Masyarakat Adat yang Terpinggirkan
Hari Masyarakat Adat Internasional.
- 10 Aug 2021
- Komentar
- 1313 Kali
Sumber Gambar : Kutaikartanegara.com
Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun temurun pada wilayah geografis tertentu. Memiliki asal usul leluhur, kesamaan tempat tinggal, identitas budaya, hukum adat serta mempunyai kebebasan dalam menentukan kebijakan politik untuk mengembangkan kemajuan ekonomi, sosial budaya dan sumber daya mereka.
Kemarin, momentum perayaan Hari Masyarakat Adat Internasional yang jatuh pada tanggal 9 Agustus di setiap tahunnya kembali dirayakan. Penetapan tanggal ini dilakukan sejak Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (The United Nations Declaration on the Right of Indigenous Peoples) pada 13 September 2007. Masyarakat adat pun turut menyambut dengan suka cita atas diadopsinya deklarasi yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun oleh berbagai organisasi masyarakat adat di seluruh dunia.
Namun pelaksanaan norma internasional tersebut masih belum mampu terealisasi dengan baik. Padahal, adanya deklarasi ini tentu menjadi sebuah harapan akan perubahan terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Di Indonesia sendiri, hak-hak masyarakat adat masih belum mampu terlindungi dengan baik. Belum lagi kebutuhan hidup dan kesehatan yang buruk. Menurut Health and Indigenous Peoples dari PBB, mereka (masyarakat adat) memiliki angka kematian bayi tertinggi, tingkat harapan hidup yang lebih rendah dan lebih banyak terkena penyakit kronis dibandingkan penduduk yang bukan penduduk asli negara manapun.
Dengan adanya konflik agraria yang terjadi akibat kebijakan pemerintah dalam pembangunan yang sifatnya top-down dan eksploitatif terhadap sumber daya alam yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat adat sehari-hari. Kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi pada status quo masyarakat adat mengakibatkan rasa ketidakadilan dan mereka menjadi termarginalkan dalam peradaban. Contohnya seperti kasus yang terjadi pada warga Dayak Modang Lai di Kaltim, di mana selama 13 tahun mereka mencari keadilan sebab tanah adat mereka telah rusak akibat ulah para korporasi.
Bila ditilik dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, terdapat tiga amanat yang menjadi dasar konstitusional untuk menjamin eksistensi masyarakat adat. Yaitu dalam Pasal 18B Ayat (2) sebagai pengakuan serta menghormati terhadap keberadaan masyarakat adat, Pasal 28I Ayat (3) sebagai penghormatan negara terhadap hak asasi manusia masyarakat adat dan Pasal 32 Ayat (1) dan (2) sebagai penghormatan dan menjamin kebebasan untuk mengembangkan kebudayaan adat. Isi dan substansi dalam pasal tersebut belum mampu terealisasi hingga saat ini. Bahkan bisa kita katakan masih jauh dari harapan.
Janji Presiden Jokowi yang hendak menuntaskan berbagai permasalahan dan melindungi masyarakat adat sebenarnya telah termanifestasi dalam poin-poin nawacita. Yakni pengesahan RUU Masyarakat Adat, pembentukan Satgas Masyarakat Adat, meninjau ulang berbagai peraturan sektoral, membentuk mekanisme nasional untuk penyelesaian sengketa, melaksanakan Putusan MK 35/2012 dan memulihkan korban-korban kriminalisasi.
Nyatanya, hal-hal tersebut belum menunjukkan suatu kejelasan. Dengan terbitnya undang-undang yang bertolak belakang dari harapan masyarakat adat seperti Undang-Undang Minerba atau Omnibuslaw UU Ciptaker menunjukkan belum tuntasnya penunaian janji Jokowi kepada masyarakat adat hari ini.
Aktualisasi norma internasional tentang perjuangan hak-hak masyarakat adat harus tersematkan dalam nurani pemangku kebijakan agar terealisasinya cita-cita dan harapan masyarakat adat di Indonesia. Pemerintahan Jokowi pun harus berkejaran dengan waktu untuk memenuhi janji politik yang belum mampu terpenuhi dalam periode lalu dengan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
Dalam momentum ini, kita senantiasa harus bersuara kepada para pemangku kebijakan untuk sekadar mengingatkan janji-janji politik yang telah kalut dimakan masa. Janji pemerintah akan selalu menjadi harapan bagi setiap pejuang-pejuang hak masyarakat adat.
Ditulis oleh Hari Setyo Nugroho, mahasiswa Fakultas Pertanian 2019.