Opini

Kesadaran Puitik

Sebuah opini yang ditulis oleh Dahri Dahlan, dosen FIB dalam rangka memperingati Hari Puisi. (Sumber foto: tofikpr.wordpress)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Untuk apa memperingati puisi setiap tanggal 21 Maret di seluruh dunia sama dengan pertanyaan untuk apa menanyakan cinta? Sejak UNESCO menetapkan hari puisi di Paris pada tahun 1999, sejak saat itu seluruh dunia memperingatinya.

Lembaga tersebut pada akhirnya menyadari hal yang telah lama disadari oleh para penyair dan sastrawan. UNESCO menyadari betapa puisi telah menjadi capaian sekaligus kebutuhan estetika yang mumpuni untuk manusia. Sejak dulu, para penyair dan sastrawan mempercayai bahwa puisi bukanlah sekadar diksi yang disusun dengan tingkat kerumitan tertentu, tetapi puisi adalah jiwa dan ide-ide yang dibentuk melalui lambang bahasa: kata, kalimat, bait dan akhirnya sebuah puisi.

Dalam teori puisi, hal yang paling tinggi dicapai oleh manusia saat berjumpa dan memaknai puisi adalah kesadaran yang berada pada “lapis metafisis” sedangkan kesadaran pertama untuk perjumpaan yang sama adalah kesadaran “lapis bunyi.” Kesadaran pertama ini adalah kesadaran yang bisa dialami oleh semua orang yang melek huruf.

Saat kita membaca puisi maka akan ada bunyi-bunyi bahasa yang mengindikasikan ide tertentu di dalam pikiran kita. Misalnya saat seseorang membaca kalimat “aku ini binatang jalang ” maka, untuk tahapan awal, orang akan sadar bahwa ia telah bertemu dengan bunyi bahasa yang ditulis oleh Chairil Anwar itu. Untuk mencapai kesadaran pada tingkat akhir, yaitu kesadaran lapis metafisis, dibutuhkan sebuah kontemplasi yang tidak sederhana.

Sebagai sebuah contoh, di tahun 1986, sastrawan Jepang, Matsuo Basho menuliskan sebuah  haiku, puisi tradisional orang Jepang.

Kolam tua

Seekor katak melompat 

Plung!

Kutipan puisi di atas memanglah terlihat sederhana. Hanya sebuah susunan tanda bahasa yang menjelaskan tentang kondisi seekor katak yang (kira-kira) melompat ke dalam kolam yang tua. Lalu lompatannya di permukaan air di kolam menimbulkan bunyi plung!  

Hal yang ingin disampaikan oleh puisi itu adalah tentang kesunyian. Kesunyian adalah kondisi tertentu yang dibangun bisa dari banyak hal. Kesunyian bisa berarti tanpa ada hal lain yang mengganggu, tanpa ada bunyi atau apa pun yang mengacaukan. Sunyi bisa berarti tanpa suara, tanpa orang lain, atau apa pun yang bisa di-tanpa-kan dari sebuah peristiwa kesunyian.

Pada bagian apa di puisi tersebut yang mengindikasikan kesunyian? Sederhana sekali. Indikator kesunyian ada pada kata terakhir, plung! Diksi tersebut mewakili bunyi air yang dijatuhi seekor katak. Basho yang sudah terlanjur identik dengan puisi kataknya itu sadar betul bahwa hanya dengan diksi sesederhana itu, ide kesunyian bisa sampai ke pembaca.

Tidak mungkin terdengar bunyi plung dari dalam air jika peristiwa melompatnya katak ke kolam tua itu tidak dalam kesunyian. Ini juga sekaligus menimbulkan hal yang kontradiktif. Ternyata kesunyian diindikasikan dengan suara, keributan, keriuhan, dan sebagainya. Bagi orang yang hidup di pesisir pantai tentulah sangat paham jika bunyi terkeras ombak justru akan terdengar jika malam telah larut. Larutnya malam itulah yang membangun kesunyian: orang sudah mulai tidur dan tidak ada aktifitas dan hal apa pun yang kontra dengan kesunyian.

Kesadaran yang ada dalam puisi, termasuk kesadaran yang ada dalam Katak Basho ini adalah sebuah pencapaian yang akhir dari kontemplasi. Kapasitas kemanusiaan akan muncul dari perenungan yang timbul saat mencipta dan membaca puisi. Jika kesadaran semacam ini digunakan dalam kehidupan sehari-hari, sepertinya tidak berlebih jika dikatakan kehidupan akan baik-baik saja.

Kesadaran puitik adalah kesadaran yang tidak hanya indah pada tataran tekstual (perilaku) tetapi juga menjangkau keindahan yang sifatnya ideologis (nilai). Kehidupan politik di Indonesia diwarnai dengan praktik kecurangan, dan aparatur negara menjalankan tugasnya dengan korup dan keculasan. Tidak salah jika John F. Kennedy mengatakan bahwa “jika politik bengkok, sastralah yang meluruskannya.” Mantan presiden Amerika yang mati tertembak itu sadar betul jika sastra, dalam hal ini puisi adalah medan yang sifatnya emansipatoris. Puisi tidak punya kepentingan selain untuk menjernihkan akal dan jiwa manusia. Wiji Thukul diburu dan “dihilangkan” oleh rezim karena ia menyuarakan kebenaran dengan puisi-puisinya. Kebenaran tersebut adalah kebenaran yang ingin disensor oleh rezim dengan narasi tunggal kala itu.

Itulah yang menyebabkan ketika kita membaca puisi, atau bahkan teks lagu tertentu (hal ini yang menyebabkan musikus Bob Dylan meraih hadiah Nobel Sastra 2016) bisa membuat kita merasakan sesuatu yang lain. Dengan puisi kita bisa merasa berada di sebuah dimensi yang berbeda. Dengan membaca dan memaknai puisi, tiba-tiba kita bisa merasa berada di tempat yang tidak tepat: kita tiba-tiba sadar ada yang salah dan bisa menunjuk kebenaran. Hal seperti ini diistilahkan sebagai katarsis.

Pada sebuah wawancara, saya pernah mengungkapkan bahwa dengan jalan puisi, seseorang bisa mengungkapkan ide yang hanya bisa diwakilkan oleh puisi. Hal inilah yang menyebabkan kenapa Chairil Anwar masih dikenang oleh dunia sampai saat ini, tidak lain karena ide-ide yang ia cetuskan melalui puisi sangat sempurna hanya dengan puisi.

Jika kita mengadopsi kesadaran yang terbangun dari puisi, setidak-tidaknya kita telah mengurangi kekacauan. Sebagai contoh yang paling sederhana, menulis puisi adalah memilih kata menjadi diksi yang tepat, lalu kemudian merangkainya dengan kata-kata yang lain. Hal-hal semacam inilah yang patut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih dalam dari itu, kita bisa mengadopsi kebiasaan para penyair yang mengendapkan puisinya sebelum memutuskan bahwa sebuah puisi sudah jadi dan siap diterbitkan. Kita bisa membangun kesadaran bahwa ada banyak hal yang harus dipikirkan matang-matang sebelum melakukannya. Hal apa pun itu.

Pada tingkatan yang lebih dalam, kita bisa menggunakan hasil kontemplasi kita dengan puisi tertentu untuk digunakan sebagai cara tertentu untuk membangun sikap. Semacam the way of untuk melakukan hal atau banyak hal.

Jika kita mengadopsi makna puisi Katak Basho di atas, kita bisa memperoleh petunjuk dalam model pertanyaan. Betulkah kecantikan yang selama ini kita pahami betul-betul seperti yang kita pahami? Jangan-jangan perempuan gemuk sama dengan perempuan cantik? Jangan-jangan konsep kecantikan yang selama ini kita sadari adalah kesadaran yang dibentuk oleh sebuah grand desain atau hal-hal semacam itu? Hal ini sama dengan pertanyaan yang menjadi narasi besar puisi Basho tersebut, betulkah sunyi itu sunyi? Betulkah sunyi itu antiketidaksunyian?

Momen Hari Puisi Sedunia yang jatuh di tanggal 21 Maret kemarin sebaiknya kita gunakan untuk meninjau ulang kebenaran yang selama ini kita bangun, dan cara itu adalah dengan membangun kesadaran puitik.

Ditulis oleh Dahri Dahlan, dosen Fakultas Ilmu Budaya



Kolom Komentar

Share this article