Opini

Pemira Kita, Oligarki atau Demokrasi?

Batalnya Debat Kandidat Pemira 2018 BEM KM Unmul Sabtu (18/11) kemarin. (Foto: Dok. Sketsa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sudah lama rasanya saya tidak menulis di media kampus ini. Saya kehabisan bahan dan opini tentang apa yang terjadi di Universitas Mulawarman, sebab tak ada yang menarik bagi saya untuk dikritisi.

Tak terasa, tahun lalu saya menulis tentang kemunduran demokrasi yang ada di kampus. Jabatan Presiden BEM KM Unmul seakan tak menarik, sehingga hanya segelintir orang saja yang atas tekanan dari “atas” untuk maju mencalonkan diri. Saking kurangnya minat mahasiswa untuk maju dalam kontestasi pemira, dibuatlah para calon presiden bayangan dan calon presiden boneka.

Hingga tidak lagi menjadi Mahasiswa, bagi saya gerakan kampus semakin tak menarik untuk dikritisi (mungkin para pembaca yang budiman juga mengaku demikian).

Saya hidup 5 tahun sebagai mahasiswa. Sejak masih menjadi mahasiswa baru hingga hampir menjadi mahasiswa legenda, paling tidak saya melewati berbagai proses dan jalannya demokrasi di kampus tercinta. Mulai dari Pemilihan Raya BEM Unmul yang tak ubahnya Pemilihan Presiden Indonesia, hingga Pemira BEM KM Unmul (setelah berganti nama) yang tak beda dengan pemilihan Ketua Tingkat atau Ketua Kelas.

Dahulu, banyak mahasiswa yang tak berminat masuk organisasi sebab kultur feodalisme dan senioritas yang masih sangat tinggi. Sekarang, justru banyak mahasiswa yang tak berminat masuk organisasi sebab organisasi tak ada beda dengan organisasi pembuat acara hura-hura.

Para organisatoris selalu mencari alibi bahwa yang menyebabkan mandegnya regenerasi adalah mahasiswa yang semakin hedon dan apatis, tanpa berusaha introspeksi diri bahwa organisasinyalah yang tak berkembang sejak zaman perjuangan hingga zaman pomade kekinian.

Saya adalah saksi hidup saat pecahnya pertempuran antar kelompok mahasiswa ketika Pemira Bem KM Unmul pertama kali (sebelumnya hanya BEM Unmul) pada tahun 2014. Saya pula yang mengantar salah seorang Mahasiswa Faperta yang terluka akibat sabetan benda tajam saat perang di “Jalur Gaza”. Saat itu saya sebagai Presiden Bem Faperta yang baru saja terpilih, dan saya diamanahkan untuk mengamankan Mahasiswa Faperta yang terlibat dalam kerusuhan tersebut. Akhir dari kerusuhan, akhirnya ada mahasiswa yang dijebloskan ke dalam sel tahanan, dan sejak saat itu Pemira konvensional dihapuskan dan Pemira memasuki era baru.

Pemira Masa Kini dan Upaya Perebutan Kekuasaan

Setiap ada kekuasaan, selalu ada upaya mempertahankan suksesi kepemimpinan, dan itulah yang disebut sebagai dinasti. Dalam demokrasi, sesungguhnya tak ada istilah politik dinasti, sebab kekuasaan diraih dengan cara yang demokratis. Siapapun, dengan baju warna apapun berhak untuk merebut kekuasaan asal mampu mendapat dukungan mayoritas pemilih. Bagi saya, politik dinasti adalah sebuah cacat dalam sistem demokrasi.

Saya mengutip sebuah studi politik yang dilakukan oleh Ernesto Dal Bo, Pedro dal Bo, dan Jason Snyder (2007) mengenai dinasti politik di Kongres Amerika Serikat sejak berdirinya tahun 1789 yang memberikan beberapa catatan. Pertama, terjadi korelasi antara dinasti politik dan kompetisi politik. Merebaknya politik dinasti berbanding lurus dengan kompetisi politik yang tidak sehat. Semakin tidak adil aturan main dalam kontestasi politik, semakin menyuburkan politik dinasti. Kedua, semakin lama seseorang menjadi anggota kongres, semakin cenderung mendorong keluarganya menjadi anggota lembaga tersebut. Kekuasaan yang cenderung memproduksi kekuasaan dalam dirinya dalam ungkapan merek disebut sebagai power begets power.

Putnam (1976) mengingatkan, elite politik pemegang kekuasaan cenderung melanggengkan kekuasaan (self-perpuating) meskipun mengakibatkan pembusukan terhadap institusi itu sendiri.

Hal serupa juga pernah dikemukakan oleh Robert Michel (1911), dengan teorinya yang disebut sebagai hukum besi oligarki (the iron law of oligarchy). Pada hasil studi tersebut mengungkapkan, bahkan dalam kepemimpinan organisasi yang demokratis, pemimpin cenderung mencengkeram kekuasaannya dan menggerogoti prinsip-prinsip demokrasi.

Mari kita lihat ke dalam rumah kita. Ribut-ribut pemira di tahun ini sebab benturan untuk perebutan kekuasaan. Di kelompok A misalnya, ingin mempertahankan kekuasaan politik kampus dengan meneruskan trah dan garis keturunan kelompok tersebut. Sementara di kelompok B, ingin merebut kekuasaan yang sudah terlampau lama dicengkeram dan dikangkangi oleh kelompok A. Jika kita merunut apa yang disampaikan oleh Robert Michel, saya melihat praktik oligarki modern dalam sistem demokrasi kampus sedang terjadi secara mengakar. Sistem yang dibuat seakan-akan demokratis, namun proses untuk berdemokrasi dijalankan secara iron law. Ketika para pelaksana konstestasi politik pun menjadi bagian dari salah satu kelompok tersebut, maka wajarlah jika Pemira BEM KM Unmul akan kembali memanas. Kita tunggu saja, proses iron law atau democracy law yang akan menang di tahun ini.

Dimana Kekuatan Lembaga  Internal?

Satu pelajaran yang bisa saya ambil dari Pemira masa kini adalah, lembaga internal semakin kehilangan nyawa. Bisa kita lihat dari setiap pertarungan Pemira, calon Presiden dan Wakil Presiden adalah dominan dari lembaga eksternal. Tidak salah, sebab lembaga eksternal pun memiliki dampak yang amat sangat besar bagi gerakan internal. Selama saya menjadi organisatoris, saya tak pernah tergabung dalam lembaga eksternal selain organisasi lingkungan hidup. Saya percaya, bahwa lembaga internal haruslah memiliki ciri gerakan sendiri, independen, tak terikat kontrak politik dengan lembaga lain, dan mandiri. 

Saya membangun gerakan BEM Faperta secara mandiri, tanpa terikat oleh lembaga manapun, meski seluruh jajaran BPH saya adalah delegasi dari seluruh lembaga internal dan eksternal kampus. Bagi saya, lembaga internal kampus harus tetap memiliki ciri sendiri. Lembaga internal memiliki almamater kebesaran yang tak dimiliki oleh lembaga eksternal. Lembaga internal adalah lembaga yang memiliki kajian secara independen, tanpa terikat oleh kepentingan lain.

Membangun relasi dan jaringan dengan seluruh lembaga sangatlah diharuskan. Kunci keberhasilan sebuah gerakan adalah kolaborasi dan gotong-royong dengan seluruh elemen lain. Maka, dalam konteks ini saya hanya bisa berharap akan ada lahir kader-kader yang murni dari kaderisasi gerakan lembaga internal. Dan saya berharap, kedepan ciri gerakan BEM KM Unmul akan mengakar dan membumi, sebagaimana ciri dari gerakan lembaga internal Kampus.

Pada akhirnya, saya hanya bisa bersyukur atas ribut-ribut Pemira tahun ini. Saya mensyukuri bahwa gairah perpolitikan di Kampus Mulawarman kembali hidup. Saya hanya berharap, para adik-adik mahasiswa berdemokrasilah di jalur yang benar. Mari tanamkan integritas dalam diri, sebab kalian dan kitalah nanti yang akan menggantikan mereka-mereka yang saat ini duduk di kursi kekuasaan. 

Jika untuk meraih kekuasaan saja Anda sudah tidak dapat berlaku jujur dan adil, maka jangan berharap Indonesia akan menjadi negara bersih dan makmur di masa yang akan datang. Sebagai akhir dari tulisan saya, saya ingin mengumpamakan kejadian di Unmul saat ini dengan apa yang saya rasakan sekarang. Saya sedang berada dan bekerja di sebuah kantor yang 99% karyawannya adalah beragama Hindu. Saya satu-satunya muslim di sana. Namun, di dalam perbedaan itulah saya menemukan sebuah kesamaan, yakni persaudaraan sebagai satu bangsa.

Begitulah yang harusnya adik-adik terapkan. Meski berbeda organisasi, partai, baju, atau golongan, tetaplah pada akhirnya menjunjung tinggi rasa persaudaraan sebagai sesama mahasiswa, sebagai sesama anak bangsa, dan sebagai penyambung lidah rakyat. Jangan karena pesta demokrasi yang 1 kali dalam setahun ini menyebabkan permusuhan hingga 7 turunan. Mahasiswa memiliki tantangan yang berat kedepan, jangan hanya habiskan tenaga dan energi untuk hal yang bersifat seremonial belaka. Ketika Pemira dijalankan dengan integritas, lurus dan jujur, maka saya meyakini di masa yang akan datang akan lahir pemimpin bangsa yang besar dan tangguh.

Dari Pulau Dewata, saya sampaikan selamat berdinamika dan jadikan Pemira sebagai ajang pembelajaran demokrasi Indonesia yang berintegritas dan menyambung tali persaudaraan sesama anak bangsa.

Ditulis oleh Ramadhan Sakti Nasution, alumni Mahasiswa Faperta.



Kolom Komentar

Share this article