Mahasiswa Cerdas dan Mahasiswa Progresif
antara mahasiswa cerdas dengan prestasi akademiknya dan mahasiswa progresif dengan prestasi organisasinya
Sumber Gambar : Pinterest
Tulisan ini tak bermaksud mendikotomi antara mahasiswa cerdas dengan prestasi akademiknya dan mahasiswa progresif dengan prestasi organisasinya. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengindentifikasi kedua karakter tersebut dan potensinya untuk berkolaborasi demi kemajuan bersama.
Dua karakter di atas, yakni cerdas sekaligus progresif bisa ada dalam seorang mahasiswa. Sosok seperti inilah yang sangat pas menjadi pemimpin, meski akan langka ditemukan. Sosok pertama ini saya sebut sebagai mahasiswa ideal. Karakter yang banyak adalah mahasiswa dengan dominan memiliki satu karakter dari keduanya. Ada mahasiswa pintar secara akademik namun minus di organisasi, saya menyebut karakter kedua ini sebagai mahasiswa cerdas.
Ada pula mahasiswa yang terampil berorganisasi, namun pas-pasan dalam hal akademik. Karakter ketiga ini saya sebut dengan mahasiswa progresif. Namun, ada juga mahasiswa yang tidak dominan di keduanya—tidak cerdas secara akademik, tidak pula menonjol di bidang organisasi. Karakter keempat seperti ini lebih banyak menjadi pengikut (follower). Saya menyebutnya sebagai mahasiswa kebanyakan.
Keempat karakter yang saya definisikan di atas—mahasiswa ideal, mahasiswa cerdas, mahasiswa progresif, dan mahasiswa kebanyakan—tentulah memiliki potensi dan proyeksinya masing - masing. Mahasiswa ideal layaknya menjadi pemimpin ideal. Mahasiswa cerdas pas menjadi ilmuwan, analis, akademisi, konsultan, profesional dan penemu.
Mahasiswa progresif akan berproyeksi menjadi aktivis intelektual, politisi, usahawan, pekerja sosial serta pemimpin sosial dan struktural.
Sementara itu, mahasiswa kebanyakan potensial menjadi pengikut dari ketiga karakter mahasiswa sebelumnya. Fungsi supporting, akan lebih banyak diperankan oleh karakter ini.
Potensi dan proyeksi keempat karakter mahasiswa di atas tentulah bukan hal yang final. Bukankah tak ada yang abadi di dunia ini selain perubahan itu sendiri? Akan tetapi jika mencermati kondisi kekinian, keempat karakter mahasiswa di atas berikut potensi dan proyeksi ke depannya mengarah ke hal-hal yang disebutkan di atas.
Namun, bagaimana jika sosok mahasiswa ideal dengan kecerdasan dan kejeniusan di atas rata-rata sekaligus aktif di organisasi semakin langka atau bahkan tidak ditemukan sama sekali pada rentang waktu tertentu? Bagaimana pula seandainya, hanya ada mahasiswa dengan IPK super tinggi, mahasiswa yang aktif berorganisasi dan berdemonstrasi lalu sisanya mahasiswa ‘kupu-kupu’ (kuliah pulang, kuliah pulang) saja? Skenario kepemimpinan apa dan bagaimana yang sepatutnya dapat diwujudkan?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan yang rumit dan kompleks di atas, alangkah baiknya kita sedikit reflektif sejenak. Para ahli pun sesungguhnya masih berdebat soal bagaimana kepemimpinan ideal diciptakan. Para ahli pun ada yang berpandangan bahwa pemimpin dapat dibentuk melalui sistem kaderisasi atau dibentuk oleh lingkungan sekitarnya. Olehnya, semua orang bisa menjadi pemimpin. Pandangan ini dikenal sebagai cara pandang liberal.
Adapula sekelompok ahli yang percaya bahwa kepemimpinan bersifat ‘genetik’, diwariskan berdasarkan garis keturunan dengan harapan keunggulan-keunggulannya sebagai pemimpin pun turut diturunkan. Pandangan jenis ini lazim dikenal sebagai pandangan konservatif.
Kedua cara pandang tersebut masih lazim diyakini dan dipraktikkan oleh banyak masyarakat. Terakhir, sejarawan fenomenal sekaligus kontroversial Yuval Noah Harari mengatakan dalam Sapiens - nya, bahwa: “baik yang dibilang konservatif, maupun yang dilabeli dan mendaku liberal, sama-sama memuja—apa yang disebutnya sebagai salah satu yang membuat spesies Sapiens mampu bertahan hidup dan adidaya dari spesies lain: fiksi dan mitos”.
Baik yang mengusung bahwa semua manusia sama/setara dan ada manusia unggul, kata Harari, adalah sama-sama mengusung fiksi. Karena secara biologis dan genetis, DNA manusia sudah pasti berbeda alias tidak ada yang sama sekaligus punya keunggulan masing-masing.
Namun, luar bisanya, justru karena kemampuan mengelola ‘yang fiksional dan mitologis’ itulah yang menjadi salah satu faktor manusia (Sapiens) mampu bertahan hidup dan menjadi unggul dari spesies lainnya. Dengan begitu, Harari ingin mengatakan bahwa tidak ada kesetaraan apalagi kesamaan secara biologis dan genetis sebagaimana klaim kaum liberal.
Tidak ada pula keunggulan hierarkis yang bersifat tetap ala kaum konservatif. Pun, kalau dianggap ada, itu hanya diada-adakan untuk kepentingan tertentu melalui strategi penciptaan mitos. Sekali lagi, kata Harari, itu hanyalah strategi bertahan hidup dan juga strategi untuk berkuasa (the strategy to survive and the will to power).
Bahkan, dalam model memilih pemimpin sekalipun hingga hari ini tak sama. Monarki dan demokrasi masih tarik ulur. Bahkan, tak sedikit yang mencoba berdamai dengan menggabungkan monarki dan demokrasi. Maka lahirlah demokrasi konstitusional. Belum lagi model seperti RRC yang menggabungkan sistem politik yang tertutup dan sistem ekonomi yang terbuka. Lebih rumit lagi. Intinya tak ada sistem yang baku dan fix serta menjadi role model untuk semua.
Terlebih lagi, makin kesini, kolaborasi kreatif baik secara sistem maupun aktor makin menunjukkan tingkat keberhasilannya menghadapi tantangan zaman. Mengutip Nassim Nicholas Taleb penulis Black Swan, dunia yang kita hidupi hari ini adalah dunia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian (the age of complexity and uncertainty). Olehnya, salah satu hal yang perlu disiapkan adalah bagaimana menghadapi kompleksitas dan ketidakpastian itu. Rumit kan?
Abad XXI sering dibilang abadnya informasi dan teknologi. Budaya manusia di-drive oleh teknologi. Orang-orang banyak menyebutnya sebagai teknologi digital dan kecerdasan buatan. Hal ini dapat mengalahkan kecanggihan dan kecerdasan manusia itu sendiri.
Dengan kompleksitas, ketidakpastian dan hidup serba cepat di abad informasi ini, maka menjadi mahasiswa cerdas atau progresif saja sepertinya tidaklah lagi relevan. Menjadi mahasiswa di abad XXI ini rupanya mesti juga berpengetahuan dan berketerampilan kompleks jika ingin tetap relevan dan kontekstual dengan perkembangan zaman.
Gerak zaman sepertinya menuntut hadirnya mahasiswa ideal dengan kecerdasan intelegensia dan kecerdasan emosional yang mumpuni sekaligus. Mahasiswa ‘sepotong-sepotong’ dengan mengandalkan kecerdasan dan/atau kemampuan organisasional saja tak cukup. Apalagi mahasiswa yang tak punya keunggulan dari keduanya alias mahasiswa kebanyakan. Sudah dipastikan mahasiswa tipe terakhir akan menjadi follower dan konsumen saja. Ibarat daun kering, di mana angin berhembus di situ pula mereka berterbangan.
Bicara soal mahasiswa dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia, saya tak bisa tak mengingat pesan Professor B.J. Habibie. Ilmuwan sekaligus former presiden Indonesia pemilik IQ di atas ilmuwan sekaliber Einstein dan Newton serta IQ di atas presiden-presiden dunia sekelas Abraham Lincoln itu memiliki dua kata kunci: pendidikan dan pembudayaan.
Selain itu, dua kata kunci selanjutnya adalah penguasaan iptek dan imtak (Iman dan takwa) pada setiap SDM Indonesia. Itulah kapasitas manusia Indonesia yang dicita-citakan ilmuwan jenius sekaligus presiden ber-IQ tertinggi yang pernah dimiliki Indonesia dan dunia tersebut. Darinya, kita belajar bahwa tak cukup dengan menjadi mahasiswa cerdas saja, tak cukup pula dengan menjadi mahasiswa baik-baik saja, termasuk baik dalam hal ber-organisasi.
Lantas, bagaimana jika sosok mahasiswa ideal tersebut sulit terbentuk dengan segala faktor, tantangan dan syarat-syarat khusus yang merintanginya?
Kembali ke Sang Bijak yang senantiasa menasehati agar di tengah segala kekurangan untuk berkolaborasilah. Bergotong royonglah adalah kosa kata yang lekat di ingatan bangsa Indonesia.
Bahwa mahasiswa cerdas butuh mahasiswa progresif untuk mobilitas-nya. Di sisi lain, mahasiswa progresif butuh mahasiswa cerdas untuk memantapkan analisanya. Sementara itu, mahasiswa kebanyakan butuh kehadiran kolaboratif keduanya untuk mereka ikuti. Dan pada akhirnya, mahasiswa ideal kita syukuri jika ada. Pun jika tidak hadir, biarlah menjadi cita-cita seperti bintang-bintang di langit yang eksis dan indah hanya di malam hari.
Ditulis oleh Nasrullah, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unmul.