Opini

Perjuangan bagi Perempuan

Perempuan merupakan pemeran utama dalam membentuk sebuah peradaban. Dari rahim perempuan akan terlahir sosok-sosok pemimpin yang akan meneruskan perjalanan sebuah negara. (Sumber foto: republika.co.id)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret. Mengingatkan kita pada perjuangan para buruh perempuan di New York, Amerika Serikat pada tahun 1857. Para buruh perempuan yang bekerja di pabrik tekstil saat itu memprotes ketidakadilan yang mereka dapatkan, seperti gaji yang di bawah rata-rata dan jam kerja yang tidak layak. 

Perjuangan yang mereka lakukan tersebut malah disambut buruk dan berujung dibubarkannya massa oleh aparat setempat. Perjuangan perempuan terus berlanjut di belahan dunia barat, hingga pada tahun 1977 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 8 Maret sebagai hari peringatan bagi hak-hak perempuan dan perdamaian dunia.

Indonesia juga memiliki sosok perempuan yang memperjuangkan hak perempuan. Seorang perempuan cerdas dan peka terhadap lingkungan sekitarnya, yakni R. A. Kartini yang memperjuangkan hak perempuan dalam mengenyam pendidikan. Ketika berusia 12 tahun, R. A. Kartini sudah tidak diizinkan lagi mengenyam pendidikan oleh Ayahnya. Sebelumnya beliau belajar di Europese Lagere School (ELS). Di saat yang sama R. A. Kartini mengirim surat kepada teman-teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda. 

Dari situ pula beliau mengenal Rosa Abendanon yang selalu mendukung cita-cita beliau. R. A. Kartini pun membandingkan nasib perempuan Indonesia di sekitarnya dengan perempuan-perempuan Eropa yang berpikiran sangat maju.

R. A. Kartini kemudian menikah dengan seorang bupati bernama K. R. M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 12 November 1903. Suami beliau sangat paham dengan cita-cita yang sudah lama dimiliki R. A. Kartini. Kemudian beliau diizinkan untuk membangun sebuah sekolah khusus perempuan.

Jika kita membuka sejarah lebih jauh lagi, 14 abad yang lalu. Ketika peradaban dunia masih dipegang oleh Romawi, Persia, dan India. Negeri-negeri berperadaban yang justru tidak memperlakukan perempuan secara beradab. Menjadikan anak perempuan sebagai budak, diperjualbelikan, bahkan dijadikan barang warisan. Perempuan kala itu tidak memiliki hak milik, hak usaha, apalagi hak waris.

14 abad yang lalu, hadir seorang laki-laki yang berasal dari negeri yang amat sederhana. Negeri yang ditinggalinya pun tidak luput dari pemikiran menyimpang terhadap seorang perempuan. Bahkan bayi perempuan yang dilahirkan dianggap pemandangan yang menghinakan keluarga. Namun laki-laki ini justru memperjuangkan derajat kaum perempuan di tengah-tengah budaya negerinya yang jahiliyah kala itu.

Dialah Nabi Muhammad SAW. Seorang laki-laki yang tidak hanya memperjuangkan hak-hak perempuan, tapi juga mengangkat derajat perempuan. Membuat sosok perempuan menjadi mulia dan terpandang. Perempuan pun mendapatkan ruang dalam menempuh pendidikan, hak untuk berpendapat, dan berperan aktif dalam bidang sosial, politik, maupun ekonomi. 

Dengan firman dari Allah SWT, ia sampaikan bahwa Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan, menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Lantas siapa yang paling mulia di sisi Allah SWT? Bukan salah satu gender, bukan pula suku A atau B. Tapi, yang paling mulia di sisi Allah SWT adalah siapa yang bertaqwa di antaranya, laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama.

Allah SWT juga menurunkan sebuah surah yang dikhususkan untuk perempuan. Di dalam surah tersebut disampaikan berbagai hak yang dimiliki perempuan, seperti hak diperlakukan dengan baik, hak mendapatkan bagian dari harta warisan, hak mendapat perlindungan, dan masih banyak lagi. Bahkan Allah SWT meletakkan surga di bawah telapak kaki ibu, seorang perempuan. Begitu mulianya derajat perempuan dalam Islam.

Ketiga sejarah yang telah dipaparkan di atas memberikan napas perjuangan bagi kita sebagai generasi masa depan untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan. Jika kita membuka kembali Catatan Tahunan yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2016, tercatat sebanyak 321.752 kasus kekerasan perempuan dalam ranah personal. Dan setelah dianalisis, kasus kekerasan ini cenderung bertambah dari tahun ke tahun. Belum lagi semakin banyak jenis kekerasan perempuan yang bermunculan.

Apakah ini sebuah masalah? Jelas. Bahkan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sudah mencapai tingkat kritis. Perempuan-perempuan yang mendapatkan tindak kekerasan tidak hanya hancur pada saat itu saja, tapi juga masa depannya. Bahkan bisa berdampak pada generasi-generasi selanjutnya.

Saat perempuan mengalami tindak kekerasan, tidak hanya fisiknya saja yang mengalami gangguan, tapi juga kondisi mentalnya. Berbagai gangguan mental dapat dialami oleh korban kekerasan, seperti post-traumatic stress disorder (PTSD) atau stres paska trauma dengan gejala berupa ketakutan, kecemasan, mengisolasi diri, bahkan krisis identitas (tidak mengenali fungsi dan perannya). Gangguan mental lainnya yaitu traumatic sexualization, disosiasi, powerlessness, dan lain-lain.

Perempuan memiliki peran yang strategis. Perempuan juga dikenal sebagai madrasatul ula, sekolah pertama bagi anak-anaknya. Perkembangan seorang individu tidak ditentukan sejak ia dapat berbicara atau berjalan, tapi sejak ia berada di dalam kandungan. 

Bahkan, golden period untuk seorang individu untuk tumbuh dan berkembang berada di 2 tahun pertama kehidupan. Peran perempuan sebagai ibu sangat penting di masa tersebut.

Perempuan merupakan pemeran utama dalam membentuk sebuah peradaban. Dari rahim perempuan akan terlahir sosok-sosok pemimpin yang akan meneruskan perjalanan sebuah negara. Dari perempuan pula dihembuskannya makna perjuangan sejak janin dalam kandungan. 

Jika ingin memperbaiki sebuah bangsa, maka tingkatkanlah kualitas perempuan-perempuannya. Salah satunya dengan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Jangan sampai kesadaran kita baru muncul ketika kasus kekerasan tersebut dialami oleh orang-orang terdekat kita. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dibutuhkan peran aktif dari seluruh elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.


Ditulis oleh Nur Ahlina Hanifah, mahasiswi Fakultas Kedokteran 2013

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Unmul



Kolom Komentar

Share this article