Puisi Desy Alvionita Hasil Plagiat
Puisi Desy Alvionita dianggap menjiplak karya Dedy Try Riyadi. | Sumber: Kompasiana
Berlatih Solmisasi
/do/
dimuka cermin ku berdiri
ingin menuntaskan cemas
dan mulai bergegas
perjalanan ini dimulai
menggenggam pertanyaan sendiri
“mampukah ku berjalan sampai batas paling nyeri ?”
aku tergugu
ku tatap foto itu
kemudian hening menetes dari mata yang terluka
Puisi di atas ditulis oleh Desy Alvionita, mahasiswi Manajemen, FEB Unmul 2017.Kemudian dimuat oleh Lembaga Pers Mahasiswa Sketsa Unmul pada 15 September 2018. Ketika kita membaca puisi tersebut memang sangat menarik mulai dari judul dan pemilihan diksinya. Tapi judul beserta isi puisi tersebut pembaca tidak menemukan koherensinya. Penulis mungkin lagi mempraktikkan Licentia Poetica yang artinya sudah memiliki surat izin atas kebebasan seorang penulis (Puisi) untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk, atau aturan konvensional untuk menghasilkan efek yang dikehendaki. Kebebasan yang digunakan penulis puisi di atas yaitu pada judul beserta isi yang tidak memiliki pertalian atau hubungan. Dari judul Berlatih Solmisasi kita akan membayangkan si aku lirik dalam puisi akan berlatih tangga nada mulai dari do sampai ke si. Bahkan kalau kita merujuk pada judul tidak menutup kemungkinan bisa jadi dari do hingga ke do kembali.
Penulis sudah melakukan latihan tangga nada tersebut ia memulai kata /do/ pada baris pertama tetapi tidak meneruskan pada bait-bait selanjutnya dengan nada sol atau si nya. Sedangkan isi puisi bercerita tentang si aku lirik yang ingin menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Seakan, si aku lirik ragu akan pekerjaan yang telah ia kerjakan. Bahkan ia sempat bertanya dalam diri sendiri “mampukah ku berjalan sampai batas paling nyeri?” Ternyata memang benar aku lirik dalam puisi ini merasa ragu akan menyelesaikan apa yang sudah ia kerjakan ini dibuktikan dalam puisi pada baris kedelapan sampai kesepuluh berikut kutipanya: aku tergugu/ku tatap foto itu/kemudian hening menetes dari mata yang terluka.
Sekarang coba kita lihat dengan judul puisi yang sama yang dimuat pada puisi mingguan Kompas bulan September 2016 yang ditulis oleh Dedy Try Riyadi pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah, dan kini tinggal di Jakarta. Ia bergiat di Paguyuban Sastra Rabu Malam (PaSar Malam).
Berikut kutipan puisinya:
Berlatih Solmisasi
/do/
Seperti kau yang ingin
Menuntaskan cemas,
ia pun berhasrat
menunaikan gegas
perjalanan yang dimulai
dengan pertanyaan sendiri
: mau dan mampukah kau
berjalan sampai batas paling nyeri?
Pada puisi yang ditulis oleh Dedy Try Riyadi ada beberapa persamaan dengan puisi yang ditulis oleh Desy Alvionita mulai dari judul dan beberapa baris yang terdapat dalam puisi. Hanya saja puisi Dedy Try Riyadi sangat relevan antara judul beserta isi ia membagi puisinya berdasarkan not nada mulai dari /do/,/re/,/mi/,/fa/,/so/,/la/,/ti/ (lihat lampiran). Penjiplakan yang dilalukan Desy Alvionita yaitu kata demi kata (word of word), di mana ia mengutip kata atau kalimat orang lain atau memparafrasekannya yang berasal dari satu sumber tanpa adanya perubahan. Adapun dilakukan perubahan tetapi esensinya tetap sama. Sekarang kita bandingkan puisi Desy Alvionita yang ditulis 2018 dan puisi Dedy Try Riyadi yang ditulis 2016, berikut perbandinganya:
Pertama, judul puisi yang digunakan Desy Alvionita sama dengan judul puisi Dedy Try Riyajdi Berlatih Solmisasi, Kalimat yang digunakan pada baris ketiga Puisi Desy Alvionita yaitu: ingin menuntaskan cemas, sedangkan baris ketiga puisi Dedy Try Riyadi Menuntaskan Cemas. Desy Alvionita hanya menambah kata ingin dalam kalimatnya. Kalimat yang digunakan Dedy Try Riyadi pada baris kelima menunaikan gegas, sedangkan Desy Alvionita pada baris keempat menggunakan dan mulai bergegas. Selanjutnya, kalimat baris keenam yang digunakan Dedy Try Riyadi perjalanan yang dimulai, sedangkan Desy Alvionita pada baris kelima menggunakan kalimat perjalanan ini dimulai, Desy hanya memparafrasekan kata yang menjadi ini tetapi makna puisi tersebut tidak berubah. Dan pada baris ketujuh yang digunakan Dedy Try Riyadi dengan pertanyaan sendiri, sedangkan Desy Alvionita pada baris keenam menggunakan kalimat menggengam pertanyaan sendiri. Kemudian terakhir baris kedelapan yang digunakan Dedy Try Riyadi : mau dan mampukah kau berjalan sampai batas paling nyeri?, Sedangkan Desy Alvionita pada baris ketujuh menggunakan kalimat “mampukah ku berjalan sampai batas paling nyeri ?”.
Jiplak menjiplak dalam dunia sastra khusunya puisi bukan hal baru. Hal demikian pernah dilakukan penyair ternama Indonesia Chairil Anwar sekaligus angkatan 45 dalam perpuisian Indonesia. Dalam puisinya Karawang Bekasi dituding menjiplak karya Archibald Mac Leish. Puisi Mac Leish itu berjudul The Young Dead Soldiers Do Not Speak.
Ditulis oleh Samsir Marangga, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Sastra Indonesia 2015
Lampiran Puisi Lengkap Dedy Try Riyadi:
Berlatih Solmisasi
/do/
Seperti kau yang ingin
Menuntaskan cemas,
ia pun berhasrat
menunaikan gegas
perjalanan yang dimulai
dengan pertanyaan sendiri
: mau dan mampukah kau
berjalan sampai batas paling nyeri?
/re/
Hanya kau, katanya, yang harus
menjawab seluruh perjalanan
dengan sepenuh kesanggupan.
Ia hanya beringsut – menjauh sedikit
pada sebuah sudut agar kau semakin
mengerti
: hidup tak cukup dijalani
dengan bersungut-sungut.
/mi/
Jika kau – lagi-lagi – berhenti
dan memikirkan untuk kembali
pada awal perjalanan ini,
ia
justru menyesali keputusannya
untuk bermimpi. Menaruh harapan
sejauh-jauhnya ke sebuah ujung
yang akan membuatnya bertarung
dengan siapa pun.
Termasuk dengan dirinya sendiri.
/fa/
Kau inginkan fajar yang lain.
Fajar dengan seekor kucing meringkuk
di atas keset di depan pintu
dan tak mengganggu seekor burung coklat
yang baru turun dari ranting jambu.
Ia tahu, namun tak bias menjanjikan
Hal semacam itu setiap pagi.
Dengan kecupan penuh ragu di dahimu
ia ingin buktikan – selalu ada cara berbeda
untuk memulai hari denganmu.
/so/
Perjalanan ini tidak ditentukan
oleh siapa pertanyaan: siapa memulai
dan mengakhiri? Juga bukan dengan
– mengapa dimulai dan diakhiri?
Seperti seorang berlatih solmisasi
dari kunci nada paling rendah,
sampai pada suaranya terasa tak sampai lagi,
tapi ia tidak berhenti.
Ia selalu melatih pita suaranya
agar semakin merdu bernyanyi.
Nanti.
/la/
“Jangan tanyakan berapa lama
kau harus bertahan,” katanya.
Ia terdengar seperti suara
manja di tengah pertempuran.
“Jangan pula tanyakan kapan
aku harus berhenti,” pintanya.
Ia seperti nyeri. Bertubi-tubi.
/ti/
Pada akhirnya, yang kau bisa
hanya mengetuk dan bernyanyi,
bukan lagi mengutuk dan bermimpi.
2016
(Sumber puisi: https://puisikompas.wordpress.com/tag/dedy-tri-riyadi/)