Opini

Kisruh Pemira, yang Curang Siapa sih?

Kerisuhan yang terjadi pada saat Debat Kandidat Pemira 2018 Sabtu (18/11) lalu. (Foto: Dok. Sketsa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Tudingan kecurangan yang ditujukan kepada Paslon 2 bersama dengan KPPR dan Panwas mewarnai Pemira BEM KM Unmul tahun ini. Seperti yang publik ketahui bersama, tudingan kecurangan ini bermula dari permasalahan administrasi terkait surat pengunduran diri Miftahul Mubarok, Paslon nomor 2 (Aldo-Miftah). Dalam beberapa berita tentang perkembangan pemira yang diterbitkan oleh teman-teman Sketsa, Miftah menyatakan bahwa dirinya telah mengikuti prosedur yang ada dan tidak melanggar. Jikalau sudah begini, mau percaya yang mana? Siapa yang salah? Kalau saya berpendapat, tidak ada yang salah.

Kalau kita buka aturan TAP DPM KM Nomor 2 Tahun 2017 yang mengatur tentang Pemira BEM KM Unmul, pasal 5 ayat (6) bunyinya adalah sebagai berikut :

“Wajib melampirkan surat pernyataan pengunduran diri yang ditandatangani dan  distempel oleh ketua organisasi yang bersangkutan, apabila pasangan/salah satu dari pasangan calon adalah pengurus dari DPM KM Unmul, BEM KM Unmul, DPM  Fakultas, BEM Fakultas dan partai politik."

Miftah yang mencalonkan diri, lantas digugat oleh aliansi 5 UKM di fakultasnya karena pengunduran diri dari jabatannya melanggar prosedur yang termaktub dalam pasal 17 ayat (3) AD/ART Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat yang berbunyi “Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden BEM FKM UNMUL dikukuhkan dalam Ketetapan DPM FKM UNMUL dan disahkan oleh Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat.” 

Sehingga, menurut mereka surat pengunduran diri yang Miftah serahkan kepada KPPR tidak sah, karena belum mendapat ketetapan dan belum disahkan oleh Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat. Yang diangkat pun menjadi Presiden pengganti Miftah belum disahkan. Tidak bisa hanya serta merta menyerahkan surat pengunduran diri saja, lantas dianggap berhenti dan terangkatlah pengganti. Implikasi dari tidak sahnya surat pengunduran diri tersebut adalah diragukan hak dan kewenangan “ketua organisasi” yang menandatangi surat pengunduran diri Miftah tersebut. Otomatis syarat pencalonan pasal 5 ayat (6) tersebut diragukan telah terpenuhi.

Cuma kalau kita buka lagi TAP DPM KM Nomor 2 Tahun 2017 masih mengatur hal yang sama yakni Pemira Pasal 17 ayat (4):

“Surat pernyataan pengunduran diri (apabila termasuk anggota Partai Politik, DPM KM Unmul, BEM KM Unmul, DPM Fakultas, dan BEM  Fakultas), dan surat cuti (apabila termasuk pengurus UKM Unmul atau lembaga kemahasiswaan tingkat jurusan/program studi)”

Maka Miftah telah memenuhi syarat hanya dengan mengajukan surat pengunduran diri. Tidak ada ditentukan harus ditandatangani dan distempel oleh ketua organisasi.

Nah sekarang siapa yang salah? Timses Paslon 1 yang menggugat Miftah, Miftah yang memberikan surat pengunduran diri, atau kah aturannya? Repot nih, nggak ada titik temunya. Kalau misalnya statement Miftah kita berlakukan pasal 5 ayat (6), ya kemungkinan besar Miftah salah. Jikalau statement paslon 1 kita berlakukan pasal 17 ayat (4) ya udah melenceng jauh. Yang diminta benar-benar adalah surat pengunduran diri semata. Tidak diatur harus ada apa saja di dalam surat pernyataan pengunduran diri tersebut. Seperti ketika ayah kita nitip belikan rokok. Ya sudah rokok saja.

Dengan adanya peristiwa diperkarakannya berkas Miftah ini, saya pun sebenarnya penasaran juga dengan berkas pasangan calon yang lain. Apakah sudah benar-benar sesuai dengan bunyi pasal 5 ayat (6) TAP DPM KM Nomor 2 Tahun 2017 atau tidak, kebetulan si Miftah berkasnya ada temuan dan jadi masalah. Kecuali Aldo, karena Aldo setahu saya sudah habis masa jabatan sebelum mencalonkan diri di Pemira. Langkah tepat yang diambil oleh orang tua kita, memfasilitasi memediasi serta memberikan rekomendasi dengan asas non intervensi kepada Panwas. Dan sudah keluar keputusan Panwas. Namun, tudingan kecurangan masih saja ada dan ditujukan kepada Paslon 2, KPPR dan Panwas. Saya pribadi, justru mengira yang curang itu adalah timses Paslon 1 dengan Ketua Panwas.

Mengapa? Karena ada aturannya di TAP Panwas Nomor 01 Tahun 2017  tentang Mekanisme Pelaporan Dan Penindaklanjutan Pelanggaran Pemilihan Raya diktum pertama angka 5 huruf d, bahwa “Waktu pelaporan pada pukul 08:00-12:00 WITA dan 14:00-17:00 WITA pada hari Senin-Jumat di Sekretariat DPM KM Universitas Mulawarman”. Dari berita-berita yang diterbitkan oleh teman-teman Sketsa yang saya baca, mereka ajukan laporan pelanggaran tanggal 18 November 2017 (hari Sabtu). Jelas melanggar aturan yang ada ini, juga membuat kisruh dan berakibat batalnya debat kandidat. Lebih kaget lagi saya ketika Panwas menerima laporan pelanggaran tersebut. Bahkan ketua Panwas menjeda sementara acara debat kandidat. Perbuatan menjeda itu yang kalau dilihat di aturan tentang penyelenggaraan Pemira, nggak ada sama sekali diatur. Ada apa sebenarnya?

Padahal seyogyanya Panwas lah yang membuat aturan, Panwas juga harusnya lebih tahu terkait mekanisme pelaporan yang ada. Apalagi sampai ada pengkajian lebih lanjut, sangat tidak rasional menurut saya. Mengapa? Padahal jika kita tengok Keputusan Panwas Nomor 01 Tahun 2017, diktum kedua angka 1 bunyinya adalah “Pengawas Pemira mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima”. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah diterima laporan pelanggaran yang tidak sesuai tata cara pelaporan? Mari kita analogikan sebagai berikut :

Ada sebuah perpustakaan bernama perpustakaan “X”. Perpustakaan ”X” buka di hari Senin sampai dengan Jumat. Pukul 08:00-21:00 WITA. A adalah seorang mahasiswa, meminjam buku di perpustakaan “X”. Ketika meminjam, A diberitahu kapan ia seharusnya mengembalikan buku yang ia pinjam itu. Jangka waktu peminjaman adalah 2 minggu, jam pengembalian adalah jam 08:00-21:00 WITA, hari pengembalian Senin sampai dengan Jumat (karena perpustakaan “X” buka dari Senin sampai dengan Jumat) dan tentunya buku dikembalikan ke perpustakaan “X”, bukan perpustakaan “Y” atau “Z”. Pertanyaannya adalah apakah A akan diterima “secara baik” mengembalikan buku yang ia pinjam jika lewat dari waktu 2 minggu? Bisa jadi, tapi A pasti dapat hukuman atas perbuatannya. Apakah akan diterima jika A mengembalikan buku pukul 23:00 WITA? Tentu tidak, karena perpustakaan “X” sudah tutup. Apakah akan diterima jika A mengembalikan buku pada hari Sabtu atau Minggu? Tentu tidak. Karena perpustakaan “X” buka dari hari Senin sampai dengan Jumat. Bagaimana pula jika “X” mengembalikan buku yang ia pinjam ke perpustakaan “Y” atau “Z”? Jelas keliru bukan? Tidak dapat diterima. A baru dapat diterima buku yang ia kembalikan ketika semua tata cara atau prosedur pengembalian sesuai dengan arahan perpustakaan “X”. Sama halnya dengan melaporakan laporan pelanggaran, harus sesuai dengan tata cara atau prosedur yang dibuat oleh Panwas. Yakni “Waktu pelaporan pada pukul 08:00-12:00 WITA  dan 14:00-17:00 WITA pada hari Senin - Jumat di Sekretariat DPM KM Universitas Mulawarman”. 

Jadi yang curang dan memihak sebenarnya siapa? Ataukah ada hal-hal lain yang menyebabkan diterimanya laporan pelanggaran tersebut yang tidak sesuai dengan tata cara pelaporan? Berprasangka baik saja. Saya sendiri bersikap, semua keributan dan kericuhan ini terjadi karena adanya kekeliruan aturan. Masing-masing pihak punya dasar pemikirannya sendiri. Kita lihat saja akhirnya. Semoga Pemira ini selesai dengan tenram dan aman, tidak ada lagi kericuhan di kampus kita.

Melius Est Acciepere Quam Facere Injuriam
(Lebih baik mengalami ketidakadilan, daripada melakukan ketidakadilan)

Ditulis oleh Muhamad Faisal Wibawa Kadept. Riset dan Kerjasama Pusdima 2017



Kolom Komentar

Share this article