Opini

Pemilu Serentak Bukan Solusi Terbaik

Ilustrasi pemilu serentak.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: merdeka.com

Pemilihan umum merupakan salah satu cara negara demokrasi dalam mengisi suatu jabatan publik baik tingkat pusat maupun tingkat daerah. Hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22 E ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Pada sistem pemilu secara langsung, suara rakyat menjadi dasar legitimasi atas terpilihnya pejabat pemerintahan baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Hal ini memerlukan model penyelenggaraan yang baik dengan berbagai konstelasi politik dalam menciptakan suatu formulasi untuk penyelenggaraan pemilu, terutama pemilu presiden/wakil presiden.

Pengajuan permohonan gugatan uji materiel atas Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, di mana uji materiel ini diajukan sebagai representasi masyarakat sipil untuk menyelenggarakan pemilu dengan model penyelenggaraan serentak sesuai amanat dalam ketentuan Pasal 22 E ayat (2), yang berbunyi: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,  Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, model penyelenggaraan pemilu serentak dicetuskan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada 23 Januari 2014.

Anggota Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan mengatakan bahwa dengan adanya pemilu serentak akan mengefisiensikan sejumlah hal, baik dari sisi anggaran maupun dari sisi waktu. Karena pemilu serentak ini menggabungkan antara pemilu presiden/wakil presiden dengan pemilu legislatif. Namun, persepsi yang dibangun tersebut nyatanya tidak sesuai dengan realita yang terjadi pada pemilu serentak di tahun ini. Peneliti Populi Center Afrimadona mengatakan, tujuan efisiensi dari gagasan pemilu serentak justru menciptakan ongkos politik dan ekonomi yang begitu besar yang mencapai Rp25 triliun (disampaikan pada acara diskusi "Evaluasi Pemilu 2019 Serentak" di kantor Populi Center, Kamis (2/5)).

Terdapat kompleksitas dari masalah-masalah pemilu serentak yang tidak tercover dan diantisipasi dalam undang-undang pemilu saat ini. Jika kita beralih kepada permasalahan sumber daya manusia saat pemilu, hal ini berimplikasi pada banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang kelelahan di lapangan. Sekjen Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arif Rahman Hakim pada Senin (29/4), mengatakan kepada media bahwa petugas KPPS yang meninggal dunia berjumlah 296 orang, kemudian terdapat 2.151 petugas yang sakit dan 2.447 petugas yang terkena musibah.

Inilah kondisi politik hukum di Indonesia saat ini. Di mana kedaulatan rakyat tidak dipandang lagi, bahkan mengorbankan nyawa rakyat atas kejamnya politik bagi sebuah kekuasaan. Tidak peduli akan cita-cita nasional NKRI yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yakni untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Mari bersama wujudkan sebuah adagium terkenal yakni Salus Populi Suprema Lex (kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi).

Ditulis oleh Kardiono Cipta Kanda, mahasiswa Fakultas Hukum.



Kolom Komentar

Share this article