Opini

Lebih dari Sekadar Ketua

Pemimpin tak bisa bekerja sendiri (Sumber ilustrasi: Google)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Seringkali kita salah kaprah terhadap definisi kepemimpinan dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Kita menganggap bahwa kepemimpinan merupakan bagian yang melekat pada seorang pemimpin, seperti ketua dalam organisasi, ketua tingkat, ketua regu, kepala sekolah, rektor dan lainnya. Padahal dari ribuan definisi, kepemimpinan adalah proses memengaruhi orang lain agar merasa, berpikir, dan bertindak seperti apa yang pemimpin harapkan.

Pemimpin terbentuk lewat tiga kemungkinan. Pertama, penganut naturalisme, percaya bahwa jiwa pemimpin diturunkan (seperti pangeran) atau seseorang yang sejak dilahirkan ia membawa sifat-sifat kepemimpinan yang efektif. Kedua, penganut empiris, berkeyakinan bahwa pemimpin dilatih lewat pelatihan kepemimpinan, tanpa sadar seseorang yang awalnya tidak terlahir sebagai pemimpin namun karena terbiasa ikut pelatihan atau melatih dirinya dengan standar yang baik maka dia bisa jadi pemimpin. Lalu yang terakhir, penganut konvergensi, berkeyakinan bahwa pemimpin itu dilahirkan dan dilatih, sebab akan percuma jika saja seseorang dilahirkan menjadi pemimpin namun dia tidak pernah dilatih atau melatih dirinya agar memiliki wawasan serta standar kepemimpinan yang efektif. Kepemimpinan yang efektif harus mengedepankan kejujuran, kesadaran, dan rasa tanggung jawab.

Masalah utama yang sering dilupakan adalah setiap jiwa adalah pemimpin, minimal pemimpin bagi dirinya sendiri, dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah 2:30 dan QS. Shad 38:26, ayat tersebut menjelaskan manusia sebagai khalifah di muka bumi, yang menjaga serta menjadi insan yang menyebar kebaikan. Minimal jika tidak bisa menyebar kebaikan, jangan menyebar keburukan untuk orang lain. Menurut saya, kepemimpinan tidak hanya diartikan sebagai kemampuan memimpin, memengaruhi, mengatur orang lain, menjadi yang terdepan dan dipercaya. Namun kepemimpinan lebih dititik beratkan pada kemampuan setiap individu untuk mengenali dirinya sendiri, seperti kelemahan, kekuatan, potensi diri, peluang, motivasi, kecerdasan IQ, EQ, dan SQ serta memahami orang lain.

Kepemimpinan menjadi pondasi untuk kita agar menjadi manusia yang memanusiakan. Kepemimpinan dapat mengubah paradigma bahwa pemimpin itu harus disegani atau ditakuti. Kepemimpinan juga dapat menjadikan kita pribadi yang lebih bertanggung jawab atas pilihan dan kesempatan yang telah kita ambil, menjadikan kita pribadi yang lebih jujur terhadap diri sendiri serta melawan ketakutan dalam hidup dan kesenangan yang kita inginkan.

Adanya kepemimpinan menjadikan ruang lingkup kita lebih mudah untuk diatur dan diajak bekerja sama. Coba bayangkan, apabila kepemimpinan itu hanya dimiliki oleh ketua organisasi, sedangkan anggotanya tidak memiliki kepemimpinan. Mau jadi apa organisasi tersebut? Misalnya satu menjadi angka yang mewakili banyaknya orang yang punya kepemimpinan dan sepuluh menjadi angka yang mewakili banyaknya orang yang tidak punya kepemimpinan. Tentu akan sulit, ketika hanya ketua saja yang punya pemikiran maju namun anggotanya tidak. Dikatakan bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memajukan organisasi yang dipimpin, tapi apakah kita tidak malu ketika yang bergerak hanya ketua organisasi sedangkan kita hanya berleha-leha. Padahal kita punya kapabilitas yang bisa jadi sama dengan ketua?

Kita sebagai mahasiswa sering berkeinginan untuk mengubah dunia. Namun terlalu malas mencari cara yang tepat dalam mengubahnya. Saat SMP dan SMA saya berkesempatan mengikuti latihan dasar kepemimpinan, pembimbing kami mengatakan, “Jika kamu tidak bisa mengubah dunia, persempit untuk mengubah negaramu sendiri. Jika tidak bisa maka ubah kotamu dulu, jika tidak bisa ubah keluargamu, dan jika tidak bisa juga maka kau akan temukan jawaban yang tepat dari perubahan itu, yakni mengubah diri sendiri dulu.”

Bukankah kalimat tersebut penuh makna? Saat di benak kita penuh pertarungan tentang bagaimana cara mengubah orang lain bahkan dunia, sebaiknya kita lebih dulu menyadari bahwa yang sangat mendesak untuk diubah adalah diri sendiri. Bayangkan jika saja angka sepuluh yang saya jadikan perwakilan dari banyaknya orang yang tidak memiliki kepemimpinan menjadi jiwa-jiwa yang mulai sadar dan menyebarkan kebaikan sederhana yang bermanfaat. Akan lebih mudah kan, mengubah “dunia”nya?

Ditulis oleh Restu Almalita, mahasiswi Ilmu Komunikasi, FISIP 2018.



Kolom Komentar

Share this article