Opini

Psychobabble, Sebuah Stigma Bagi Psikologi

Sebuah opini terkait stigma dalam ilmu pengetahuan psikologi.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: psychologicalscience.org

Psikologi, apa yang pertama kali timbul di benak kalian setelah membaca istilah tersebut? Orang yang berada di lingkup psikologi adalah paranormal? Atau menganggap seorang psikolog dapat membaca pikiran? Sebagian besar orang akan berpikir seperti itu. Saya mengaku saya pun demikian, sebelum berada di dalam lingkup psikologi. Saya termasuk orang-orang yang percaya dengan akun psikologi di media sosial, yang mem-posting gambar-gambar yang entahlah mungkin dipilih secara acak oleh pemilik akun, kemudian setelah memilih salah satu gambar tersebut maka kita mengetahui bagaimana kepribadian kita yang sebenarnya. Serta dulu saya juga percaya dengan quotes yang sering tersebar di media sosial yang memiliki embel-embel seperti “Psikologi mengatakan..” atau “Dalam dunia psikologi ini tanda bahwa…”.

Ketidaktahuan dan pandangan awam mengenai psikologi ini ada dan berkembang, tersebar luas di media sosial, dan ditelan mentah-mentah oleh pengguna media sosial. Sampai akhirnya ada orang-orang yang butuh penanganan serius mengenai kejiwaan mereka tertelan oleh ketidaktahuan dan jatuh ke dalam perangkap yang mengatasnamakan psikologi. Seperti kasus paduka DS yang terjadi beberapa bulan lalu. Lucu sekali jika mengingat bahwa DS berhasil menyembuhkan penderita bipolar, padahal di dalam keilmuan psikologi, bipolar adalah gangguan yang tidak bisa disembuhkan karena ia merupakan sebuah kasus kompleks yang melibatkan peran otak dalam diri seseorang.

Fenomena inilah yang dinamakan psychobabble atau pseudosains atau psikologi popular, di mana masyarakat percaya akan stigma-stigma bahwa psikolog adalah paranormal, percaya dengan test gambar di media sosial, dan lain-lain. Sedangkan, pengertian psikologi itu sendiri adalah ilmu yang memperlajari jiwa, tingkah laku, dan proses mental seseorang. Di mana seorang psikolog dapat mengetahui bagaimana kepribadian seseorang dengan cara melihat dinamika kebiasaan dan tingkah laku, tidak dengan cara spontan. Perbedaan pokok antara psychobabble dan psikologi ilmiah adalah psychobabble memberi konfirmasi atau pembenaran atas pandangan atau keyakinan yang ada (ini sebabnya psychobabble sangat menarik perhatian awam), sedangkan psikologi ilmiah justru seringkali mempertanyakan keyakinan dan pandangan yang beredar di masyarakat.

Fenomena Psychobabble ini ternyata sudah ada sejak abad ke-18 dan 19. Seperti pada tahun 1800-an para pendiri psikologi melakukan kesalahan yang cukup dahsyat dengan menciptakan teori phrenology. Dimana Phrenology itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti pelajaran mengenai pikiran. Dalam teori ini mereka mengatakan bahwa sifat-sifat seseorang dapat terbaca melalui benjolan tengkorak. Padahal sejatinya, otak kita terdiri dari saraf-saraf kompleks yang membentuk sebuah jaringan agar kita dapat menggunakannya sebagai alat berpikir untuk berinteraksi, bereaksi, belajar, dan lainnya.

Lalu apa yang harus kita lakukan agar kita dapat terhindar dari psychobabble di masa sekarang?

Cara agar kita dapat terhindar dari psychobabble adalah dengan menerapkan cara berpikir kritis dan kreatif terhadap psikologi. Berpikir kritis (critical thinking) kemampuan untuk membuat penilaian terhadap sejumlah pernyataan dan membuat keputusan objektif berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan berdasarkan fakta-fakta yang mendukung, bukan berdasarkan pada emosi dan anekdot. Dengan berpikir kritis, kita menjadi lebih kreatif dan konstruktif dalam menjelaskan berbagai alternatif dalam menghadapi permasalahan yang ada. Berikut adalah panduan penting yang dapat digunakan dalam proses berpikir kritis :

Pertama, ajukan pertanyaan. Karena berdasarkan hasil observasi Vincent Ruggiero (1988), “Mekanisme pemicu untuk berpikir kreatif adalah kecendrungan untuk ingin tahu, untuk berpikir, untuk menyelidiki, untuk bertanya.”

Kedua, mendefiniskan. Istilah yang digunakan, dalam bertanya gunakan pemilihan kata yang baik agar tidak menimbulkan pertanyaan rancu yang justru membawa kepada jawaban-jawaban yang menimbulkan kesalahpahaman.

Ketiga, menilai fakta. Para ilusionis seperti Andre Kole mengatakan bahwa orang-orang cenderung mempercayai fakta-fakta yang terlihat oleh mata mereka, meskipun hal tersebut terlihat tidak masuk akal dan menyesatkan.

Keempat, menganalisis berbagai asumsi dan bias, asumsi adalah keyakinan-keyakinan yang diterima begitu saja, tanpa dipertanyakan lagi. Dan bias adalah ketika sebuah asumsi atau keyakinan mencegah kita mempertimbangkan fakta secara adil atau membuat kita sepenuhnya mengabaikan fakta yang ada. Itulah mengapa, seorang yang berpikir kritis harus mencari atau mengevaluasi asumsi dan bias yang beredar. Dan lebih percaya kepada fakta yang ditemukan.

Kelima, hindari penalaran yang bersifat emosional, dalam berpikir kritis, seseorang yang memiliki komitmen kuat terhadap suatu pandangan dapat membuat seseorang berpikir lebih berani untuk mempertahankan ide-ide yang tidak populer, dan cenderung mencari fakta-fakta yang mendukung adanya teori-teori baru yang kreatif. Namun, jika sebuah pandangan selalu disasarkan pada persaan dan mengabaikan pemikiran jernih, maka hal tersebut dapat berakibat fatal. Seperti kesimpulan yang dikatakan oleh Edward de Bono (1981), “Penganiayaan, perang, penyiksaan, adalah akibat fatal dari firasat yang selalu didasarkan pada keyakinan.”

Keenam, jangan terlalu menyederhanakan masalah. Salah satu bentuk sikap yang terlalu menyederhanakan masalah adalah berargumentasi dengan anekdot, dimana seseorang melakukan generalisasi berdasarkan sebuah pengalaman pribadi atau hanya menggunakan beberapa contoh untuk mencapai kesimpulan. Anekdot ini juga seringkali menjadi sumber terciptanya streotip, karena ia bersifat menggeneralisasi. Seorang pemikir kritis, haruslah menjadi orang yang menolak melakukan generalisasi yang terlalu cepat serta menolak untuk berpikir “secara kaku”.

Ketujuh, mempertimbangkan berbagai interpretasi lain, seseorang yang berpikir kritis dan kreatif haruslah menciptakan banyak penjelasan yang masuk akal atas permasalahan yang sedang dihadapi.

Kedelapan, mentolerir ketidakpastian, dan pada akhirnya, berpikir kritis menunjukkan kepada kita bahwa ada hal-hal yang tidak pasti di dunia ini. Para pemikir kritis harus bersedia menerima kondisi tidak pasti, jangan takut untuk mengatakan “saya tidak tahu,” atau “saya tidak yakin”.

Karena dengan pengakuan tersebut, seseorang akan lebih terpacu untuk berpikir lebih kreatif lagi. Vincent Ruggiero (1988) mengatakan, “Masalahnya tidak disebabkan karena seseorang mengikuti suatu ide, tetapi karena penolakan untuk mengikuti ide itu meskipun masuk akal. Kita boleh saja mempunyai suatu keyakinan dan menjadikannya sebagai pedoman, tetapi sebaiknya menyertainya dengan sikap bersedia meninjaunya kembali bila diperlukan, ketika ditemukan fakta baru.”

Demikianlah penjelasan mengenai psychobabble serta cara-cara untuk menghindarinya. Artikel ini ada dan dibuat bukan untuk merendahkan pihak lain, melainkan meningkatkan kesadaran pembaca bahwa banyak sekali orang yang menjadikan psikologi sebagai suatu ilmu yang dapat memperdaya orang lain dan memprovokasi orang lain untuk melakukan hal-hal tertentu. Dan fenomena ini seringkali terjadi di media sosial. Meski tidak menutup kemungkinan bahwa ada para psikolog dan para psikiater hebat yang dapat kalian temui di media sosial.

Ditulis oleh Yasmin Dieva Islamiyah, Kader Himpunan Mahasiswa Psikologi FISIP Unmul.



Kolom Komentar

Share this article