. Dengan sisa waktu kurang dari enam tahun menuju 2030, langkah kita harus lebih fokus dan terkoordinasi. Kembali lagi saya tekankan bahwa moto “Think globally, act locally” adalah prinsip yang tepat untuk memulai.
Kita bisa mengambil langkah sederhana tetapi berdampak besar, seperti mengurangi jejak karbon, mendukung energi terbarukan, dan mengadopsi gaya hidup berkelanjutan di komunitas kita.
Gerakan-gerakan komunitas menunjukkan kontribusi nyata dalam mendukung Sustainable Development Goals (SDGs). Greenpeace dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang aktif dalam isu lingkungan, membantu mewujudkan SDG 13 (Climate Action). Zero Food Waste mengajak masyarakat untuk mengurangi pemborosan makanan, mendukung SDG 12 (Responsible Consumption and Production).
Di Samarinda sendiri, gerakan seperti @transit.smr yang berfokus pada penggunaan transportasi umum, sejalan dengan visi SDG 11 (Sustainable Cities and Communities). Selain itu, komunitas World Cleanup Day yang digelar rutin melibatkan berbagai kalangan untuk membersihkan sampah, mendukung pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Berbagai tugas proyek kampanye lingkungan yang dilakukan oleh mahasiswa seperti @santaphabis.bawapulang dan @ecolite.association turut berkontribusi pada peningkatan kapasitas dan kesadaran masyarakat. Begitupun dengan Gerakan Pramuka yang juga turut berkontribusi dalam pendidikan kepedulian sosial dan lingkungan, ini sejalan dengan SDG 4 (Quality Education) dan kerja sama yang kuat melalui SDG 17 (Partnerships for the Goals).
Semua inisiatif ini, meskipun berskala lokal, memberikan dampak besar dalam menciptakan perubahan nyata di tingkat komunitas dan mendukung pencapaian SDGs secara keseluruhan. Namun, aksi lokal saja tidak cukup. Kita juga harus berperan aktif dalam mendukung reformasi global, terutama dalam menciptakan sistem keuangan yang lebih inklusif.
Pemerintah, institusi keuangan, dan sektor swasta harus ditekan untuk memastikan pembiayaan yang memadai bagi negara. Media sosial menjadi alat yang sangat efektif untuk menyebarkan kesadaran, memobilisasi dukungan, dan menuntut aksi nyata dari para pemangku kepentingan.
Meski begitu, izinkan saya menaruh skeptisisme terhadap komitmen pemerintah Indonesia dalam mendukung SDGs. Pernyataan terbaru Presiden RI, Prabowo Subianto, yang menyatakan bahwa perkebunan sawit dapat membantu mengurangi emisi karbon, bertentangan dengan fakta ilmiah dan realitas di lapangan.
Menurut Herry Purnomo, Koordinator Center for International Forestry Research (Cifor), perkebunan sawit hanya mampu menyimpan karbon sebesar 40-80 ton per hektare per tahun. Sementara itu, hutan hujan tropis memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang jauh lebih besar, yaitu 300-500 ton per hektare per tahun.
Namun, lebih dari sekadar angka, ekspansi perkebunan sawit kerap menjadi pendorong utama deforestasi besar-besaran di Indonesia. Hilangnya hutan tropis tidak hanya mengurangi kapasitas penyimpanan karbon, tetapi juga menghancurkan keanekaragaman hayati dan merusak ekosistem yang vital bagi keseimbangan lingkungan.
Pernyataan yang menyetarakan perkebunan sawit dengan hutan alam dapat memberikan justifikasi bagi deforestasi lebih lanjut, yang bertentangan dengan tujuan SDG 13 (Climate Action) dan SDG 15 (Life on Land).
Deforestasi yang terus berlangsung menunjukkan prioritas kebijakan yang lebih mendukung ekspansi ekonomi berbasis kelapa sawit daripada perlindungan lingkungan. Tanpa langkah nyata untuk menghentikan deforestasi dan melindungi hutan yang tersisa, komitmen pemerintah terhadap SDGs berisiko menjadi retorika semata, tanpa dampak nyata bagi keberlanjutan lingkungan.
Sebuah ironi, di mana dalam kampanyenya Prabowo selalu menggaungkan keberlanjutan, namun justru melangkah jauh dari esensi keberlanjutan itu sendiri.
SDGs bukan hanya kumpulan target, mereka adalah refleksi dari nilai-nilai universal tentang kemanusiaan, keadilan, dan keberlanjutan. Sebagai generasi yang akan mewarisi dunia ini, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa janji global ini tidak hanya menjadi dokumen, tetapi menjadi kenyataan yang dirasakan oleh semua orang, terutama mereka yang paling membutuhkan.
Waktu terus berjalan, tetapi ini bukan saatnya menyerah. Pencapaian besar dimulai dari langkah kecil yang dilakukan secara kolektif.
Dengan bekerja bersama, baik di tingkat lokal maupun global, kita dapat mengubah jalur yang tampak suram ini menjadi masa depan yang lebih cerah dan berkelanjutan. Dunia menunggu tindakan kita, mari buktikan bahwa kita adalah generasi yang mampu membawa perubahan nyata.
Opini ini ditulis oleh Muhammad Reza Zwageri, mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional FISIP Unmul 2022
Daftar Pustaka
Hidayat, A., & Wijaya, A. (2025). Sawit pemicu deforestasi Prabowo. Tempo. https://www.tempo.co/lingkungan/sawit-pemicu-deforestasi-prabowo-1190895
United Nations. (2024). The Sustainable Development Goals Report 2024. https://unstats.un.org/sdgs/report/2024/The-Sustainable-Development-Goals-Report-2024.pdf