Opini

Jadilah “Mahasiswa”

Andi Muhammad Akbar, Presiden BEM FISIP UNMUL.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Kampus kini tampak lenggang, tak ada diskusi, bedah buku, nobar film perjuangan atau konsolidasi tentang kondisi negeri. Kampus kini menjalankan rutinitasnya dengan kaku. Kampus kini ramai oleh mereka yang sedang duduk santai untuk sekadar berkutat dengan tugas kuliah dan debat tentang event yang akan dilaksanakan. Tak ada silang pendapat antara mahasiswa dan dosen di dalam kelas, semua bungkam ketika fasilitas tak sesuai, tak ada protes tatkala dosen tak masuk dan tetap mengisi absensi pertemuan, tak ada yang bicara saat uang kuliah mahal. 

Kampus kini kehilangan tajinya. Kini semua tunduk dan patuh atas apa yang terjadi. Kampus tak lagi menyediakan ruang untuk meningkatkan kepekaan sosial dan daya berpikir kritisnya. Tak ada lagi tempat dinamika ide dan gagasan. Hal ini tentunya mengamini apa yang telah ditulis oleh tim editorial Berdikari Online yang meyatakan bahwa, “Kampus sudah meninggalkan peran klasik mereka: sumber atau pusat kritik. Peran kaum intelektual telah bergeser; dari pengkritik kapitalisme menjadi pengusung atau pelayan kapitalisme."

Sepinya suasana kampus dari kegiatan yang menumbuhkan pola berpikir yang kritis juga bukanlah tanpa alasan, corak kampus yang dibangun dari awal melalui pidato–pidato penyambutan mahasiswa baru oleh birokrasi kampus mulai dari jajaran rektorat hingga program studi yang menciptakan ilusi tentang tugas mahasiswa berhasil. Kuliah rajin, IPK tinggi, dan cepat selesai. Mahasiswa masa kini lebih senang terhadap dinamika kepanitiaan dibanding dinamika gagasan dan ide yang dibangun. 

Di kehidupan kampus sekarang kita akan lebih banyak melihat organisasi yang membuat kegiatan bersifat event organizer dan talkshow yang agendanya memakan waktu yang lama. Dalam hal tersebut, mahasiswa tak punya waktu lagi untuk belajar, berdiskusi, membaca, bedah buku ataupun yang lainnya dalam rangka mengembangkan kapasitas berpikir. Tapi waktu yang ada digunakan untuk memikirkan kesuksesan sebuah acara. 

Tak ada perdebatan mengapa kesenjangan ekonomi makin besar, tak ada argumentasi mengapa kemiskinan semakin meningkat, pendidikan semakin mahal, hutang semakin banyak, korupsi merajalela, sumber daya alam dikuasai segelintir orang, tak ada pembicaraan tentang tanah petani yang digusur, terjadi pembungkaman demokrasi, atau upah buruh yang murah. 

Kini hanya ada perdebatan tentang konsep kegiatan yang meriah, apa tema yang akan diangkat, bagaimana dekorasi panggung agar terlihat mewah, siapa pembicara terkenal yang akan diundang atau siapa saja dan berapa tamu yang akan diundang.

Inilah yang menyebabkan kaum intelektual tak lagi menyadari perannya dalam masyarakat, ilmu pengetahuan yang didapat di ruang-ruang kuliah justru menjauhkan dirinya dari realitas masyarakat yang hari ini ada. Ia kini tak meyadari ada banyak problematika bangsa yang harus dianalisis secara radikal dan menentukan keberpihakannya dalam suasana kapitalistik yang menciptakan kemiskinan, kesenjangan dan mengoyak nurani kemanusiaan yang membutuhkan keberpihakan kaum intelektualnya.

Sejarah mahasiswa dari dulu adalah kekuatan pembaharu, pelopor dan pengubah. Hal tersebut tidak hanya ditujukan untuk dirinya tapi juga bagi bangsa dan negaranya. Tugas bersama adalah meyakinkan kepada mereka yang bilang bahwa tugas mahasiswa hanya kuliah, IPK tinggi, dan cepat jadi sarjana. Itu peran yang amat kecil dan sederhana bagi kita yang menyandang status maha. 

Saatnya mengeluarkan ide, gagasan, dan keberanian untuk bersama-sama mengambil jalan baru. Saatnya kita sama-sama memutus rutinitas membosankan ini. Mulailah langkah kecil dengan bergabung dengan organisasi yang ada di sekitarmu dan marahlah ketika organisasi yang kalian masuki hanya terus mengajarkan bagaimana menjadi kepanitiaan yang baik dan suksesi acara seremonial tanpa esensi pengetahuan. 

Belajar, berinteraksi, dan berpetualanglah melihat kondisi di sekitarmu. Ajari ibu dan bapak dosen untuk mendidik dengan benar bukan merasa pintar sendiri, debat jika keliru dan luruskan jikalau salah. Menyerulah, jika ada ketidakadilan yang terjadi. Menuntutlah jikalau itu menjadi hakmu dan tak diberikan. Tantanglah semua yang kamu anggap tidak benar. Beranikan dirimu untuk melawan kebijakan yang tak benar.

Kampus akan jadi saksi perjalananmu. Ingatlah apa yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer seorang peraih nobel yang menggunakan sastra untuk melawan tirani dan menggambarkan penindasan bahwa, “Sejarah dunia adalah sejarahnya anak muda, apabila angkatan muda mati rasa, maka matilah sejarah sebuah bangsa,” atau resapi apa yang pernah ditulis oleh Bung Karno, seorang Proklamator yang sejak muda telah mendedikasikan hidup untuk negerinya bahwa, “Kemerdekaan Bangsa Indonesia bukanlah tujuan akhir dari perjuangan bangsa ini, melainkan kemerdekaan adalah sebuah jembatan emas untuk kemudian di seberang jembatan itu kita membangun suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur, tanpa adanya penindasan manusia atas manusia dan penindasan bangsa atas bangsa." 

Olehnya, kuliah itu tempatnya kaum intelektual. Membaca itu keharusan, diskusi, dan menulis itu wajib. Protes itu wajar, jangan takut. Hidup yang tak dipertaruhkan adalah hidup yang tak layak dijalani. Mari bergandengan tangan agar kekuatan muda yang progresif dan revolusioner seperti apa yang telah ditunjukkan oleh pejuang terdahulu kini hadir dalam setiap diri kita.

Selamat datang Mahasiswa Baru Universitas Mulawarman tahun 2018. Selamat menempuh fase baru dalam hidup kawan-kawan. Gelorakan terus semangat untuk mencintai Indonesia dengan cara berjuang dan mengabdi untuk rakyat.  

Ingatlah bahwa seorang nahkoda yang hebat tidak lahir dari lautan tenang. Hari ini kamulah yang menentukan akan jadi apa dirimu di masa depan.

Ditulis oleh Andi Muhammad Akbar, Presiden BEM FISIP Unmul.



Kolom Komentar

Share this article