Opini

Plagiat atau Terinspirasi?

Logo Magnificent Samarinda yang diduga plagiat. (Sumber: kliksamarinda.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Mungkin masih jelas dalam ingatan kita semua tentang kasus plagiat oleh Afi Nihaya yang sempat heboh beberapa waktu lalu. Kali ini di Samarinda terjadi dugaan kasus plagiat yang sama menghebohkannya. Hanya saja yang “kembar” bukanlah karya tulis, melainkan desain grafis. Dugaan plagiat ini bermula saat diluncurkannya logo Magnificent Samarinda  ke publik oleh Pemkot Samarinda. Namun, logo yang dipublikasikan di hari jadi Samarinda ke-351 tepat 21 Januari 2019 lalu ini ternyata mirip dengan logo yang didesain oleh George Bokhua pada tahun 2013 silam (diunggah di Instagram tahun 2015). Alhasil, banyak masyarakat Samarinda yang protes. Pasalnya terdengar kabar bahwa Pemkot sudah mengucurkan dana hingga Rp600 juta untuk membayar Citiasia,  konsultan yang bertanggung jawab atas miripnya logo tersebut.

Kasus plagiat memang selalu menuai masalah di kehidupan masyarakat modern terutama dalam dunia akademik, bisnis ataupun seni. Namun bukankah tidak mungkin ada sesuatu pun di dunia ini yang orisinil? Bukankah semua karya di muka bumi ini saling terinspirasi dengan karya lain? Sebut saja kamera yang meniru cara kerja mata, speaker yang meniru cara kerja telinga, bahkan komputer yang processor-nya meniru cara kerja otak.  Jadi sejak awal fitrah manusia memang suka melakukan tindakan plagiat. Benarkah demikian?

Tentu tidak. Plagiat dan terinspirasi tidak memiliki arti yang sama. Merujuk pada KBBI, plagiat merupakan tindakan pengambilan karangan orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan sendiri. Sedangkan inspirasi dapat berarti ilham, yakni sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta. Perbedaannya jelas, bahwa plagiat adalah tindakan menjiplak karya orang lain dan menjadikannya sebagai karya sendiri, sedangkan terinspirasi adalah menjadikan karya orang lain sebagai pakem atau standar baku yang menjadi acuan untuk membuat karya sendiri.

Saya mempunyai seorang teman sesama layouter dan desainer di Sketsa, dalam beberapa karyanya, ia biasanya mencontoh gaya satir dan jenaka milik Tirto.id. Hanya saja ia tidak mengambil satu pun materi milik Tirto untuk dimasukkan ke dalam karyanya. Ia membuat desain dan leluconnya sendiri. Ia hanya menjadikan Tirto.id sebagai contoh membuat konten, bukan sebagai objek jiplakan. Lain hal dengan saya yang biasanya mencomot materi milik orang lain di situs bebas pakai (biasanya juga disebut situs fair use, di internet tersebar situs visual grafis yang menjadi tempat orang saling bertukar karya secara bebas untuk kemudian saling digunakan). Materi yang saya comot ini kemudian saya modifikasi sedemikian rupa dan menjadikannya karya yang baru.

Dalam hal ini kami berdua tidak dapat disebut plagiat. Teman saya hanya terilhami dengan konsep Tirto.id tanpa mengambil apapun dan tanpa menjadikan apapun sama dengan kepunyaan Tirto.id. Sedangkan saya memang mengambil materi orang lain, tapi materi yang saya ambil merupakan materi dibagikan secara gratis oleh pemilik karya  dengan sengaja, dan saya tidak mengambil keuntungan apa pun serta tidak merugikan pemilik karya pula.

Ada beberapa hal yang memperbolehkan seseorang mengambil atau menggunakan karya orang lain secara sah di mata hukum. Kelegalan ini berpedoman pada pasal 44 Undang-undang Hak Cipta. Dalam UU Hak Cipta, ketentuan yang Anda sebutkan terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) UU Hak Cipta sebagai berikut:

Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:

  • pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta;
  • keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;
  • ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
  • pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.

Berdasarkan pasal tersebut, bisa saya simpulkan bahwa selama tidak menggunakan karya orang untuk mencari untung (yang tentu merugikan si pencipta), serta mencantumkan sumber, maka sah saja suatu karya dipakai atau diolah lagi.

Jadi apakah logo Magnificent Samarinda adalah hasil plagiat? Tentu saya tidak berani mengatakan iya secara mutlak. Pasalnya saya tidak tahu bagaimana proses kreatif si desainer dalam pembuatan logo tersebut. Namun yang saya tahu sebagai sesama pelaku desain, ide yang muncul tidak mungkin datang sama persis, karena latar belakang pemikiran setiap orang berbeda-beda. Maka menurut saya wajar apabila logo Magnificent Samarinda ini dicap plagiat, karena produk yang dihasilkan sama persis.

Dalam kasus ini tentu ada pihak yang merasa dirugikan, yakni George Bokhua. Ia merasa karyanya dipakai tanpa izin dan tidak mendapatkan apapun dari jerih keringatnya sendiri. Ia bahkan memposting ulang logo Magnificent Samarinda disandingkan dengan logo buatannya di akun Instagram pribadinya. Ia bahkan mengungkapkan rasa kecewanya dengan menulis bahwa pemerintah Indonesia tidak mengakui bahwa itu adalah logo curian. Saya pribadi tentu kecewa dengan sikap pemerintah yang tidak mau terbuka tentang alasan mengapa logo ini bisa sama persis. Terutama kepada Citiasia yang terkesan tidak peduli dan tidak mau membahas kasus plagiat ini lebih jauh. Padahal jelas-jelas ini adalah masalah besar karena tentu mencoreng nama Indonesia (terutama Samarinda) di mata dunia.

Ironi memang, kita marah-marah saat negara Malaysia mengeklaim budaya bangsa, tapi kita sendiri mencuri karya cipta orang lain dan dengan bangga memakainya sebagai representasi diri kita. Maling teriak maling.


Ditulis oleh Mochamad Fernanda Fadhila, Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2016 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik





Kolom Komentar

Share this article