Opini

Kritik atas Bentrok dalam Pemira BEM KM Unmul

Perdebatan yang terjadi dalam Debat Kandidat Pemira BEM KM Unmul, Sabtu (18/11). (Foto: Dok. Sketsa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Senin (20/11) sore, adu jotos antar dua kelompok mahasiswa memadati halaman rektorat Universitas Mulawarman. Aksi saling serang antar dua kubu mahasiswa itu berlangsung dalam proses pemilihan umum Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Mulawarman (BEM KM UNMUL). Kedua kubu mahasasiwa yang melakukan adu jotos, masing-masing mewakili pasangan calon yang bertarung dalam Pemira. Bermula pada keributan yang terjadi saat debat kandidat, pendukung setiap pasangan calon datang untuk mendengarkan pengumuman hasil gugatan yang dilayangkan oleh pasangan nomor satu, Yani-Jusman kepada pasangan nomor dua Rizaldo-Mifta. Pasangan nomor satu menilai bahwa pasangan nomor dua tidak memenuhi syarat pencalonan.

Belum saja pengumuman mulai dibacakan, keributan sudah tidak terbendung. Aksi saling lempar kursi tak dapat terhindarkan. Kurang lebih 30 menit berlangsung, satu demi satu massa dari kedua kubu keluar dalam keadaan terluka. Ada yang keluar dengan pelipis berdarah, hidung luka, kepala bocor, hingga (yang agak ringan) sedikit bonyok.

Keributan sempat berhenti sejenak. Namun massa yang mendengar ada kawannya yang terkena pukulan, datang satu persatu untuk mencari kesempatan menyandang gelar jagoan. Tidak lama kemudian, keributan semakin tak terkontrol, aksi saling kejar terjadi, setiap massa yang berhasil ditangkap, habis menjadi bulan-bulanan. Petugas keamanan kampus, yang sudah lelah bekerja seharian menjaga kendaraan mahasiswa, terpaksa ikut menyelesaikan perkelahian antar massa dari kedua calon. Setelah kurang lebih satu jam, keributan itu baru berhasil dibubarkan.

Sungguh ini adalah kebodohan yang tiada tara. Bagaimana mungkin, perkelahian ini terjadi ditengah mayoritas mahasiswa yang jauh dari kesadaran berorganisasi. Tindakan ini, bukan hanya memberI citra buruk bagi gerakan mahasiswa, tapi juga semakin meyakinkan mereka yang enggan berorganisasi bahwa, sikap mereka selama ini adalah tepat.

Sebelum ada yang membela peristiwa ini, kita harus tegaskan, jangan ada yang mengatakan bahwa ini adalah konsekuensi dari demokrasi. Itu jelas adalah salah! Jangan mengatasnamakan demokrasi untuk membela ketololan ini. Jika ada yang mengatakan bahwa ini biasa dalam politik, mungkin itu benar, tapi kita cukup tahu bahwa argumentasi tersebut sudah pasti lahir dari mereka yang menganggap politik seperti berjudi, kalau kalah, pukul! Inilah akibatnya jika malas membaca dan enggan berdiskusi!

Agar diskusi kita ke depan lebih maju, ketololan-ketololan seperti ini sebaiknya jangan lagi terulang. Mari kita bedah, apakah yang sebenarnya lebih mendesak untuk dikerjakan. Ini lebih berguna daripada sekadar meributkan kekuasaan di kampus.

Kita sedang menghadapi situasi di mana dari 37.816 orang mahasiswa di Unmul tidak sampai 10% di antaranya yang mau berorganisasi. Sementara di satu sisi, organisasi-organisasi di kampus justru gemar menjadi event organizer. Selain itu, kita juga menghadapi situasi pendidikan yang menjadi mesin pencetak tenaga kerja murah. Tidak kurang dari 5000 orang lulus dari Unmul setiap tahunnya, tetapi tidak mampu terserap di pasar tenaga kerja. 

Akibatnya kebanyakan dari mereka menjadi cadangan tenaga kerja alias pengangguran. Selain karena industri utama di Kaltim adalah industri ekstrakstif yang lebih banyak menggunakan tenaga mesin ketimbang tenaga manusia, persoalan pendidikan juga menjadi salah satu penyebabnya. Belum lagi persoalan uang kuliah tunggal yang kian lama semakin menghisap mahasiswa dan orang tuanya. Upah dosen dan staf yang sering lambat dibayar. Nasib tenaga kebersihan dan keamanan kampus yang dibayar dengan upah murah serta status kerja yang tidak jelas. Semua ini adalah masalah yang mendesak untuk dihadapi oleh gerakan mahasiswa.

Bisakah Badan Eksekutif Mahasiswa menjawab persoalan itu? Apakah sebenarnya kita membutuhkan BEM? Saya pikir kita sepakat untuk menjawab, tidak! Kita tidak akan lagi membutuhkan badan eksekutif yang tidak lebih sebuah badan kerja kampus yang terpisah dari kepentingan mendorong kesadaran ilmiah mahasiswa. Sejarah lahirnya BEM, memang erat kaitannya dengan upaya deideologisasi, depolitisisasi dan deorganisasi di dalam gerakan mahasiswa. Untuk itu kita bisa membaca kembali lahirnya kebijakan tentang Normalisasi Kebijakan Kampus dan Badan Kerja Kampus (NKK-BKK) serta dampaknya hingga hari ini.

Sekarang sudah saatnya kita membangun tradisi yang ilmiah. Bukan adu jotos, loh. Itu tidak Ilmiah! Sudah saatnya meningkatkan tradisi diskusi, membaca dan menulis, mulai dari ruang kelas. Dengan begitu, media kampus akan dipenuhi dengan berita-berita dari aktivitas yang ilmiah. Membentuk komite-komite kelas. Membangun tradisi riset. Berjuang bersama pekerja di kampus untuk mendapatkan upah yang layak dan status kerja yang jelas. Menyusun sebuah kurikulum alternatif yang lebih ilmiah dan bervisi kerakyatan.

Dengan begitu kita tidak perlu lagi jotos-jotosan. Jika ada yang dinilai salah, kritik dengan cara yang ilmiah. Buat tulisan, itu lebih tepat ketimbang saling pukul atau sindir menyindir dibelakang.


Ditulis oleh Jamal, Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unmul.



Kolom Komentar

Share this article