Opini

Nasib Dokter Saat Ini

Memperingati Hari Dokter Nasional ke-69.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: promkes.kemenkes.go.id

24 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Dokter Nasional, dan tahun ini adalah perayaan ke-69 sejak 1950 lalu. Hari Dokter Nasional sendiri sangat berhubungan erat dengan sejarah terbentuknya organisasi profesi kedokteran di Indonesia yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Organisasi yang memiliki lambang ular ini mempunyai sejarah pembentukan yang sangat panjang. 

Bermula dari tahun 1911, perkumpulan kedokteran pertama di Indonesia bernama Vereniging van Indische Artsenl terbentuk dan pada 1926 perkumpulan itu beralih menjadi Vereniging Van Indonesische Genesjkundigen (VGI). Tiga tahun kemudian pada masa penjajahan Jepang, perkumpulan tersebut dibubarkan dan berubah nama menjadi Jawa IZI Hooko-Kai

Singkatnya, pada 22-25 September diadakan Muktamar Ikatan Dokter Indonesia dan sebulan setelahnya, tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1950, dr. Soeharto (pantia Dewan Pimpinan Pusat IDI waktu itu), atas nama sendiri, dan atas nama pengurus lainnya, yakni dr. Sarwono Prawirohardjo, dr. R. Pringgadi, dr. Puw Eng Liang, dr. Tan Eng Tie, dan dr. Hadrianus Sinaga menghadap notaris R. Kadiman untuk memperoleh dasar hukum berdirinya perkumpulan dokter dengan nama ‘Ikatan Dokter Indonesia’ dan inilah IDI yang kita tahu hingga sekarang. 

Profesi dokter dari dulu hingga sekarang masih menjadi favorit bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Terbukti dari banyaknya orang tua yang selalu mengharapkan anaknya untuk masuk ke Fakultas Kedokteran, padahal belum tentu sang anak menginginkan. 

Hal ini juga ditunjukkan bahwa Fakultas Kedokteran atau pun Kedokteran Gigi selalu menempati urutan teratas dalam jurusan yang paling diminati. Hal ini disebabkan oleh pemikiran masyarakat awam mengenai profesi dokter, yang memiliki peluang kerja pasti dan mendapatkan penghasilan yang banyak. Belum lagi kebanggaan tersendiri bagi orang tua apabila orang lain mengetahui bahwa anak mereka sedang menempuh pendidikan di bidang kedokteran.

Karena banyaknya peminat dan sedikitnya lapangan pekerjaan, membuat persaingan yang semakin ketat terjadi di lapangan. Sebenarnya bila ditelusuri lebih lanjut, profesi dokter masih sangat dibutuhkan di daerah terpencil. Namun, kebanyakan lulusan kedokteran hanya ingin bekerja di daerah perkotaan saja, sehingga seakan-akan lulusan kedokteran “menumpuk”. Banyak yang lebih memilih untuk bekerja di kota besar dikarenakan fasilitas yang lebih mendukung untuk proses pemeriksaan dan pengobatannya. 

Selain karena lapangan pekerjaan yang semakin sedikit, fakta lain yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat adalah kurangnya pendapatan yang dihasilkan oleh dokter itu sendiri. Sebenarnya tidak salah menggangap bahwa dokter adalah salah satu profesi yang menghasilkan pendapatan yang lumayan. Namun hal ini berlaku hanya untuk dokter yang sudah meraih gelar spesialis saja. 

Untuk meraih gelar tersebut, butuh perjuangan yang lebih, entah itu berupa materi maupun tenaga. Sebab, untuk meraih gelar “dr.” saja sudah membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun serta biaya yang tidak sedikit, apalagi untuk meraih gelar “sp.” (gelar yang diberikan ketika sudah menyelesaikan pendidikan spesialis) tentu saja lebih membutuhkan perjuangan. 

Berbagai perjuangan yang telah dilewati oleh para lulusan kedokteran ternyata tidak sebanding ketika mereka sudah berada di lapangan. Salah satunya adalah persoalan mengenai pendapatan. Memang, menjadi seorang dokter adalah profesi yang mulia karena bisa membantu banyak orang. Untuk menjadi seorang dokter juga dibutuhkan seseorang yang berjiwa besar dan ikhlas dalam membantu. 

Sebenarnya, mereka pun tahu bahwa pendapatan itu tidak akan menutupi semua biaya yang mereka keluarkan selama menempuh pendidikan mereka. Tetapi, tidak munafik bahwa mereka juga menginginkan pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 

Belum lagi betapa padatnya jam kerja yang dilakukan seorang dokter umum, sebab apabila hanya praktik di satu klinik akan susah untuk menutupi biaya hidup, sehingga harus bekerja di beberapa tempat. 

Selain pendapatan yang kurang, faktor penghambat lain dalam karir seorang dokter datang dari pasien mereka. Banyak pasien yang sudah pintar dalam menilai penyakit mereka sendiri, sehingga tidak sedikit yang malah tidak percaya dengan kemampuan dokter itu sendiri, tetapi cenderung lebih mempercayai apa yang mereka “baca”. Karenanya, tidak sedikit pasien yang lebih memilih untuk melakukan berbagai pengobatan tradisional meskipun belum terbukti secara ilmiah daripada pengobatan yang disarankan oleh dokter. 

Terakhir, masih banyak masyarakat Indonesia yang memiliki kesadaran rendah terhadap penyakit yang mereka derita. Banyak kasus yang terjadi, seperti pasien yang datang ke dokter ketika telah sakit parah. Padahal, apabila pasien memiliki kesadaran yang tinggi dan lebih mengenali kelainan yang timbul dalam dirinya, bisa saja penyakit itu dicegah sebelum lebih parah. 

Untuk teman-temab sejawat yang sedang berjuang di luar sana, tetaplah semangat! Karena suatu hari nanti, nyawa seseorang akan berada di tangan kita. Teruslah belajar dan berkembang! 


Ditulis oleh Andi Rizky Amalia Syahrir, mahasiswi Kedokteran, FK 2018.



Kolom Komentar

Share this article