Opini

Hilangnya Kesakralan Puisi

Sebuah opini karya Samsir Marangga, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Sastra Indonesia 2015.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: kopikeliling.com

Akhir-akhir ini banyak saya temukan pamflet di dunia maya maupun dunia nyata tentang lomba penulisan puisi atau yang lebih besar lagi tentang pelatihan sastra. Sebenarnya tidak ada masalah dengan lomba dan pelatihan tersebut. Tetapi, yang menjadi masalah adalah juri lomba penulisan puisi dan pembicara pada seminar sastra tersebut bukan “orang sastra”.

“Orang sastra” yang dimaksud adalah minimal kuliah sastra dan lulusan sarjana sastra. Jangan hanya karena orang tersebut menulis puisi yang belum tentu puisi (hanya menurutnya itu puisi) sudah dianggapnya mampu berbicara puisi atau menilai puisi dan orang yang mengelola sebuah perpustakaan bergerak berbicara sastra lalu kalian menganggap dia ahli sastra (puisi).

Sastra, dalam hal ini “puisi” tidak semudah itu, Ferguso.

Kritikus sastra Saut Situmorang, sudah menyingung hal di atas dalam bukunya, “Politik Sastra” dengan mengatakan; 'Di negeri ini yang bukan “orang sastra” tidak merasa aneh ketika membicarakan sastra walau ala pseudo-akademis alias debat kusir. Pembicaraan dan penafsiran yang terjadi pada umumnya sangat tergantung pada kata hati belaka, karena memang begitulah sastra itu dianggap mereka: Sesuatu yang cuma berhubungan dengan “hati”, “perasaan”, bukan ilmu pengetahuan atau sains."

Banyak orang yang mengetahui puisi itu hanya sekadar kata-kata indah dan bait-bait yang memiliki bunyi yang sama. Padahal, puisi lebih dari itu. Puisi bisa berhubungan dengan masalah sosial, lingkungan sekitar, bahkan hal yang berhubungan dengan kegelisahan penyairnya sendiri.

Sebelum memulai menulis sastra, terkadang penulis melakukan riset yang mendalam tentang apa yang akan ditulisnya. Makanya tak heran puisi dipelajari di perguruan tinggi dibawah “Fakultas Sastra” bahkan hampir di seluruh dunia mempelajari sastra yang kini di Indonesia diganti menjadi “Fakultas Ilmu Budaya”.

Puisi tidak boleh ditulis sembarangan, sebab di dalam ilmu pengetahuan sastra sendiri terdapat teori puisi, sejarah puisi dan kritik puisi. Sama halnya dengan Ilmu Hukum, Ekonomi, Kimia, dll. Karena dalam penulisan puisi tidak cukup hanya mengandalkan tulisan yang indah tapi harus memiliki jiwa kesenian yang tinggi, memahami kaidah kebahasaan dan perenungan yang dalam. Sehingga dalam perenungannya, penyair peka terhadap apa yang diindranya mulai dari melihat, mencium, meraba, dan merasa.

Saking menakutkannya puisi, filsuf Plato memiliki konsep lain terhadap puisi sehingga ia memiliki ketakutan dengan puisi. Ada dua alasan kenapa Plato takut terhadap puisi. Alasan pertama, puisi itu sebuah peniruan yang sukses. Kedua, puisi itu sebuah penularan.

Menurut Plato “peniruan” itu merupakan hal yang buruk karena berasal dari sesuatu yang tidak asli. Plato memberikan contoh sebuah ranjang sudah merupakan peniruan dari “gagasan” tentang sebuah ranjang, paradigma ideal yang disalin oleh ranjang yang sesungguhnya walaupun dalam hal peniruan tidak sama persis dengan aslinya. Artinya suatu objek lukisan ketika ditiru atau deskripsinya dalam sebuah puisi akan mengalami pergerakan dua kali dari lukisan aslinya.

Kemudian ketakutan kedua Plato, ia mengatakan puisi itu “menular”. Maksud dari menular di sini, ketika membaca puisi pembaca membayangkan diri mereka sendiri terhadap tokoh puisi yang dibacanya. Hal inilah yang membuat Plato sangat menakuti puisi karena pembaca puisi tidak lagi menjadi diri mereka sendiri.

Oleh sebab itu, puisi merupakan sesuatu yang sakral tidak bisa dinilai oleh mereka yang tidak bergelut di dunia sastra. Bagaimana mungkin kita mampu mendeteksi seekor hewan sedang terkena penyakit sedangkan kita bukan dokter hewan. Seharusnya pertanyaan yang sama terjadi di dunia sastra (puisi).

Ditulis oleh Samsir Marangga, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Sastra Indonesia 2015.



Kolom Komentar

Share this article