Opini

Pekik Merdeka Guru Honorer

Opini tentang nasib guru honorer.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Istimewa

Apa yang dimaksud dengan guru? Secara umum, pengertian guru adalah seorang tenaga pendidik profesional yang mendidik, mengajarkan suatu ilmu, membimbing, melatih, memberikan penilaian serta melakukan evaluasi kepada peserta didik. Dalam bahasa Jawa, kita mengenal bahwa guru adalah seorang yang “digugu” dan ditiru oleh semua murid bahkan masyarakatnya. Digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan oleh seorang guru senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua murid.

Seorang guru harus ditiru, artinya guru harus menjadi suri tauladan (panutan) bagi semua muridnya. Guru identik dengan pahlawan tanpa tanda jasa, karena jasa seorang guru melahirkan berbagai macam profesi sehingga menjadikan manusia mulia dan terhormat. Itulah mengapa seorang guru ditempatkan dalam posisi yang begitu tinggi dan mulia.

Lantas, apakah posisi guru ini diperhatikan oleh pemerintah? Apakah peran guru dijadikan sebagai profesi yang penting di negara kita? Apakah nasib guru kita saat ini diperhatikan oleh pemerintah secara merata? Atau bahkan dijamin oleh negara dengan adil?

Kenyataannya, masih tidak. Secara kasat mata, antara guru honorer dengan guru-guru yang menyandang sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak nampak berbeda. Yakni memiliki jadwal kerja dan fungsi yamg sama sebagai guru atau pengajar. Mirisnya, meski Indonesia telah merdeka sekitar 76 tahun, kesejahteraan guru honorer sangat berbeda jauh dengan guru yang telah berstatus sebagai Aparat Sipil Negara (ASN) yang jelas lebih terjamin dengan segala fasilitasnya.

Guru honorer sendiri merupakan guru yang memiliki hak untuk memperoleh honorium, baik perbulan maupun pertriwulan dan mendapatkan perlindungan hukum dan cuti berdasarkan peraturan pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Guru honorer memiliki status kepegawaian yang kurang jelas karena jangka kontrak yang ditentukan. Jika kontraknya selesai, mereka akan diberhentikan dari status kepegawaiannya. Dalam status kepegawaian, profesi guru dibagi dua. Pertama, guru tetap dan kedua adalah guru tidak tetap atau guru bantu.

Perbedaan antara guru tetap dan guru honorer tidak berhenti pada status kepegawaiannya, tetapi juga pada faktor upah minimumnya. Padahal jika ditinjau dari sisi pekerjaan, sudah jelas mereka memiliki pekerjaan yang sama. Adanya perbedaan tersebut menimbulkan permasalahan bagi guru honorer terutama tentang kesejahteraan psikologisnya. Lebih khususnya kesejahteraan psikologis guru honorer yang berada di daerah tertinggal. Oleh sebab itu, peningkatan kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan psikologis sudah seharusnya dirasakan oleh guru honorer yang ada di daerah tertinggal dan terpencil.  Apalagi para guru honorer yang telah mengabdi dalam jangka waktu yang sangat lama.

Guru honorer memang menghadapi kenyataan yang memprihatinkan. Mulai dari tingkat pengahasilan yang tidak menentu. Para guru honorer sama sekali tidak memperoleh tunjungan-tunjungan yang disediakan oleh pemerintah, sebagaimana para guru PNS. Mereka menjalani kondisi terpuruk bertahun-tahun, mengabdi di daerah ditambah status kepegawaiannya yang kurang begitu jelas.

Hasil observasi terhadap guru honorer daerah menunjukan berbagai masalah yang dilema. Seperti masa pengabdian yang cukup lama. Di antaranya ada yang mengabdi 19-25 tahun. Di satu sisi, guru honorer daerah menerima upah sebesar Rp300 ribu, Rp250 ribu atau Rp200 ribu per bulan maupun per triwulan. Akan tetapi, mereka tetap bertahan dengan kondisi terpuruk bertahun-tahun.

Setelah sekian lama mengabdi dengan kondisi terpuruk, masih banyak guru honorer daerah yang bertahan meskpun belum diangkat menjadi PNS. Para guru honorer tersebut tetap menjalangkan tugas utamanya sebagaimana tugas guru tetap. Yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Guru honorer yang ada di Indonesia saat ini berjumlah 728.461 orang dari total 3.357.935 orang guru. Dari sekitar 7000-an guru honorer tersebut, hampir seluruhnya mendapatkan upah yang jauh dari kata layak. Menurut laporan dari Education Efficiency Index, Indonesia termasuk ke dalam salah satu negara yang paling kurang mengapresiasi kinerja guru.

Dari sekitar 30-an negara yang masuk kedalam survei lembaga tersebut, gaji guru di Swiss menjadi gaji guru yang paling tinggi dengan nilai mencapai $68 ribu atau kira-kira setara dengan Rp950 juta per tahunnya. Angka tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan gaji rata-rata kelas menengah di negara tersebut. Gaji tertinggi berikutnya ada di Belanda, Jerman dan Belgia. Sementara Indonesia sendiri berada di urutan terakhir dengan gaji guru rata-rata hanya sekitar Rp39 juta per tahunnya. Sedangkan gaji rata-rata hanya sekitar Rp200 ribu tiap bulanya.

Secara umum, terdapat problematika pendidikan yang terjadi di daerah tertinggal. Di antaranya adalah keterbatasan biaya pendidikan untuk menunjang kelengkapan sarana dan prasarana pembelajaran. Ditambah lagi kesejahteraan guru honorer yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Melihat fakta tersebut, memang sangat memprihatinkan nasib para pejuang pencerdas bangsa ini.

Atas dasar itulah, seharusnya guru mendapatkan haknya sebagai profesi yang penting di negara ini. Dengan fakta yang ada, diharapkan pemerintah lebih profesi guru terutama mereka yang mengajar di daerah tertinggal. Para guru berhak mendapatkan tempat yang proporsional dan profesional, sebab mereka lebih banyak diperlukan sebagai komponen objek dan bukan sebagai subjek insan pendidikan

Diharapkan guru akan merasa terapresiasi kemudian menjadikannya lebih fokus dan semakin memajukan bangsa serta negara Indonesia. Generasi muda merupakan generasi yang akan meneruskan perjuangan bangsa. Sehingga peran pendidikan adalah salah satu penentu keberhasilan yang kuat untuk mereka.

Ditulis  oleh Renaldi Saputra, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Agroekoteknologi, Faperta  Unmul.



Kolom Komentar

Share this article