Money Politic dalam Pemilu: Tinjauan Hukum terhadap Praktik Korupsi dan Pelanggaran Kampanye dalam Demokrasi
Meninjau money politic dari perspektif hukum
Sumber Gambar: Website Diskominfo Lombok Timur
Money politic menjadi isu yang selalu hadir dalam pemilihan umum di Indonesia. Money politic dapat merusak proses demokrasi dan memberikan dampak negatif pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Money politic adalah praktik korupsi atau pelanggaran kampanye dengan tujuan untuk memperoleh dukungan atau memengaruhi hasil pemilihan umum melalui pemberian uang atau hadiah yang menjanjikan.
Secara sosiologis, money politic dapat dilihat sebagai suatu fenomena sosial yang melibatkan interaksi antara aktor-aktor politik, masyarakat, dan media massa dalam suatu sistem politik. Money politic juga dapat dipahami sebagai sebuah bentuk pelanggaran etika dalam politik yang mengarah pada korupsi dan mengancam keberlangsungan demokrasi.
Berikut merupakan bentuk-bentuk money politic.
Uang
Uang sangat penting dalam memajukan personal seseorang dan memengaruhi wacana strategis yang terkait dengan kepentingan politik dan kekuasaan. Uang juga memainkan peran penting dalam pemilihan legislatif, di mana beberapa calon menggunakan politik uang secara terang-terangan. Seperti memberikan uang kepada pendukung mereka yang menunjukkan adanya pasar penentu harga suara dalam pemilu. Ini sangat ironis dalam konteks demokrasi, karena demokrasi seharusnya menekankan pada kebebasan hak individu tanpa campur tangan dari kepentingan khusus.
Fasilitas Umum
Dalam konteks perbaikan infrastruktur fasilitas umum, para calon sering menggunakan strategi politik “pencitraan” untuk menarik dukungan dari masyarakat di daerah pemilihannya. Mereka memberikan bantuan kepada masyarakat dalam bentuk bahan bangunan seperti semen, pasir, batu, dan sebagainya. Selain itu, mereka juga membangun fasilitas dan sarana umum seperti rumah ibadah, jalan-jalan kecil, dan sejenisnya.
Money Politic dapat terjadi atas beberapa faktor. Pertama, adanya kebiasaan yang menjadikan pemilu sebagai ajang bagi masyarakat dan para elit politik saling membantu untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Kedua, tingkat pendapatan yang rendah, yakni keadaan di mana seseorang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan. Sehingga memaksa sebagian masyarakat menjadikan pemilu sebagai menjadi ajang mendapatkan uang secara instan.
Ketiga, banyak orang yang tidak memahami politik, bentuknya, dan konsekuensinya. Akibatnya, mereka cenderung lebih rentan terhadap manipulasi oleh praktik money politic. Masyarakat yang tidak memahami politik cenderung kurang berminat untuk terlibat pemilihan atau jika mereka terlibat, mereka mungkin tidak memiliki dasar pengetahuan yang cukup untuk membuat keputusan yang informan dan rasional.
Praktik money politic dapat memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat untuk memengaruhi persepsi media dengan cara yang tidak seimbang atau tidak jujur. Pada praktiknya, money politic seringkali dikaitkan dengan praktik korupsi dan pelanggaran kampanye dalam demokrasi.
Hal ini terlihat dari banyaknya kasus tindak pidana korupsi yang terkait dengan pemilu, seperti suap untuk memenangkan calon tertentu atau mempengaruhi kebijakan pemerintah setelah terpilih. Selain itu, money politic juga dapat mengakibatkan ketidakadilan dalam pemilu, karena calon yang memiliki uang lebih banyak akan lebih mudah memenangkan pemilihan dibandingkan dengan calon yang sebaliknya.
Salah satu contoh kasus money politic adalah kasus yang terjadi di Pulau Nias pada tahun 2019, terdapat dugaan praktik money politic yang dilakukan oleh seorang calon legislatif DPRD Sumatera Utara (Sumut) dari Partai Gerindra yang juga merupakan Ketua Tim Pemenangan Calon Presiden Nomor Urut 02 di Pulau Nias dengan inisial DRG. DRG dan tiga orang lainnya diamankan oleh Polres Nias di posko pemenangan relawannya di Jalan Sirao, Kelurahan Pasar, Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli, Sumatera Utara.
Kapolres Nias AKPB Deni Kurniawan mengatakan bahwa penangkapan ini diduga terkait dengan politik uang, karena polisi berhasil mengamankan sejumlah barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp. 60.000.000 dan sejumlah dokumen lainnya. Selama pemeriksaan, tiga pelaku mengaku akan membagikan uang tersebut kepada 2.400 orang dengan total sebesar Rp. 48.000.000. Rinciannya, setiap orang akan mendapatkan uang sebesar Rp. 20.000 dan uang Rp. 12.000.000 rencananya akan diberikan sebagai dana transportasi bagi tim yang bekerja di lapangan.
Polisi juga menyita kuitansi tanda terima yang berisi catatan jumlah pemilih setiap desa di wilayah dan DPT di kecamatan Namohalu Esiwa dan Kecamatan Lahewa Timur, satu unit laptop, printer, dan dua unit sepeda motor. Dari hasil penyitaan tersebut, polisi akan memberikan rekomendasi kepada Bawaslu. Sementara itu, para pelaku akan dikenakan Pasal 523 Ayat (2) UU Pemilu, dengan ancaman hukuman 4 tahun dan denda Rp 48 juta.
Tentunya, regulasi di Indonesia bertujuan menjamin penanganan yang efektif dan memberikan efek jera terhadap pelaku money politic. Namun, keberhasilan implementasi dan penegakan hukum tergantung pada beberapa faktor, yakni sebagai berikut.
Pertama, Independensi dan profesionalisme penegak hukum dalam menangani kasus money politic. Mereka harus bebas dari intervensi politik dan memiliki kemampuan serta sumber daya yang cukup untuk menyelidiki dan menuntut secara adil. Meskipun regulasi telah memberikan landasan hukum yang kuat, keberhasilan penanganan kasus money politic sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan penegak hukum untuk bertindak secara adil, tanpa adanya intervensi, dengan tujuan memberikan efek jera terhadap pelaku money politic.
Kedua, Kerja sama yang baik antara lembaga penegak hukum seperti kepolisian, jaksa, dan pengadilan. Koordinasi yang efektif dapat meningkatkan efisiensi dan keberhasilan dalam proses penuntutan terhadap pelaku money politic.
Ketiga, Transparansi dalam proses penanganan kasus agar masyarakat dapat melihat dan mengawasi jalannya proses hukum. Hal ini membantu memastikan bahwa pelaku money politic tidak luput dari tanggung jawab mereka.
Selain berbicara mengenai penanganan, upaya preventif (pencegahan) menjadi sangat penting untuk memastikan keberlangsungan demokrasi yang sehat dan jujur. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menindak money politic adalah sebagai berikut.
Pertama, memasifkan pendidikan politik dan sosialisasi tentang bahaya money politic.
Kedua, menguatkan dan memaksimalkan fungsi undang-undang yang melarang penerimaan atau penawaran uang dalam politik, mengatur pendanaan kampanye, dan menerapkan mekanisme pengawasan yang ketat.
Ketiga, penegakan hukum yang tegas termasuk penyelidikan, penangkapan, dan pengadilan terhadap pelanggar. Tujuannya adalah memastikan integritas dalam sistem politik, meningkatkan kepercayaan publik, dan mendorong budaya politik yang bersih dan etis.
Keempat, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana kampanye, seperti melalui laporan keuangan dan audit dana kampanye. Laporan keuangan yang lengkap dan terperinci membantu mengidentifikasi dan mengungkapkan asal-usul dana serta bagaimana dana tersebut digunakan. Audit dana kampanye memastikan bahwa pengelolaan dana dilakukan secara benar dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Kelima, memperkuat lembaga pengawas pemilu untuk melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran kampanye dan money politic. Langkah ini melibatkan peningkatan sumber daya, kewenangan, dan otonomi lembaga pengawas pemilu. Dengan ini, mereka dapat melakukan pemantauan yang lebih efektif terhadap kegiatan kampanye, mengumpulkan bukti terkait pelanggaran, dan memberlakukan sanksi yang tegas terhadap para pelanggar.
Keenam, meningkatkan edukasi dan partisipasi masyarakat dalam pemilu, sehingga masyarakat memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memilih calon tanpa terpengaruh oleh praktik money politic. Dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang proses politik, pentingnya integritas dalam memilih dan dampak negatif dari money politic, mereka menjadi lebih sadar dan terampil dalam memilih calon independen. Edukasi yang efektif dapat dilakukan melalui kampanye penyuluhan, debat publik, dan akses mudah terhadap informasi yang objektif tentang calon dan platform politik mereka. Selain itu, mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pemilu dengan menggalang dukungan untuk hak suara dan memperkuat ikatan sosial antar warga juga dapat membantu mengurangi pengaruh uang dalam politik. Dengan meningkatkan edukasi dan partisipasi masyarakat, mereka dapat membuat keputusan berdasarkan pertimbangan yang rasional dan nilai-nilai demokrasi, bukan terpengaruh oleh praktik money politic yang merusak integritas pemilihan.
Peran masyarakat dan media massa dalam memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana kampanye menjadi sangat penting untuk meminimalisir praktek money politic. Dalam tinjauan hukum, money politic dalam Pemilu melanggar beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
Pertama, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menegaskan bahwa kegiatan kampanye dilakukan secara jujur dan adil tanpa menggunakan kekerasan, intimidasi, atau imbalan materi untuk mempengaruhi pemilih. Pasal 73 ayat (1) undang-undang ini menegaskan bahwa, “Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau pemilih”.
Kedua, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menjadikan tindakan memberi atau menerima suap sebagai tindak pidana. Berdasarkan undang-undang ini, memberi atau menerima suap adalah tindak pidana yang dapat diancam hukuman penjara atau denda. Dalam hal ini, siapapun yang terlibat dalam tindakan suap, baik itu sebagai pemberi ataupun penerima dapat diproses hukum dan dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ketiga, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang melarang penggunaan uang hasil kejahatan untuk kegiatan politik. Dalam konteks pemilu, hal ini berarti bahwa tidak boleh ada penggunaan dana yang berasal dari kejahatan seperti korupsi, penipuan, atau pencurian untuk membiayai kampanye atau kegiatan politik lainnya. Hal ini juga meliputi larangan bagi para calon atau partai politik untuk menerima sumbangan dana dari pihak yang diduga memiliki kaitan dengan kejahatan pencucian uang.
Pada dasarnya, kita semua mengharapkan pemilu dapat berlangsung dengan adil dan demokratis, serta memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa pemimpin yang terpilih merupakan hasil dari proses pemilihan yang jujur dan bebas dari pengaruh uang dan kepentingan tertentu.
Saran yang dapat disampaikan penulis dalam upaya penanganan terhadap praktik money politic yakni harus adanya keterlibatan aktif dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun partai politik. Lalu, adanya pendidikan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya money politic, dilakukannya peningkatan kualitas calon dari partai politik, diperlukannya pengawasan terhadap pengeluaran kampanye, hingga peningkatan partisipasi masyarakat dalam Pemilu.
Peningkatan partisipasi dalam Pemilu di antaranya dapat dilakukan dengan memberikan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya hak suara mereka dan bagaimana cara menggunakan hak tersebut secara bijak dan peningkatan transparansi dalam proses pemilu.
Opini ditulis oleh Nadya Vionita, mahasiswi Ilmu Hukum, FH 2021 dan Rahmat Fathur Rahman, mahasiswa Ilmu Hukum, FH 2022. Keduanya adalah Anggota Departemen Riset dan Edukasi LKISH FH Unmul.