Pancasila: Jembatan Emas Kesejahteraan Rakyat Indonesia
Sukardi, Wakil Gubernur BEM FEB Unmul
- 02 Jun 2018
- Komentar
- 2241 Kali
Bangsa Indonesia sudah seharusnya menjadikan Pancasila sebagai fondasi filosofis yang digali dari budaya dan kearifan lokal beragam suku bangsa yang mampu menjadi perekat solidaritas komunitas kehidupan bangsa Indonesia, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan lain-lain melalui kesatuan politik hukum nasional. Bangsa Indonesia mengenal musyawarah sebagai nilai kearifan lokal yang bertumpu kepada nilai-nilai kebijaksanaan yang sarat dengan keyakinan religius. Bangsa Indonesia seharusnya mampu menjadi tenaga pendorong bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini.
Transformasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat diejewantahkan dengan tetap memperhatikan gerak dinamis masyarakat Indonesia yang juga menghadapi pergaulan dengan dunia luar di era globalisasi saat ini. Adapun proyek penggalian budaya sebagai modal sosial bagi kemajuan bangsa Indonesia telah diejewantahkan dan mampu dirasakan oleh negara Malaysia dan Singapore.
Proyek Pluralisme Korporat mampu berjalan secara efektif di Malaysia yang semula mengalami konflik kesenjangan antar etnis, seperti Indonesia, meskipun tidak terlalu resisten seperti konflik yang terjadi di Indonesia, membawa bangsanya yang semula berkonflik di antara masing-masing etnis (Melayu, Tiong-Hoa, India, dan lain-lain) menuju kepada kesejahteraan bersama bangsa Malaysia yang ditopang oleh solidaritas bersama antar etnis tersebut.
Proyek Pluralisme Korporat melalui program-program andalan pemerintah melalui kebijakan baru ekonomi “New Economy Policy” mampu mengatasi problem bangsa yang terdiri dari berbagai etnis tersebut untuk saling bahu-membahu dalam suatu pola kehidupan politik koeksistensial (berbeda tapi mampu hidup berdampingan). Singapura juga melakukan hal yang sama dengan Malaysia, menggapai kemajuan bangsanya dengan proyek Pluralisme Korporat yang bersandar kepada budaya multikulturalisme.
Penggalian nilai-nilai budaya multikulturalisme dilakukan melalui ajaran konfusian yang menjadi sandaran bagi mereka dalam membina hubungan yang harmonis sehingga segala program-program kebijakan pemerintah “Singapore 21” mampu didukung oleh segenap komunitas bangsanya yang meyakini dan percaya demi kemajuan bersama.
Khusus untuk Singapura yang mengandalkan sandaran etika konfusianisme yang cenderung “familistik” bukanlah tesis yang sepenuhnya tepat dikatakan sebagai kausa/akibat langsung dari kemajuan dan kemakmuran negara tersebut, menurut saya, baik Singapura maupun Malaysia yang sukses dengan program pluralisme korporat-nya masing-masing disebabkan karena kemampuan dan kerja keras dari para negarawan, politisi dan birokrat yang mampu menggali dan mengintgrasikan berbagai budaya-budaya yang berlainan dari berbagai etnis tersebut menjadi sarana integrasi nasional demi kemakmuran bangsanya.
Kesuksesan pluralism korporat di Malaysia dan Singapura tersebut sebagai wadah pencairan berbagai etnis menunjukkan juga terintegrasinya nilai-nilai budaya masing-masing etnis ke dalam identitas budaya bangsa dan negara tersebut. Padahal apabila kita uraikan budaya-budaya yang membangun identitas nasional tersebut, misalkan etnis cina yang sangat kental sekali dengan budaya familistik yang terisolasi dari kohesi sosial mampu mencair dengan nilai budaya dari etnis lainnya menjadi identitas nasional yang menjadi modal kemajuan bangsa.
Lain halnya dengan etnis cina di Indonesia yang masih memegang teguh atomisasi keluarga, klan dan kekerabatan sehingga mengabaikan pentingnya kohesi sosial dengan etnis lainnya dalam wadah-wadah asosiasional yang kemudian menjelma menjadi asosiasi negara. Hal ini juga tidak hanya dapat dituduhkan kepada etnis cina semata yang ada di Indonesia, akan tetapi juga terhadap eksklusivitas suku-suku bangsa lainnya yang masih merekatkan diri dengan pola kekerabatan secara darah dan klan sehingga merasakan acuh dan terasing dari pola-pola inklusivitas kehidupan komunitas bangsa Indonesia.
Indonesia yang kental dengan budaya familistiknya cenderung menghasilkan dampak negatif dalam pembangunan nasional negeri ini, kecenderungan untuk melawan mainstream ikatan keluarga yang kuat dengan memperluas pandangan komunitas bangsa masih belum sampai kepada tatanan yang diharapkan. Rendahnya budaya nasionalisme yang menjadikan kesatuan visi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadikan kondisi bangsa ini semakin terpuruk ke dalam jurang-jurang kesenjangan sosial yang semakin menganga.
Lain halnya dengan Jepang yang patut kita jadikan cukup teladan dalam mengelola nilai-nilai budaya kekeluargaan dengan mana ranah kehidupan privat dan publik sedemikian sulitnya terjadi pemisahan secara tegas, sehingga selain peran keluarga sebagai asosiasi terkecil di Jepang, justru juga sangat membutuhkan peran negara dalam kemajuan perekonomian nasional dengan adanya sprit integrasi dari kewajiban-kewajiban yang bersandar kepada ikatan keluarga dengan kewajiban-kewajiban yang juga bersandar kepada visi memajukan negara (keluarga+negara= pertumbuhan ekonomi).
Data dan fakta ini dapat kita pelajari dari apa yang telah digapai oleh Amerika Serikat dalam pertumbuhan ekonomi khususnya, dan solidaritas sukarela kehidupan sosial masyarakatnya (Amerika tidak seindividualistis yang kita bayangkan). Berkaca dari berbagai uraian kasus tersebut di atas, maka Bangsa Indonesia yang justru berlimpah dengan berbagai modal sosial yang berasal dari berbagai budaya (pluralisme dan multikulturalisme) dan agama Islam mayoritas justru masih belum mampu memaksimalkan segala potensi yang ada hingga saat ini, khususnya terhadap agama Islam, yang mana sebagai ajaran yang memliki modal sosial terbesar dalam komunitas Indonesia justru sudah seharusnya menanggung beban yang begitu berat dan mulia untuk mentransformasikan nilai-nilai etik profetiknya dalam kehidupan universal bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai etik Islam yang berskala universal mampu menjangkau seluruh umat manusia demi terwujudnya kemaslahatan bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai pengejawantahan berbagai modal sosial budaya, agama dan lain-lain hendaknya kembali dijadikan pedoman paradigma dalam menyusun segala kebijakan-kebijakan negara yang berorientasi demi pembangunan nasional, sehingga hasil kemajuan yang mampu tergapai tetaplah senapas dengan jiwa budaya bangsa kita sendiri yakni Pancasila, tentunya hal ini juga harus didukung oleh karakter para birokrat yang memilki kompetensi untuk menjadikan bangsa ini menjadi lebih baik. Perlunya penggalian karakter dari para negarawan yang berwatak Pancasilais semoga diharapkan mampu membawa Indonesia kepada “jembatan emas” kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ditulis oleh Sukardi, Wakil Gubernur BEM FEB Unmul