Opini

Pungli Bikin Sakit

Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian melilit. Semua cara bisa dilakukan dan termasuk melakukan "mark up" atau penggelembungan dana. Biasa kita menyebutnya dengan pungli. (Sumber Ilustrasi: bantennews.co.id)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


"Semakin tinggi tuntutan biaya hidup, semakin tinggi pula usaha yang kita lakukan untuk mencapai itu semua."

Analogi sederhana tersebut adalah kondisi real (nyata) dalam kehidupan kita sehari-hari yang membuat pusing tujuh keliling untuk mendapatkan puing rupiah guna memenuhi kebutuhan. Banyak cara dilakukan oleh rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian melilit. Entah itu dengan cara halal ataupun haram, itu berlaku bagi masyarakat era sekarang.

Semua cara bisa dilakukan dan termasuk melakukan "mark up" atau penggelembungan dana. Biasa kita menyebutnya dengan pungli.

Pungli? Pungli lagi, seperti tidak ada habisnya, ya. Rakus banget jadi orang sehingga enggak bersyukur dengan apa yang dimiliki sekarang.

Pungli atau pungutan liar adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang, yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut. Oleh sebab itu pungli sering disamakan dengan perbuatan pemerasan, penipuan atau korupsi.

Tingginya tingkat ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan, menjadi penyebab dari semakin banyaknya masyarakat yang menyerah ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang korup. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat cenderung semakin toleran terhadap praktik pungutan liar dalam penyelenggaraan pelayanan publik maupun mempercepat suatu proses pelayanan.

Budaya pungli semakin familiar di tengah masyarakat dan seakan menjadi hal yang tidak baru lagi, melainkan hal biasa dan seakan tidak berdosa melakukan pungli.

Padahal, praktik pungli tidak dibenarkan dan tidak sesuai dengan aturan yang ada. Saya sungguh miris sekali melihat budaya pungli sudah sangat terang-terangan sekali terjadi di tengah masyarakat kita. Terbaru kasus pungli di pelabuhan Palaran, Samarinda. Dan parahnya lagi langsung ditindak dengan operasi tangkap tangan oleh pihak kepolisian!

Memangnya apa yang dipungut?

Operasi tangkap tangan pada Jumat (18/3) yang dipimpin langsung oleh Kapolda Kaltim Irjen Pol Safaruddin dengan mengerahkan tim gabungan dari Bareskrim Mabes Polri, Brimob Polda Kaltim, Polresta Samarinda di Terminal Peti Kemas (TPK) Palaran, Samarinda yang dikelola oleh PT. Pelabuhan Samudera Palaran (PT. PSP) dan Kantor Koperasi Samudera Sejahtera (Komura) telah mengamankan lebih dari 24 orang, dan uang lebih dari Rp6,1 milyar.

Sungguh besar sekali! Nominal yang tak seharusnya terjadi dan sungguh menyayat hati. Sebelum ada OTT, berangkat dari keresahan pengguna jasa bongkar-muat barang di Pelabuhan Peti Kemas Palaran. Biaya jasa bongkar-muat di Samarinda terlalu tinggi. Dibandingkan dengan Surabaya, Samarinda menetapkan harga Rp180 ribu untuk kontainer 20 feet, dan Rp350 ribu untuk kontainer berukuran 40 feet. Jauh dibandingkan dengan kota Surabaya, Rp10 ribu per kontainer, baik feet berukuran 20 maupun 40.

Tentu dengan biaya sangat tinggi, mengakibatkan biaya operasional pengantaran barang menjadi membengkak dan membuat harga barang di pasaran berbeda dengan kota lain dan itu membuat terjadinya high cost ekonomi.

Pelanggaran yang Terjadi di Komura

Pertama, Komura terbukti telah melakukan pemerasan dengan cara menolak mengikuti pedoman penentuan tarif bongkar muat yang tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 Permenhub KM No. 35 tahun 2007 tentang Pedoman Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Bongkar Muat dari dan ke Kapal di Pelabuhan.

Kedua, Komura menentukan tarif secara sepihak dan menolak untuk berdiskusi dengan PT PSP selaku Penyedia Jasa Bongkar Muat di Pelabuhan Palaran. Serta menerapkan tarif jasa kepelabuhanan yang seharusnya diterapkan di pelabuhan konvensional di mana jasa TKBM merupakan komponen utama. Hal ini seharusnya berbeda dengan mekanisme seharusnya.

Pelanggaran ketiga, Komura telah melakukan ancaman terhadap perwakilan PT. PSP pada saat perundingan penentuan tarif bongkar muat bersama dengan Pelindo dengan cara menolak untuk berunding dan membawa massa di luar lokasi perundingan untuk mengintervensi pembentukan keputusan penentuan tarif tersebut.

Keempat, Komura memaksakan pemungutan uang di luar haknya di mana Komura menolak mengikuti mekanisme penentuan tarif pelabuhan dan memilih untuk menetapkan tarif di luar pelayanan/jasa yang diberikan yang bertentangan dengan Pasal 3 huruf b butir 5 Inpres No 5 tahun 2005, Pasal 109 UU 17 tahun 2008 dan PM 61 tahun 2009 yaitu penarikan tarif kepelabuhanan harus disesuaikan dengan jasa yang disediakan.

Tentu, kasus ini tak mungkin bisa didiamkan begitu saja. Dan harus ditangkap pelaku yang meresahkan masyarakat maupun pengguna jasa muat-barang.

Kasus ini, tentu sudah masuk ranah hukum, karena ini kasus pemerasan dengan menolak pedoman yang diatur oleh Kemenhub.

Analisis hukum yang saya sampaikan sesuai dengan kasus tindak pidana pungutan liar tidak terdapat secara pasti dalam KUHP, namun demikian pungutan liar dapat disamakan dengan perbuatan pidana penipuan, pemerasan dan korupsi yang diatur dalam KUHP sebagai berikut:

Pasal 368 KUHP: "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."

Dalam kasus ini, pihak Komura melakukan pemerasan dan membuat pedoman dengan mengindahkan aturan yang diterapkan, hukumannya sesuai dengan pasal 368 KUHP. Karena penipuan dan pungutan liar merupakan tindak pidana yang mana terdapat unsur-unsur yang sama dan saling berhubungan, antara lain untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan rangkaian kekerasan atau dengan ancaman agar orang lain menyerahkan barang atau sesuatu kepadanya.

Kasus seperti ini, enggak usah neko-nekolah tangkap saja langsung pelaku yang menjadi aktor pungli. Pihak kepolisian harus berani mengembangkan kasus ini secara terbuka dan transparan sehingga masyarakat mengetahui tentang kasus ini.

Artinya apa, segala penipuan dan pungutan liar harus disapu bersih dari negeri ini! Agar budaya pungli di Indonesia bisa hilang dari permukaan.

Dan yang harus diingat oleh kita semua bahwa Tuhan Mahakuasa menyaksikan atas segala sesuatu kejadian di muka bumi dan melihat tingkah laku kita.

Semua pelaku kejahatan senantiasa berusaha agar selamat dari operasi tangkap tangan. Di sini, di dunia kesenangan pribadi, kita bisa selamat. Tapi, di Hari Pembalasan, tak akan ada yang bisa menghindar lagi dari apa yang dilakukan dan harus dipertanggungjawabkan. 

Manusia kini hidup di antara kesenangan dan kebutuhan. Kesenangan sering menjanjikan kebahagiaan palsu.

Kebutuhan memang tak pernah habis. Terkadang kita tak menyadari kita mengejar kebutuhan di luar batas kepatutan/kewajaran juga akan membuat kenyamanan hidup terus terusik.

Semoga pungutan diberangus, sehingga negeri ini tak selalu digerus.

Ditulis oleh Frijae Rakasiwi, Menteri Sosial dan Politik BEM KM Unmul 2017



Kolom Komentar

Share this article