Opini

Membicarakan LPM Sketsa dalam Hari Pers Nasional

Hari Pers Nasional (HPN) ke-72 (Desain oleh Riski Eka)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Kemampuan menulis itu sebuah rahmat. Bergabung dengan komunitas pers itu kebahagiaan. 

Selamat Hari Raya untuk seluruh insan pers di Indonesia! 72 tahun sudah kita (mungkin) ada. Mesti diakui, asal-usul dan sejarah Hari Pers Nasional (HPN) hingga kini acap dipertanyakan, karena memang masih samar, bahkan debatable. Akuntabilitas dan transparansi dari kegiatan ini juga terus-menerus dikritisi dan harus diperbaiki. Kendati demikian, secara faktual dapat dilihat, HPN telah menjelma peristiwa besar tahunan sekaligus refleksi bagi para pegiat pers itu sendiri.

Ada banyak rangkuman sejarah mengenai HPN yang mungkin Anda baca sejak kemarin sampai hari ini. Ucapan beragam bentuk berseliweran dengan gayanya masing-masing. Tetapi tulisan ini berupaya mengajak Anda bicara, memaknai HPN dari sudut pandang lain yang jauh lebih sederhana, nyata, dan dekat dengan kehidupan pers di Unmul, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sketsa. Tentu saja dengan tidak meninggalkan sejarah 9 Februari 72 tahun silam.

LPM Sketsa termasuk satu di antara yang mengaku komunitas pers. Saat ini, LPM Sketsa menjadi satu-satunya lembaga pers mahasiswa tingkat universitas di Unmul. Bagaimana eksistensinya, Anda yang menilai.

Kerja-kerja pers sejujurnya tidak hanya cukup pada mencari, menulis, dan menyebarluaskan berita. Lebih dari itu, pers punya tanggung jawab mengedukasi, menciptakan perubahan, dan memastikan orang-orang di sekitarnya tidak anti kritik dengan caranya sendiri.

Siapa saja termasuk Anda mungkin pernah jadi narasumber LPM Sketsa. Entah hasilnya berita "baik" atau "buruk". Anda boleh jadi senang ketika diberitakan baik. Sebaliknya, Anda mungkin berang ketika diberitakan buruk. Tidak perlu tersipu-sipu mengakui itu. Sampai di sini, perlu diketahui LPM Sketsa telah berupaya membuang jauh-jauh stigma lawas cenderung oportunis: bad news is a good news. Tapi, siapa peduli.

Dalam kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan, LPM Sketsa berupaya skeptis, berimbang, verifikasi, dan memerhatikan kode etik jurnalistik yang mengikat. Ada pertimbangan-pertimbangan sebelum akhirnya berita sampai di tangan Anda, wahai pembaca sekalian. Kerap kali berhadap-hadapan dengan sesama organisasi mahasiswa maupun birokrat menjadi konsekuensi logis yang mau tidak mau harus diterima dari kerja-kerja ini.

Perjalanan LPM Sketsa selama lebih dari satu dekade tak dapat dimungkiri telah banyak menelurkan beragam persepsi di mata civitas academica Unmul. Bukan sekali dua kali menerima amarah, intimidasi berbagai bentuk, bahkan yang paling ngeri, sumpah serapah dan ancaman di akhirat gara-gara berita. Dikatakan kurang bahan sampai tidak punya kerjaan selain bergosip dan mencari-cari salah pihak lain. Ada beberapa yang kemudian anti, tapi rupanya masih ada juga yang berempati. Luar biasa.

Kemudian dari semua ini, yang sebenarnya patut disayangkan adalah sikap anti kritik yang datang dari mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan. Sayang sekali. Keresahan ini datang tidak hanya sebagai insan pers, tapi sebagai mahasiswa.

Mahasiswa yang mestinya menjadi manusia sadar sekaligus mitra kritik birokrat dan pemerintah, lantas akan menjadi sangat-sangat lucu jika memilih bersikap anti kritik lalu menyerang media yang memberitakan. Sepanjang tahun 2017 hingga awal 2018 misalnya, LPM Sketsa telah menerima sebanyak sembilan ajuan keberatan terhadap berita yang diturunkan. Tidak masalah, karena memang menjadi hak narasumber. Sayangnya, tidak semuanya dilandasi keberatan yang objektif.

Tidak cukup sampai di situ, realita ini membuktikan bahwa belum banyak yang memahami bagaimana pers bekerja, termasuk kalangan mahasiswa. Ini menjadi tugas besar buat LPM Sketsa.

Kepada Siapa LPM Sketsa Berpihak

"Silakan bikin berita, tapi tolong kalau kami, jangan diberitakan jelek. Kita kan sesama mahasiswa. Kita kan satu atap. LPM Sketsa ini sebenarnya berpihak ke siapa, mahasiswa kan?"

LPM Sketsa sangat dapat dipastikan independen. Bisa dijamin. Sebab LPM Sketsa tidak terikat, menghamba, atau berjalan di bawah komando konglomerasi sebagaimana media mainstream di luar sana. Awak LPM Sketsa tidak digaji, tidak pula mendapatkan untung dalam bentuk lain. Semua semata-mata dilakukan sebagai tanggung jawab sebagai insan pers yang berusaha menjaga kewarasan serta idealisme. Jadi, jika ditanya memihak siapa, jawabannya jelas. Tidak memihak.

Seperti yang kita tahu, pers menempati pilar keempat demokrasi, di mana pers berarti turut andil dalam menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara terjalin harmoni. Otokritik senantiasa mengalir dalam tiap gerak LPM Sketsa. Sehingga, menjadi tidak anti kritik itu harus agar proses dialektika berjalan. Apa jadinya jika yang disajikan hanya berita yang baik-baik? Mungkin, Anda harusnya hidup di zaman Orde Baru kalau maunya begitu.

Ditulis oleh Amelia Rizky Yunianty, Ketua Redaksi LPM Sketsa 2018



Kolom Komentar

Share this article