Opini

Pers adalah Panggilan, Bukan Batu Sandungan

Opini mengenai pers dan yang berkaitan dengan itu.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: merdeka.com

Sejak bergabung dalam pers mahasiswa (persma), saya sadar ada beberapa hal yang berubah dalam diri saya. Selain meningkatkan kemampuan dalam menulis dan belajar teknik mencari informasi yang baik dan benar, rupanya cara orang memandang saya juga sedikit berubah.

Masih saya ingat, beberapa teman kelas saya menganggap "profesi" ini keren. Alasannya karena menjadi jurnalis pasti tahu segala hal—yang berkaitan dengan kampus. Meski begitu, pada awalnya beberapa teman menjadi sedikit berhati-hati terhadap saya. Entah karena takut tak sengaja membicarakan masalah organisasi mereka, atau hal-hal lainnya yang mereka anggap dapat menjadi "ladang" bagi saya sebagai jurnalis.

Memang, saat akan bergabung pun saya sudah diperingati duluan oleh para senior, “Hati-hati, kalau nanti temanmu jauhin jangan kaget ya.” Saya akhirnya mengalami sendiri dalam kehidupan sosial saya. Puncaknya adalah ketika tak sengaja mendengar teman saya nyeletuk, "Berarti kalian mirip-mirip lambe turah gitu ya?” Waktu itu, saya hanya bisa diam dan pura-pura mengabaikan, toh mungkin hanya bercanda.

Namun lama-kelamaan, ini menjadi perdebatan dalam diri saya. Apa iya, jurnalis atau pers tak ada bedanya dengan akun gosip yang memberitakan apa saja untuk rating dan pengikut? Bukan munafik, saya juga paham kalau berita yang jurnalis hasilkan pasti membutuhkan pembaca. Tapi dengan kode etik yang ada dan pengetahuan akan konfirmasi serta benar tidaknya berita tentu membuat awak jurnalis atau pers dapat dikatakan berbeda.

Dan nampaknya, sikap menggeneralisasi ini juga ditunjukkan oleh beberapa orang penting di lingkungan saya sebagai persma. Mungkin tak sebanyak senior-senior saya yang lebih berpengalaman, namun tindakan memberi "ancaman" halus kepada saya sebagai pers juga turut membuat saya kembali bertanya-tanya. Apakah sikap saya sebagai pewawancara kurang baik, ataukah berita yang akan saya garap memang bersifat sensitif? Meski sejauh ini, tindakan yang saya terima adalah peringatan untuk tidak menuliskan keterangan lebih jauh di dalam berita, atau meminta saya menulis dalam sisi yang lebih "enak" untuk dibaca.

Keadaan ini tak hanya berlaku pada saya sebagai persma, tetapi pada semua jurnalis di luar sana. Terkadang, hal ini membuat saya sedikit murung. Terutama dengan mudahnya mereka meminta jalan alternatif pada awak pers. Apabila berita yang keluar tak sesuai yang diinginkan, dengan mudahnya awak pers dipandang sebelah mata. Dimulai dengan tak lagi mau dimintai keterangan, hingga berujung pembredelan dan kriminalisasi dalam celah yang dapat dimanfaatkan.

Saya tak mau cerita panjang lebar tentang ketidakadilan macam apa saja yang telah dilayangkan pada insan pers di Indonesia. Mereka telah bekerja dengan baik, dan patut diapresiasi. Singkatnya, menjadi semangat bagi yang lainnya untuk tetap mewartakan kabar apapun bentuknya. Meski masih belum bebas dan kapan saja dapat dibungkam, menurut saya menjadi pers adalah sesuatu yang perlu dibanggakan. Tidak mudah untuk memiliki prinsip cover both side dan jujur. Namun menjadi pers akan mengajarkan kita untuk lebih bersabar dan bijaksana dalam berpikir.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip sebuah kata yang saya dengar di khotbah pastor pada Minggu lalu saat saya mengikuti misa daring. Kata tersebut yakni: semua yang kita kerjakan, apapun profesi kita, semuanya adalah panggilan. Apabila hal itu membawa berkah bagi kita dan orang lain, maka kita telah mendengar panggilan yang tepat untuk diri kita. Saya yakin, pilihan menjadi jurnalis adalah sebuah panggilan. Ada kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri ketika kita dapat menghadirkan berita yang informatif, valid, dan memberikan manfaat bagi orang lain.

Meski telah lewat sehari, izinkan saya mengucapkan selamat Hari Kebebasan Pers yang jatuh pada 3 Mei kemarin. Semoga saya, Anda, dan rekan-rekan pers di manapun kalian berada, selalu dilindungi dan tetap teguh akan perjuangan kalian.


Ditulis oleh Christnina Maharani, Redaktur Pelaksana LPM Sketsa Unmul.



Kolom Komentar

Share this article