Opini

Penghapusan Suara pada Pemira BEM KM Unmul Melanggar HAM

Usulan penghapusan suara mahasiswa dalam Pemira Unmul, terang Yuda melanggar HAM. (Foto: dok. Pribadi Muhammad Gatot Subratayuda)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Gagasan  pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi yaitu pertama, pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil. Kedua, pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.

Dalam asas demokrasi yang kedua menyebutkan tentang hak asasi manusia (HAM). Menurut terminologi, istilah Hak Asasi Manusia (HAM) atau human rights berasal dari basic rights dan fundamental rights. Dalam bahasa Perancis dikenal istilah droits de l’ homme yang berarti hak asasi manusia. Istilah ini pertama kali dikenal sejak Revolusi Perancis 1789. Dalam perkembangannya, istilah human rights dituangkan dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia – DUHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948. Basic rights dan fundamental rights lebih menyoroti aspek hak yang paling mendasar atau fundamental. Sedangkan human rights lebih fokus pada aspek “hak-hak yang melekat pada manusia". 

Jenis HAM yang dicantumkan dalam DUHAM yang juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dalam bentuk undang-undang adalah Hak Asasi Politik (Political Rights), yakni hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan politik. Contoh hak-hak asasi politik adalah hak untuk dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan. Apabila das sollen yang telah dijabarkan tersebut telah tercapai maka kemajuan, kesejahtraan, dan keadilan akan tercapai pada sebuah negara.

Dari teori-teori demokrasi yang didapatkan di dalam kelas harus dapat diaplikasikan pada kehidupan nyata terutama dalam berorganisasi yang mana setiap pimpinan organisasi dipilih oleh anggota organisasinya atau yang lebih khusus lagi adalah BEM tingkat Universitas maupun Fakultas yang menjadi penyambung lidah mahasiswa di kampus dan rakyat dan menjadi referesentasi dari seluruh mahasiswa di kampus.  Miniatur sebuah negara kini ada di kampus sebagai wadah perjuangan untuk keadilan dan kesewenang-wenangan sekaligus wadah belajar untuk menjadi negarawan.

Tapi, suatu kejadian luar biasa terjadi di universitas terbesar di Kalimantan Timur yang membuat tercorengnya sebuah demokrasi. Ada oknum-oknum yang berupaya agar sebuah pesta demokrasi terbesar di kampus ini tidak terlaksana dengan baik. Oknum yang menyatakan bahwa suara mahasiswa yang telah memilih dalam pemilihan raya tersebut harus dinyatakan dihapus oleh Komisi penyelenggara pemilihan Umum (KPPR) adalah orang-orang yang tidak paham demokrasi dan hak asasi manusia. 

Seperti yang telah diterangkan di atas bahwa konsep ideal atau das sollen yang seharusnya menjadi dasar dari kondisi faktual atau das sein. Bagaimana mungkin sebuah suara yang sah diberikan oleh mahasiswa yang memiliki hak pilih harus dibatalkan tanpa alasan yang jelas. Tidak ada pelanggaran atau kecurangan yang dilakukan oleh masing-masing pasangan calon atau tim kampanye mereka pada pemira tahun 2016.

Mekanisme pemilihan umum (Pemilu) yang seharusnya berjalan di Universitas Mulawarman dengan sebutan pemilihan raya (Pemira) tidak berjalan sebagaimana mestinya telah dapat disimpulkan terdapat sebuah anomally dan kemunduran berpikir demokratis dari mahasiswa itu sendiri. Hal dan peristiwa yang menjadi masalah dalam pemilu sejatinya dapat diselesaikan dengan pengajuan gugatan kepada lembaga-lembaga yang berwenang dalam Pemilu tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku. Bukannya dengan sebelum Pemilu dilaksanakan menyatakan sikap yang inskonstitusional oleh lembaga mahasiswa yang masih menjadi pertanyaan apakah benar itu mewakili aspirasi mahasiswa atau hanya mewakili kepentingan oknum di belakang layar. Kemudian setelah pemilu juga melakukan tindakan-tindakan anarkis yang jauh dari cerminan intelektual. 

Masih harus dipertanyakan pula apakah demokrasi di kampus tersebut berhasil dilaksanakan atau hanya teriakan-teriakan saat aksi saja demokrasi itu ada. Jika memang seperti itu maka kampus sebagai miniatur dari negara yang mencetak calon negarawan adalah sebuah isapan jempol belaka. Seperti pendapat Hans Kalsen seorang ahli hukum dan filsafat yang juga telah mencetuskan teori hukum murni mengatakan bahwa: “Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Di mana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara”.

Lebih disesalkan lagi yang seharusnya Ketua DPM Fakultas Hukum Unmul mengerti aturan hukum yang idealnya menjunjung tinggi rule of law malah berpendapat tak berdasarkan aturan hukum. Ketua DPM Fakultas Hukum yang menyatakan bahwa penghapusan suara Fakultas Hukum dalam Pemira BEM KM UNMUL tidak melanggar HAM adalah sebuah pendapat yang sangat keliru. Sebab, para mahasiswa tersebut telah dijamin haknya untuk dapat memilih para pemimpinnya di tingkat universitas sesuai dengan asas pemilu yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.  Secara yuridis jelas bahwa pada konstitusi yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Statuta Universitas Mulawarman, Tap DPM UNMUL dan Tap KPPR UNMUL telah menjamin bahwa setiap orang yang merupakan warga negara Indonesia berhak dipilih dan memilih.

Secara formal legalistik pula di Indonesia, pemerintah telah mengesahkan (meratifikasi) melalui undang-undang beberapa instrumen hukum HAM internasional, yang juga turut memberikan pengukuhan HAM dalam sistem hukum nasional. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 1 angka (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam kedua undang-undang ini dinyatakan bahwa “hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. 

Pada Pasal 43 ayat (1) dinyatakan bahwa Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 ayat (6) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menyatakan bahwa: “Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.

Selain itu menanggapi secara teoritis dan filosofis dari penrnyataan dari Jan Materson (Komisi HAM PBB) HAM adalah: “hak-hak yang melekat pada setiap manusia, di mana tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia”. 

Menurut John Locke, hak asasi adalah: “hak yang diberikan Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Artinya, hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, sehingga sifatnya suci”.

Menelaah dari aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis dari analisis yang telah dilakukan yang telah didukung pendapat para ahli di atas bahwa hak yang murni diberikan oleh Tuhan secara kodrati yang melekat selama manusia tersebut hidup telah dilanggar oleh sebuah lembaga yang seharusnya menjadi pengayom rakyat yang merupakan mahasiswa pada fakultas secara khususnya dan universitas yang dimaksud.

Tidak ada tendensi apa pun atau keberpihakan pada siapapun yang mendorong saya membuat tulisan ini. Tapi, saya merasa harus menyampaikan ini sebagai bahan analisis agar menjadi pelajaran dan solusi bagi permasalahan yang terjadi. Akan lebih baik apabila semua pihak dapat kembali berperan sebagai agen-agen yang memposisikan dirinya ibarat negarawan yang berpikir peradaban. Bukan hanya berpikir atas kekuasaan yang kemudian menjadi asal dan penyebab perpecahan di kalangan anak bangsa. Kampus seharusnya dapat dijadikan sebagai laboratorium politik yang melahirkan negarawan muda yang berpikir cerdas dan kritis. Tanpa harus menggadaikan idealisme agar dapat mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Semua orang tak kenal tua dan muda, senior maupun junior, mahasiswa baru atau mahasiswa yang sudah berkuliah kurang lebih tujuh tahun, harus menjunjung tinggi kebenaran dan tri dharma perguruan tinggi serta patuh akan hukum yang berlaku. Apabila hal-hal sebagaimana dimaksud dapat terpenuhi dan ideal, maka kampus sebagai miniatur negara dapat terealisasi maksimal dan pengaruhnya pada negara akan berdampak besar guna mewujudkan Indonesia sebagai negara madani.

Fiat Justicia Ruat Caelum

(Keadilan Harus Ditegakkan Sekalipun Langit Akan Runtuh)


Ditulis oleh:

Muhammad Gatot Subratayuda

Wakil Presiden BEM KM Unmul 2014

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Mulawarman



Kolom Komentar

Share this article