Opini

Refleksi Hari Santri: Mikrokosmos Santri dan Kita yang Metropolit

Sebuah opini tentang Refleksi Hari Santri yang ditulis oleh Alif Bareizy, mahasiswa Fakultas Kedokteran 2013. (Sumber foto: wahidfoundation.org)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Hari Santri baru begulir tiga kali. Dan jujur saja, bisa jadi hari santri tidak bakal ditetapkan secara nasional kalau Joko “Jokowi” Widodo tidak menjadi presiden. Penetapan hari santri memang salah satu bargain politik Pakdhe bagi kalangan santri. Dengan campur mulut Fahri Hamzah yang tendensius dan menjadikan orang berasumsi bahwa wakil rakyat independen itu menyepelekan santri, dus tiba-tiba isu ini meluas. Kemudian kita bisa lihat, Jokowi menang di daerah kantung santri plus kebanyakan pentolan kalangan ini akrab dengan beliau. Akui saja, kalangan santri, dalam hal ini santri yang dinaungi Nahdlatul Ulama, memang sasaran legit buat kelompok politik manapun.

Saya yang tumbuh dekat dengan kebudayaan santri tidak bisa bohong bahwa saya bahagia dengan adanya Hari Santri, terlepas dari adanya alasan bahwa Hari Santri Nasional (HSN) adalah janji politik Pak Jokowi (saya tidak memilih beliau). Sebelumnya dijanjikan satu Muharam bakal diperingati, tapi akhirnya 22 Oktober yang dipilih, tanggal yang sama ketika Hadrastussyaikh Hasyim Asyari mengeluarkan Resolusi Jihad 72 tahun sebelumnya. Banyak yang bersepakat, tidak akan Inggris kalah di Surabaya dalam “tawuran masal” itu kalau tidak ada Resolusi Jihad. Nah, sejarah inilah yang sering tidak ditulis dalam buku sejarah sekolahan.

Sedikit demi sedikit HSN membuka hijab kehidupan santri yang amat komunal sekaligus terlihat tertutup itu. Bukan karena tidak mau membuka diri, tapi karena tidak sempat. Mulai subuh mereka beraktivitas hingga malam isinya cuma mengaji kitab ulama klasik yang tulisannya arab gundul khusus pesantren salaf (bukan salafi) atau yang bergaya klasik, untuk pesantren yang lebih modern ada di antaranya menyisipkan sekolah formal. Sebenarnya banyak sekali sisi unik pesantren yang jika masyarakat umum tahu menimbulkan kekaguman. Dari sisi menuntut ilmu, metodenya, sampai takzim luar biasa ke para kiainya. Makin banyak penelitian soal kehidupan pesantren, liputan media massa (karena Pak Jokowi senang mampir, masih ingat kan santri yang disuruh sebutkan siapa saja menteri sekarang?), juga santri makin percaya diri menunjukkan identitas dirinya.

Tiga paragraf di atas hanya pengantar saja. Saya tidak mau membahas prestasi Jokowi terlalu banyak, nanti dicap mahasiswa kontra-revolusioner. Ada dimensi lain tentang santri yang saya ingin bagi pada jemaah pembaca sekalian.

Hal yang membuat saya kesengsem dengan kehidupan ala santri adalah sikap beragama yang cenderung teduh dan tidak berisik. Kata teman saya, kehidupan santri singular di pesantren, tapi begitu keluar justru bisa menerima perbedaan. Amat bisa menerima perbedaan. Bahkan karena konstruksi berpikir yang demikian, seringkali santri dicap liberal. Liberal dari mana kalau bertemu dengan para masyaikh masih cium tangan takzim, bahkan Ulil Abshar Abdalla dedengkot Jaringan Islam Liberal itu sekalipun.

Memang tidak semua santri demikian, dan tidak semua pesantren mengajarkan laku hidup toleran itu. Tapi jika kita lihat secara makro, tidak hanya di sosial media yang saya maksud, pasti anda setuju dengan saya. Kalau anda masih tidak percaya, mungkin area pergaulan masih kurang jauh, pulangnya masih kurang larut.

Santri level awal harus belajar nahwu shorof (gramatika arab) yang dasar, dan di saat itu pula belajar akhlak dan adab. Berlanjut harus belajar kitab fiqh, lalu hadis dan juga ushul, baru apabila sudah matang masuk ke babakan tasawuf (pengolahan hati). Dari tahapan belajarnya bisa kita lihat, yang diutamakan adalah akhlak, lalu yang terkahir adalah tasawuf. Bisa jadi keadaan itulah apabila santri bermukim lama di pesantren (seharusnya) makin teduh hasilnya. Dan di dalam belajar pun banyak dialektika ilmu, keputusan beda antar satu dan yang lainnya. Di pesantren pula, mereka belajar menerima yang beda. Cenderung dialogis daripada apologetik dalam melihat permasalahan.

Selain mauidhoh hasanah (nasihat yang baik), mereka juga disuguhi uswatun hasanah (contoh yang baik). Kiai beserta ustaz menjadi contoh laku mereka sehari-hari, belum lagi pihak seksi keamanan yang angkernya bikin kita refleks baca ayat kursi. Di situlah santri dididik menahun dalam semua aspek kehidupan, tentu masalah output ada yang berhasil dan ada yang tidak. Wajar. Selaras mahasiswa, ada yang beradab dan ada yang biadab.

Setelah keluar pesantren apakah “boleh” mengajar? Oh, belum tentu. Masih ada masa pengabdian lagi. Sisi lain yang orang awam yang mungkin tidak akan pahami, di pesantren salaf, ada yang dinamakan ijazah. Bukan dalam bentuk lembaran kertas, tapi semacam akad antara murid dan guru, itupun santrinya bukan sembarangan. Prosesinya macam-macam, kadang juga santri “digojlok” dulu. Kalau tahan diberi, tidak ya, wasalam. Dengan ijazah tak kasat mata ini, santri yang memang diberi dianggap pantas dan legal untuk mengajarkan ilmunya.

Lalu bagaimana dengan “sampaikanlah walau hanya satu ayat”? Ya, silakan saja disampaikan ilmu yang Anda tahu, mungkin dapat ganjaran baik. Nah kalau salah, ya dosa bisa bereplikasi sejauh mana yang Anda sampaikan mengalir. Saya tiba-tiba ingat Jonru, apa kabar dengan hoaksnya.

Ada sisi menarik di sini. Santri yang menahun belajar di pesantren cenderung tidak menunjukkan gejala penghakiman terhadap kehidupan beragama sehari-hari. Pun ada penghakiman, biasanya diucapkan di lingkaran sendiri, jarang ada yang keluar. Di sisi lain, masyarakat perkotaan yang lekat dengan media sosial dengan informasi yang melimpah ruah justru begitu gampang menghakimi. Atau jangan jauh-jauh, hitung saja ceramah salat Jumat yang tendensius atau berbau politis.  Apa-apaan salat Jumat bicarakan Erdogan dan Kim Jong Un coba?

Masyarakat metropolit yang ingin menjadikan agama sebagai pedoman memang lebih mudah menerima segala sesuatu yang instan. Misal, belajar sepotong dari Youtube, atau ikut kajian seminggu sekali, itupun entah darimana aspek legal si pengajar. Mungkin “tidak punya waktu” untuk belajar secara bertahap dan menahun, namanya orang sibuk. Tidak ada pembelajaran dialektika di sini. Makanya kanan kiri beda sedikit dicap aneh-aneh. Saya sudah pernah dikafirkan, dicap syi’ah, liberal, dan macam-macam label yang lain, padahal itu pandangan yang saya utarakan pandangan amat umum di lingkungan santri.

Seharusnya masyarakat metropolit yang bergelayut pada agama malu dengan realita ini. Mengapa justru santri yang hidupnya berawal dari kampung justru bisa moderat, sedangkan kita semua sudah dicekoki pelajaran ini-itu segala macam? Kata seorang kawan, “ciri orang kota yang ngakunya modern tapi justru jauh dari moderat. Menjadikan agama sebagai romantisme instan yang sarat pembenaran mutlak.”

Semoga sendi kehidupan santri yang toleran menjamah kota, bukan justru sebaliknya. Selamat Hari Santri Nasional untuk kita semua. Salam takzim dan Al Fatihah untuk semua kiai dan santri di nusantara.

Ditulis oleh Alif Bareizy, mahasiswa Fakultas Kedokteran 2013



Kolom Komentar

Share this article