Opini

Kriminalisasi Petani dan Tugas Gerakan Mahasiswa

Tagih Pencabutan Izin Pabrik Semen, Ratusan Petani Kendeng Demo di Kantor Gubernur Jateng. (Sumber foto: kbr.id)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Kali ini kasus kriminalisasi kembali dialami oleh rakyat yang tengah mempertahankan ruang hidupnya. Joko Prianto, seorang aktivis lingkungan yang mempertahankan lahannya dari pembangunan pabrik semen telah dikriminalisasikan oleh kuasa hukum pabrik PT. Semen Indonesia. Pada Kamis 28 Desember 2017 lalu. Kasus kriminalisasi yang dialami oleh Joko Prianto memasuki tahap baru, Kepolisian Daerah Jawa Tengah telah melimpahkan berkas perkara Joko Prianto pada Jaksa Penuntut Umum Jawa Tengah dalam pelimpahan tahap II.

Kasus kriminalisasi yang dialami oleh Joko Prianto—alias Print (nama panggilan dari Joko Prianto) erat kaitannya dengan posisinya sebagai koordinator dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), yaitu aliansi yang dibangun untuk menolak pembangunan pabrik semen. Isu pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng ini merupakan isu yang mendapat cukup banyak perhatian khalayak nasional maupun internasional dalam beberapa tahun terakhir.

Print dilaporkan atas dugaan pelanggaran Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen yang diancam hukuman maksimal 6 tahun penjara. Dokumen yang dimaksud adalah dokumen yang diberikan warga ke Mahkamah Agung (MA) dalam rangka Peninjauan Kembali (PK) terhadap Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan di Kabupaten Rembang. Putusan PK pada tanggal 5 Oktober 2016 memenangkan warga dan memutuskan izin lingkungan pabrik tersebut dicabut. Namun, alih-alih mematuhi putusan MA, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo justru mengeluarkan SK baru Nomor 660.1/30 tahun 2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku Semen dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik PT. Semen di Rembang. Hal ini semakin memperjelas keberpihakan dari pemerintah Jawa Tengah.

Dalam dokumen yang diberikan warga ke MA, diduga banyak nama-nama fiktif yang ada di dalamnya. Hal ini menjadi dalih kuasa hukum PT. Semen Indonesia untuk mengkriminalisasi Print. Padahal dokumen yang dimaksud telah diperiksa oleh Hakim PTUN Semarang pada tahun 2015 dan diperkuat dengan putusan MA yang memenangkan masyarakat Rembang. Artinya yang dilakukan Print bukanlah pelanggaran hukum.

Polda Jawa Tengah tampak begitu responsif memproses laporan ketika yang melaporkan adalah pihak PT. Semen Indonesia. Padahal, JMPPK telah berkali-kali melaporkan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak PT. Semen Indonesia kepada Polda Jawa Tengah, di antaranya laporan kegiatan ilegal PT. Semen Indonesia pada 8 Februari 2013, laporan perusakan dan pembakaran aset milik masyarakat penolak pabrik semen berupa tenda, mushola, beserta isinya pada 10 Februari 2017, serta pelaporan terhadap kesaksian palsu dalam sidang MA yang telah dilaporkan sebanyak dua kali pada tanggal 17 Maret 2016 dan 23 Februari 2017. Namun, semua laporan yang dibuat masyarakat tersebut belum ditindaklanjuti oleh Polda hingga saat ini. Keadaan ini semakin menunjukkan watak sebenarnya dari pemerintah dan kepolisian sebagai media yang digunakan oleh pemilik modal untuk memuluskan kepentingannya dalam membangun pabrik semen.

Sudah banyak sekali fakta-fakta yang ditemukan untuk mencegah dibangunnya pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Mulai dari Pegunungan Kendeng sebagai wilayah resapan air, akan terganggunya ekosistem karst jika pabrik semen terbangun, hingga produksi semen yang masih melebihi kapasitas, dan lain sebagainya. Seperti dilansir Tempo.co, industri semen sesungguhnya telah melampaui kapasitas kebutuhan dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor. Tahun 2017 kemarin, kapasitas berlebih tersebut mencapai 30 persen. Pembangunan pabrik semen ini tentunya akan lebih banyak merugikan petani maupun alam. Banyak petani yang lahannya juga akan digusur.

Kondisi penggusuran lahan petani untuk pembangunan ini secara umum terjadi di banyak daerah di Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis akan lebih fokus pada persoalan mendasar penggusuran lahan dan kriminalisasi petani, serta tugas mendesak dari gerakan mahasiswa.


Akar Persoalan Penggusuran  Lahan

Pada dasarnya, fenomena penggusuran lahan petani adalah benturan antara perkembangan modus produksi kapitalis dengan modus produksi feodal yang lama. Perkembangan modus produksi kapitalis senantiasa membutuhkan lahan dan tenaga kerja upahan untuk dieksploitasi. Tujuan utamanya adalah untuk proses pelipatgandaan (akumulasi) modal agar laku diperdagangkan di pasar. Namun, dalam proses akumulasi kapital ini, kapitalis yang memiliki modal dan alat produksi yang memiliki ambisi untuk terus meluaskan nilai lebih atau keuntungannya, berhadapan dengan modus produksi feodal, di mana masih terdapat petani dan para pekerja bebas yang juga sebagai produsen komoditi (padi, sayur, buah-buahan, dsb). Hal ini tentu tidak berkesesuaian dengan modus produksi kapitalis. Pada akhirnya, para kapitalis harus menghancurkan modus produksi lama ini, salah satunya dengan melepaskan petani dari ikatannya terhadap tanah agar terbentuk lapisan kelas pekerja upahan yang bekerja untuk kepentingan industri kapitalis. Setelah produksi kapitalis ini berdiri di atas kakinya sendiri, kapitalis tidak hanya mempertahankan kondisi ini, tapi memperluasnya secara terus menerus diperbagai belahan dunia.

Proses inilah yang dikatakan Marx seorang pemikir dari Jerman sebagai akumulasi primitif, yaitu proses historikal perceraian produsen dari alat-alat produksi. Dikatakan ‘primitif’ karena ia merupakan cara pra-sejarah kapital untuk memulai proses akumulasinya. Periode awal ini terjadi di Inggris pada abad ke 16, di mana lahan petani digusur oleh penguasa-penguasa lokal untuk kemudian diubah menjadi ladang penggembalaan domba yang menghasilkan industri wol ketika harga wol dunia saat itu sedang meningkat.

Dalam perkembangannya, karena motif dasar dari industri kapitalis yang dikuasai oleh segelintir orang itu bar-bar alias tidak terencana, sehingga rawan terjangkit krisis ekonomi. Barang-barang yang diproduksi di Eropa tidak akan laku jika hanya dipasarkan di Eropa, bahan-bahan atau produk yang laku dipasaran juga tidak hanya terdapat di Eropa tetapi dibelahan dunia lain. Hal inilah yang membuat kapitalis melakukan ekspansi, eksploitasi, dan akumulasi ke perbagai belahan dunia agar krisis mereka dapat diselamatkan. Mereka tidak segan-segan melakukan penjajahan dan mengobarkan perang seperti Perang Dunia I maupun Perang Dunia II.

Di Indonesia, kolonialisme Belanda melakukan ini dengan menggusur petani agar menjadi pekerja upahan untuk memproduksi rempah-rempah yang menguntungkan di pasar dunia saat itu. Sayangnya, kolonialisme Belanda masuk ke Indonesia tidak sepenuhnya menghancurkan sisa-sisa feodalisme. Mereka bekerja sama dengan kalangan feodal seperti raja-raja dan kalangan bangsawan untuk mendapatkan legitimasi dalam menghisap masyarakat Indonesia pada saat itu. 

Berbeda dengan perkembangan kapitalisme di Eropa yang sepenuhnya menghancurkan sisa-sisa feodalisme seperti revolusi besar Prancis pada abad ke 18. Inilah yang mengakibatkan hingga saat ini masih banyak sisa-sisa budaya feodal di Indonesia seperti budaya patron, korupsi yang merajalela, dsb. Bahkan, banyak pula kalangan feodal yang bertransformasi menjadi kapitalis, selain memiliki tanah yang besar juga memiliki banyak perusahaan. Krisis ekonomi kapitalis yang menyebabkan akumulasi primitif inilah akar persoalan penggusuran lahan.


Akumulasi Primitif Hari  Ini

Hingga saat ini, fenomena akumulasi primitif masih sering terjadi di Indonesia, seiring dengan semakin banyaknya komoditi yang diproduksi oleh industri kapitalis, serta posisi Indonesia sebagai negara penghasil bahan mentah dan setengah jadi dengan industrinya yang masih terbelakang untuk kepentingan pasar dunia, terus mendorong terjadinya perampasan lahan petani dan kaum miskin kota. Pembangunan pabrik semen sendiri adalah bagian dari akumulasi primitif di Indonesia.

Apalagi masa pemerintahan Jokowi-JK sangat masif dalam kebijakan pembangunan infrastruktur yang abai terhadap hak-hak rakyat. Pemerintah selalu berdalih bahwa pembangunan ini untuk kesejahteraan rakyat dan diharapkan mampu menyerap banyak tenaga kerja. Masyarakat yang menolakpun dicap melawan pembangunan. Namun, hal ini tidak sejalan melihat tingginya fenomena penggusuran lahan yang banyak merugikan petani maupun alam akibat pembangunan. Perusahaan yang akan dibangun pun tidak mungkin dapat menyerap semua pengangguran yang diakibatkan oleh penggusuran lahan. Apalagi perusahaan-perusahaan yang banyak menggunakan mesin berteknologi tinggi (seperti perusahaan tambang), yang tidak banyak membutuhkan tenaga kerja. Petani yang digusur lahannya pun tidak mempunyai banyak kapasitas untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan tersebut.

Sepanjang tahun 2017, Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 659 konflik agraria dengan luasan 520.491,87 hektare lahan dan melibatkan sebanyak 652.738 kepala keluarga. Jumlah ini terus meningkat dibandingkan 2 tahun sebelumnya, yaitu 252 konflik pada tahun 2015 dan 450 konflik pada tahun 2016. 

Dengan begitu, terdapat 1.361 konflik agraria selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK. Adapun pada tahun 2017 mayoritas konflik muncul dari sektor perkebunan (208), properti (119), infrastruktur (94), pertanian (78), kehutanan (30), pesisir dan kelautan (28) dan pertambangan (22). Hal inilah yang mengakibatkan setidaknya 570 ribu petani berada di bawah garis kemiskinan, tingkat kemiskinan di pedesaan juga naik dari 14,09% pada September 2015, menjadi 14,11% pada Maret 2016 dan akan terus meningkat.

Tingginya konflik agraria ini sejalan dengan ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia. Data Badan Pertahanan Nasional (BPN) tahun 2016 menunjukkan bahwa 56% aset berupa properti, tanah dan perkebunan dimonopoli oleh 0,2% penduduk di Indonesia. Hal itu berbanding terbalik dengan sangat banyaknya kaum tani yang sangat sedikit memiliki tanah. 26,14 juta rumah tangga tani memiliki lahan rata-rata hanya 9,89 hektare per keluarga. Sedangkan kira-kira 14,25 juta rumah tangga tani lainnya malah memiliki lahan di bawah 0,5 hektare perkeluarga.

Aktor dari perampasan lahan kinipun juga semakin beragam dibandingkan masa feodal dulu ketika kaum tani berkontradiksi dengan tuan-tuan tanah tradisional feodal. Laporan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) menyebutkan bahwa ada lima besar aktor yang terlibat dalam konflik agraria saat ini, yaitu kapitalis swasta, pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), TNI dan Polri.


Tugas Gerakan  Mahasiswa 

Tidak heran untuk selamat dari krisis ekonomi, kapitalis mendirikan perbagai perusahaan baru yang berkonsekuensi dengan semakin tergusurnya lahan-lahan petani. Mereka melakukan perbagai cara untuk memuluskan kepentingannya, termasuk bekerja sama dengan pemerintah, aparat, tokoh masyarakat, dan sebagainya yang notabene memiliki relasi yang lebih dekat dengan kapitalis daripada rakyat. 

Lewat aparatus kekuasaanya, mereka melakukan intimidasi, refresi, dan bentuk kekerasan lainnya untuk melemahkan perjuangan petani dalam mempertahankan lahan. Bila ini tidak cukup, kriminalisasipun akan dilakukan kepada para aktivis lingkungan. Hal inilah yang dialami oleh Joko Prianto alias Print. Apa yang dialami oleh Print adalah gambaran umum bagi petani yang mempertahankan lahannya di Indonesia.

Beberapa bulan lalu misalnya, 10 petani di Sukabumi dikriminalisasi terkait kasus pengrusakan kantor PT. Surya Nadi Cipta (SNP). Di Kalimantan Timur juga terjadi hal serupa, di mana 4 orang petani Muara Jawa dikriminalisasi dengan tuduhan penyerobotan lahan PT. Perkebunan Kaltim Utama (PKU) milik Menteri Luhut Binsar Padjaitan. Padahal, yang sedang dilakukan oleh petani tersebut adalah upaya untuk mempertahankan lahan yang telah direbut terlebih dahulu oleh perusahaan. Data dari DPP Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebutkan bahwa selama tahun 2017 terdapat 117.054 petani yang dilanggar hak asasinya.

Tingginya angka kekerasan kepada petani pejuang lingkungan ini mendesak setiap elemen gerakan rakyat untuk membangun solidaritas terhadap penindasan di lintas sektor, termasuk dari sektor mahasiswa. Mahasiswa sendiri akan mengalami penindasan yang sama dengan petani. Petani yang kehilangan lahannya mayoritas akan menjadi kelas pekerja dan atau jika tidak terserap oleh industri dan manufaktur yang ada akan menjadi pengangguran. 

Begitu pula mahasiswa, mayoritas kelulusannya pun akan menjadi kelas pekerja, sebab tidak akan ada banyak lowongan bagi mahasiswa untuk menjadi kapitalis baru ataupun manager dari sebuah perusahaan. Jika tidak mampu terserap oleh industri yang ada mahasiswa juga akan menjadi kaum penganggur. Kondisi kelas pekerja ini juga sangat memprihatinkan karena mayoritas pekerja di Indonesia berstatus tenaga kerja kontrak (outsourching). Solidaritas Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) pada aksi pasung semen petani Kendeng di Istana Negara bulan Maret 2017 lalu mengungkapkan bahwa, para buruh yang bekerja di PT. Semen Indonesia mendapat status kerja yang tidak jelas, upah lembur yang tidak dibayar, bahkan juga PHK.

Oleh sebab itu, aliansi strategis dari kaum tertindas untuk mewujudkan kesejahteraannya adalah sesama kaum tertindas itu sendiri. Pengalaman perjuangan petani Kendeng menunjukkan bahwa jalur litigasi saja tidaklah cukup, karena penguasa akan melakukan perbagai cara untuk mempertahankan kepentinganya. Patut dicatat pula bahwa kemenangan-kemenangan yang didapat oleh petani Kendeng selama ini bukanlah belas kasihan dari penguasa, tetapi karena solidaritas yang begitu kuat dari perbagai elemen gerakan rakyat baik nasional maupun internasional. Solidaritas sesama kaum tertindas inilah yang juga perlu terus dibangun. Pengalaman gagalnya upaya kriminalisasi 26 aktivis buruh pasca mogok nasional buruh tahun 2015 lalu menunjukkan keberhasilan dari solidaritas yang terbangun ini.

Mahasiswa sebagai bagian dari sektor rakyat tertindas yang notabene memiliki banyak waktu untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan sepanjang sejarah punya peran besar dalam mempelopori terjadinya perubahan sosial. Oleh sebab itu, tugas kita saat ini adalah memperkuat kampanye dan solidaritas terhadap penindasan di lintas sektor. Membuat tulisan dan publikasi ilmiah baik cetak maupun online, melakukan diskusi dan mimbar-mimbar bebas di perbagai kampus, serta terlibat langsung bersama rakyat untuk membangun demokrasi yang sejati, hingga mendorong terciptanya sistem ekonomi yang demokratis dan terencana yang dibangun oleh rakyat tertindas itu sendiri. Hanya dengan demikian, solidaritas akan menang melawan kriminalisasi, dan demokrasi akan menang melawan tirani.

Ditulis Angga Kusuma,  Anggota Lingkar Studi Kerakyatan



Kolom Komentar

Share this article