Opini

Rupa-Rupa Perfilman Indonesia

Sebuah opini yang ditulis oleh Septian Perdana Putra, Mahasiwa Program Studi Ilmu Komunikasi Unmul 2015. (Sumber foto: kumparan.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Berbicara tentang kondisi perfilman Indonesia saat ini bisa dikatakan cukup membanggakan. Bagaimana tidak? Jika melihat keadaan beberapa tahun sebelumnya (sekitar tahun 2012 ke bawah) perfilman Indonesia kala itu sempat sedikit merosot, walaupun ada beberapa film yang membanggakan.

Masih teringat kala itu, saya bersama teman sedang berada di bioskop dan hendak menonton film horor terbaru dari Indonesia. Melihat dari poster yang memperlihatkan deretan bintang film terkenal menjadi tumpuan utama saya kala itu. Setelah saya menontonnya, saya pun menyesali itu. Itu adalah sebuah film “cari duit” yang sangat mengesalkan.

Penyakit dari perfilman Indonesia adalah masih banyaknya produser-produser yang hanya menciptakan film bertujuan untuk uang. Walaupun tak bisa dipungkiri pemasukan seperti itu sangatlah penting, namun di mana letak esensi dari film tersebut? Film itu adalah seni layar lebar/kaca. Film adalah sebuah pesan, di mana para audiens yang menyaksikan akan menangkap sebuah pesan yang berakhir dengan kesimpulan yang lugas. Bukan hanya sekadar menciptakan sebuah tontonan yang bersifat menghibur (pembodohan) namun tak berbobot. Hanya sekedar mencari uang.

Bersyukurlah kalian hidup di tahun 2017. Di mana kita masih bisa melihat karya-karya film Indonesia yang bisa dibanggakan. Mulai dari The Raid, Filosofi Kopi, A Copy of My Mind dan lain-lain. Indonesia saat ini sedang berada pada kemajuan industri perfilman yang mulai menunjukan daya tarik kepada negara asing. Tidak seperti pada tahun 80-90-an di mana kala itu bioskop masih dikuasai oleh film-film Hollywood. Mulai memasuki tahun 2000-an, film-film seperti Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta? menjadi sebuah obat penyembuh untuk masyarakat Indonesia. Terbukti bahwa semenjak itu semakin banyak persaingan-persaingan sutradara Indonesia yang berlomba menciptakan karya-karya terbaik mereka. Sebut saja sutradara kawakan seperti Garin Nugroho, Riri Reza, Joko Anwar, mereka adalah salah satu sutradara idealis favorit saya. Karya-karya mereka pun sudah sangat tak asing di Indonesia sendiri maupun di luar negeri.

Hanya saja kisaran tahun 2010-an, genre film seperti horor yang dibalut dengan komedi dan seks menjadi salah satu aib untuk kita. Banyak masyarakat yang menghujat, namun banyak saja yang menggemari. Sehingga, dengan latahnya film-film seperti itu menjadi langganan di tiap-tiap bioskop selama beberapa saat. Dengan munculnya peraturan sensor yang cukup ketat, akhirnya film-film seperti itu sudah jarang di produksi lagi (syukurlah). Namun, sensor sendiri terkadang menimbulkan kontroversi karena di beberapa aspek bisa dikatakan sedikit berlebihan. Beruntung saja karena saya tidak terlalu mempermasalahkan itu. Beberapa film juga sudah mengkategorikan diri mereka, tinggal penonton saja yang pintar-pintar memilah itu.

Satu lagi yang menjadi permasalahan dalam perfilman Indonesia adalah, kurangnya kreativitas. Kalian bisa lihat sendiri dari beberapa film-film romantis maupun horor ataupun aksi. Ide cerita, latar, serta pemain-pemainnya pun terkadang itu-itu saja. Benar tidak? Saya beri contoh dari jajaran pemainnya. Sebut saja Reza Rahardian. Dia adalah salah satu aktor favorit saya di Indonesia. Dia adalah pemain watak, sangat berkharisma dan aktingnya sudah tidak bisa diragukan lagi. Tapi, mengapa hampir dari setiap film, ia selalu muncul? Apakah Indonesia sudah kekurangan pemain? Tidak hanya dia saja. Lukman Sardi, Fedi Nuril, Vino G. Bastian selalu berada di manapun. Padahal Indonesia ini mempunyai penduduk yang sangat banyak, dan mempunyai industri perfilman yang sedang maju. Tidak akan sulit menemukan orang-orang berbakat lainnya.

Oke, saya akan beri contoh lagi dari segi cerita. Ini adalah hal yang sangat umum terjadi, di mana sebuah kisah romantis menjadi andalan saat ini. Kebanyakan cerita-cerita romantis diangkat dari sebuah novel. Dan jujur, awalnya saya suka. Namun makin kelamaan mengapa lagi-lagi menjadi latah? Premis-premis yang digunakan selalu sama, tentang pria/wanita yang jatuh cinta terkadang beda agama, atau memakai latar luar negeri ataupun hal-hal klise lainnya.

Untuk film favorit saya sendiri di Indonesia cukup banyak. Seperti Janji Joni, Sang Pemimpi, The Raid dan yang terbaru ini Copy of My Mind. Seandainya saja pemerintah bisa menjadi lebih aktif lagi mendukung program kita tentang film, maka saya yakin Indonesia bisa menyaingi pasar film di Asia. Indonesia mempunyai sineas-sineas muda berbakat, namun sayang mereka masih idealis dan sangat susah untuk diraih. Sekalipun film-film pendek mereka tak kalah menarik. Namun, yang kita bicarakan di sini adalah film layar lebar.

Harapan saya, semoga kita masyarakat Indonesia mendukung film-film karya bangsa. Meskipun film dari luar negeri lebih menarik, tetapi alangkah indah jika kita juga melestarikan karya saudara kita sendiri. Dan juga, jangan hanya menjadi penonton. Jika kalian menyukai film dan berharap adanya perubahan maka, berkaryalah. Tulis ide ceritamu, bikin karyamu. Semua berawal dari hal yang kecil dan sederhana. Perfilman Indonesia saat ini sedang berkembang, nikmati itu selagi kalian hidup. Jelajahi karya-karya anak bangsa yang belum pernah kalian lihat. Sukseskan perfilman di tanah airmu sendiri.

Ditulis oleh Septian Perdana Putra, Mahasiwa Program Studi Ilmu Komunikasi Unmul 2015



Kolom Komentar

Share this article