Opini

Mencederai Pergerakan Wartawan

Ilustrasi Wartawan. (Sumber: Okezone news)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Nuansa Hari Pers Nasional kali ini terasa berbeda. Nama AA Narendra Prabangsa, belakangan kerap muncul di berbagai media. Prabangsa merupakan wartawan Radar Bali yang tewas terbunuh. Hari ini, hampir genap satu dekade pasca tragedi pembunuhan yang didalangi oleh Nyoman Susrama tersebut.

Beberapa bulan sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 pada 7 Desember 2018. Keputusan ini bak angin tak sedap bagi insan pers di seluruh Indonesia. Mungkin lebih tepatnya dikatakan sebagai kado buruk jelang Hari Pers Nasional (HPN), begitu lah sebagian orang menyebutnya. Hal ini tentu menjadi perbincangan publik dari berbagai kalangan, bahkan (mungkin) ada beberapa orang yang baru tahu persoalan ini. Miris memang, tapi apa boleh buat.

Informasi: Keppres itu berisi tentang pemberian remisi kepada 115 narapidana di mana nama Susrama termasuk dalam daftar. Adanya remisi tersebut seperti menguliti napas keadilan bagi insan pers. Sebab sepanjang napak tilas, baru kali ini vonis berat dijatuhkan pada pelaku kekerasan terhadap wartawan.

Kekerasan terhadap wartawan sejak dulu telah ada berjalan beriringan dengan semakin tajam dan kritisnya tulisan itu. Bukan suatu kewajaran, tapi kebengisan para oknum yang tak terima kebejatannya diungkap oleh media. Bahkan beberapa kasus pembunuhan dan kekerasan lainnya terhadap wartawan Indonesia hingga kini tak pernah diungkap. Salh satunya wartawan senior Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin. Seorang wartawan Harian Bernas Yogyakarta yang dibunuh pada 16 Agustus 1996 karena pemberitaan mengenai dugaan korupsi di Bantul.

Ada pula Ersa Siregar, wartawan RCTI, tewas pada 29 Desember 2003 di Aceh, Herliyanto, wartawan Tabloid Delta Pos Sidoarjo tewas pada 29 April 2006, Ardiansyah Qomar Wibisono Matrais, wartawan TV lokal Merauke, ditemukan tewas di Sungai Maro pada 29 Juli 2010, Alfred Mirulewan, wartawan tabloid Pelangi, tewas pada 18 Desember 2010. Dan masih banyak lainnya.

Berdasarkan data statistik yang diperoleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam Tempo.co bahwa setidaknya terdapat 64 kasus kekerasan terhadap wartawan pada 2018, sebanyak 60 kasus pada 2017, 81 kasus pada 2016. Adapun jenis kategori kekerasan antara lain pengusiran, kekerasan fisik, dan pemidanaan karya jurnalistik.

Kalau bukan kekerasan, ya, pemberedelan. Beginilah kondisi pers di negeri yang katanya menganut sistem demokrasi ini. Sebagaimana telah diketahui, kebebasan pers merupakan salah satu dari empat pilar demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun kenyataannya, hal itu tak lagi diindahkan fungsinya.

Padahal wartawan dalam melaksanakan tugasnya telah diatur jelas dan dilindungi dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa pers berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Bahkan ada pula kode etik jurnalistik sebagai pedoman wartawan dalam menegakkan integritas dan profesionalitas.

Pada Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 berbunyi “Terhadap  pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan  penyiaran.”

Pasal 4 ayat (3) berbunyi “Untuk menjamin  kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan  menyebarluaskan gagasan dan informasi.”

Adapun sanksi yang dialamatkan kepada oknum yang menghalangi kerja wartawan juga termaktub di dalam pada Pasal 18 ayat (1) berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan  tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal  4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau  denda paling banyak Rp500 juta.”

Maka dengan demikian, sebagai masyarakat khususnya dalam hal ini kita sebagai mahasiswa sudah sepantasnya untuk dapat memahami Undang-Undang Pers. Penegakkan hukum yang tegas juga menjadi penting agar pelaku kekerasan wartawan mendapatkan efek jera. Dan agar tak ada seorang pun yang bertindak sekehendak hatinya, mencabik napas dan semangat pergerakan pers di Indonesia.

Ditulis oleh Uswatun Hasanah, mahasiswi Ilmu Komunikasi, FISIP 2015.



Kolom Komentar

Share this article