Opini

Kamu Enek Karena Corona? Sama, Saya Juga

Opini terkait corona.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Google/Nina

Mungkin dari judul saja, Anda sekalian akan berpikir bahwa saya enek karena pemberitaan Virus Corona as known as Covid-19 yang tak usai-usai. Memang benar tebakan Anda. Ketika saya menulis ini, Indonesia telah mencapai 2.738 kasus, dengan 204 orang yang sembuh dan 221 orang meninggal.

Menyesakkan, toh? Semakin diperburuk dengan ratusan ribu pekerja yang terpaksa mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena pandemi ini. Sampai di sini saja, saya sudah mulas membayangkan betapa sulitnya mereka untuk bertahan hidup (apalagi yang digaji harian) karena kehilangan mata pencaharian.

Tapi ada hal lain yang lebih membuat saya enek. Rupanya, pandemi ini tak juga membawa masyarakat Indonesia lebih erat, saling merangkul, atau setidaknya menaati berbagai imbauan yang telah diserukan pemerintah serta World Health Organization (WHO) untuk mencegah penyebaran virus.

Sebelum saya lanjutkan dan Anda salah paham, ini bukan berarti saya menggeneralisasi semua penduduk +62 berlaku demikian. Saya tahu, dan mungkin dapat Anda lihat sendiri bahwa masih banyak penduduk yang taat peraturan dan saling bahu membahu untuk bertahan dalam situasi seperti ini. Apa yang ingin saya bahas adalah segelintir pihak yang panic at the disco, terlalu santuy dan abai terhadap imbauan selama keadaan ini berlangsung.

Biar saya paparkan untuk Anda. Pertama, drama lockdown. Sebelum Pakde kita tersayang mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, kata lockdown mendadak viral digaungkan masyarakat Indonesia pasca Wuhan, Tiongkok sebagai episentrum wabah melaksanakannya untuk memutus rantai penyebaran.

Entah karena hal ini dirasa ‘pas’ dan patut ‘dipertimbangkan’, beberapa kalangan masyarakat akhirnya mendesak pemerintah pusat untuk segera menyatakan pendapat, yang ujung-ujungnya memang ke arah lockdown.

Namun tentu dong, Pakde enggak bisa begitu saja memutuskan untuk lockdown. Mari kita artikan secara harafiah kata ini. Lockdown sendiri memiliki arti dikunci. Jadi, kalau digunakan dalam situasi seperti ini, lockdown bermakna sebagai penutupan akses masuk maupun keluar suatu daerah yang terdampak.

Sadar atau tidak, saya rasa Anda sekalian paham bahwa keputusan tersebut sangatlah berat untuk diterapkan sebuah negara. Keputusan yang bukan main-main dan tidak bisa dilakukan semudah mengepalkan tangan di ketiak dan menebarkan aromanya di udara.

Nah, rupanya drama ini tidak berakhir sampai di situ. Pemerintah daerah di beberapa wilayah Indonesia rupanya merasa bahwa pemerintah pusat lamban dalam menetapkan regulasi, dan melakukan ‘lockdown’ di daerahnya. Iya, Anda tidak salah lihat. Ini kemudian dinamakan local lockdown oleh mereka. Alasannya tentu sudah bisa ditebak: untuk menghentikan penyebaran virus (yang rupanya juga sedikit berbumbu-bumbu manis, ahay).

Memang sih, mulia sekali maksud dan tujuannya untuk melindungi warga. Cuma, secara hukum ini mendahului pusat sebagai pemegang komando utama. Mungkin saya bisa paham kenapa.

Sebagai warga negara, saya juga pernah kok berpikir dan merasa bahwa pemerintah pusat lamban dalam hal regulasi. Tapi saat genting seperti ini, meskipun lamban, ya mau tidak mau kita harus patuh kepada pemerintah pusat.

Kalau tiap pemimpin daerah mengeluarkan peraturan sendiri, sementara pusat masih menimbang serta memikirkan jalan tengah dengan skenario terburuk, apa nggak bikin masyarakat jadi tambah bingung? Siapa yang mau dipegang omongannya? Jangan sampai blunder sana-sini dan bikin chaos mendadak. Apalagi ketika berbagai negara menerapkan lockdown. Semakin panaslah permintaan ini untuk segera dilaksanakan.

Padahal, masih ada cara lain yang bisa dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang kemudian mengantarkan saya pada poin kedua: skenario social distancing dan physical distancing.

Tak perlu terjemahan lagi, saya yakin dua istilah ini sudah ramah di telinga Anda. Dua istilah ini mengacu pada pembatasan sosial dan fisik yang musti dilakukan selama Covid-19 masih tralala tralili dengan bebas di dunia, termasuk Indonesia.

Makanya, untuk sementara semua kegiatan yang melibatkan keramaian ditiadakan. BUKAN DILIBURKAN, tolong diingat. Dari sekolah, kampus, sampai perkantoran meniadakan pertemuan tatap muka dan melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) secara daring, juga menerapkan kerja dari rumah yang beken disebut Work From Home.

Nyatanya, hal ini memang tak bisa diterapkan pada semua orang dengan keadaan yang berbeda-beda. Sebut saja pedagang, buruh, bahkan ojek online, yang menggantungkan hidup mereka dengan pendapatan harian. Mereka juga dihadapkan pada pilihan PHK sebagai imbas dari menurunnya sektor pendapatan mereka. Tak ada pilihan buat mereka untuk tetap bekerja dan berdoa serta menerapkan protokol kesehatan.

Sudah begini, masih saja ada oknum-oknum budek yang abai dan kurang bersyukur dengan kenikmatan #DiRumahAja yang tak dapat dirasakan beberapa pihak. Contohnya saja kota di mana saya tinggal. Masih terlihat anak-anak motor (amor) mangkal di sudut taman untuk memacu adrenalin dan nyawa orang lain. Untungnya hal ini sudah berkurang lantaran tindak tegas wali kota dalam menerapkan jam malam.

Saat membuka grup Whatsapp keluarga, saya tertarik dengan sebuah video yang dikirim oleh paman saya. Dalam video tersebut, terlihat sekumpulan remaja sedang asyik berkerumun di warung internet (warnet).

Bukan karena mereka tak mendapatkan akses internet yang cukup untuk belajar. Rupanya, mereka sedang taruhan sembari memainkan game online bersama. Ketika beberapa polisi datang untuk sweeping, tak terlihat wajah ketakutan atau cemas. Mereka dengan santainya mengabaikan aparat tersebut, bahkan tertawa ketika polisi tersebut memberi nasihat dan meminta mereka untuk tetap di rumah.

Yang lebih ajaibnya, ketika akhirnya ditarik paksa, ada seorang remaja yang menyahut sambil bercanda. “Di mana corona-nya? Sini kuhadapi!” Jujur, saya ketawa dan sekaligus miris. Bisa-bisanya menantang wabah! Tak tahukah ia, bahwa gubernur kami di sini bahkan mengimbau untuk tetap di rumah karena ‘musuh’nya tak kelihatan?

Sebenarnya, ini mencerminkan betapa tidak meratanya akses informasi serta sosialisasi yang cukup tentang pandemi ini. Kecuali para remaja tersebut memang oknum budek, saya rasa mereka akan berpikir dua kali untuk mengabaikan imbauan social distancing.

Covid-19 masih akan terus ngelunjak apabila kita tidak tegas dalam menaati imbauan maupun protokol kesehatan yang telah ada. Tak usah repot nasihati orang lain atau ngomel-ngomel dengan alasan social distancing dan lainnya apabila kita sendiri masih tak patuh dan tetap kongko-kongko di café atau keluyuran tanpa kepentingan.

Tegaslah pada diri sendiri, ingatkan keluarga dan orang terdekat kita semampunya, terus dukung pemerintah, tenaga medis, dan seluruh pihak-pihak yang berjuang di baris depan untuk melawan pandemi bersama. Saya yakin, kita semua dapat melalui hal ini.


Ditulis oleh Christnina Maharani, mahasiswi Akuntansi, FEB 2017.



Kolom Komentar

Share this article