Opini

Hijab Itu Memuliakan Wanita

Memperingati International Hijab Solidarity Day.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: Locita.co

Era industri 4.0 tidak dipungkiri menawarkan banyak kemudahan. Jarak dan waktu seakan tidak lagi menjadi masalah yang berarti. Hampir semua keperluan bisa terkoneksi dengan smartphone pribadi. Kebebasan memilih sesuatu dan berbuat sesuatu hampir-hampir tidak ada batasnya lagi. Dari kebebasan menikmati layanan suatu teknologi hingga kebebasan dalam merasakan suatu budaya, semua bisa terjadi.

Berbicara mengenai budaya, Indonesia memiliki ciri khas dengan budaya dan adat istiadat ketimuran. Santun, murah senyum dan sopan dalam berpakaian.

Indonesia adalah negara dengan populasi umat muslim terbesar di dunia. Hampir 80% dari 250 juta jiwa masyarakat Indonesia menganut   agama Islam. Dengan populasi umat muslim yang besar dan adanya budaya ketimuran, seharusnya akan berpengaruh dengan gaya hidup mayoritas penduduk di Indonesia. Namun nyatanya tidak seperti itu. Dewasa ini, terutama di perkotaan, gaya hidup mulai bergeser dari timur ke barat. Hal itu berpengaruh cukup signifikan pada gaya hidup. Mulai dari makanan, hobi, kegiatan sehari-hari, gaya berbicara hingga pakaian.

Kita pahami bahwa pakaian juga merupakan sebuah daya tarik, bukan lagi sekadar penutup tubuh. Pakaian sudah menjadi tren yang wajib diperhatikan. Mulai dari celana, baju, jaket hingga pernak-pernik lainnya. Tetapi perlu diketahui, tidak selalu daya tarik itu membawa ke arah positif. Tidak jarang ada yang gelap mata ketika melihat suatu "keindahan". Salah satu dampak nyata ialah maraknya tindak pelecehan seksual terhadap wanita.

Tercatat, pada tahun 2018 terdapat sekitar 406.178 kasus,  meningkat 14% dari tahun sebelumnya. Dari banyak kasus, muncul beragam spekulasi yang mengatakan bahwa pakaian seorang wanita yang terbuka menjadi penyebab maraknya pelecehan seksual.  Pada Selasa (23/7) lalu, terdapat sebuah topik berita di salah satu laman detik.com yang menampilkan sebuah hasil survei dari Koalisi Ruang Publik Aman mengenai pengaruh pakaian terhadap tingkat terjadinya pelecehan seksual.

Melalui laman tersebut, pakaian yang dikenakan perempuan saat mengalami pelecehan seksual adalah rok panjang dan celana panjang (17,47%), disusul baju lengan panjang (15,82%), baju seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), berhijab pendek/sedang (13,20%), baju lengan pendek (7,72%), baju seragam kantor (4,61%), berhijab panjang (3,68%), rok selutut atau celana selutut (3,02%), dan baju ketat atau celana ketat (1,89%), kemudian yang berhijab dan bercadar juga mengalami pelecehan seksual (0,17%). Bila dijumlah, ada 17% responden berhijab mengalami pelecehan seksual. Ada 19 jenis pakaian yang terpotret di survei ini

Menariknya, pada hasil survei yang disajikan, penulis ingin membuktikan bahwa pakaian tidak berpengaruh terhadap terjadinya pelecehan seksual. Hal ini bisa dilihat dari data yang dipaparkan, bahwa wanita yang berhijab bahkan bercadar pun bisa menjadi korban.

"Selama ini korban pelecehan seksual banyak disalahkan karena dianggap 'mengundang' aksi pelecehan dengan memakai baju seksi atau jalan sendiri di malam hari. Tapi semua anggapan itu bisa dibantah dengan hasil survei ini. Hasil survei ini jelas menunjukkan bahwa perempuan bercadar pun sering dilecehkan, bahkan pada siang hari," kata pendiri perEMPUan, Rika Rosvianti, mewakili Koalisi Ruang Publik Aman.

Secara data, memang tidak bisa dipungkiri bahwa baik yang berpakaian terbuka, biasa-biasa saja atau bahkan yang berpakaian tertutup,  sama-sama memiliki peluang untuk menjadi korban pelecehan seksual.

Namun jika dicermati baik-baik, sebenarnya poin yang bisa diambil ialah persentase pelecehan seksual itu akan berada pada angka yang rendah ketika memakai hijab atau jilbab dan cadar. Ketika kita berbicara mengenai model atau tren hijab/jilbab dan pakaian yang dikenakan si subjek, apakah ia benar-benar tertutup sempurna sesuai ajaran islam atau tidak?  

Hal ini perlu dipertimbangkan, karena tren busana muslim untuk hijab/jilbab dan pakaian muslimah lainnya tentu sangat beragam. Sejalan dengan hal tersebut, poin yang ingin disampaikan adalah tentang pentingnya menutup aurat secara sempurna, sesuai dengan ketentuan agama.

Kesempurnaan dalam berhijab serta menutup aurat merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslimah.  Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh. "Kejahatan terjadi bisa karena terbuka peluang, maka peluang itu harus ditutup semaksimal mungkin," katanya kepada wartawan Selasa (23/7).

Beliau menambahkan dengan sebuah analogi sederhana. Jika dianalogikan, wanita itu memiliki sebuah perhiasan maka tindak kriminalitas pencurian atau penjambretan tidak akan terjadi jika si korban tidak memperlihatkan perhiasan yang dimilikinya di muka umum. Jadi nilai-nilai berbusana yang ada dalam agama harus tetap dipegang. Terkait pelecehan seksual, selain karena niat jahat pelaku, perbuatan tersebut tak bisa dilepaskan dari terbukanya kesempatan di depan pelaku.

Oleh sebab itu dengan maraknya pelecehan seksual yang terjadi, sudah sewajarnya menjadi perhatian bersama khususnya pemerintah. Jangan sampai korban terus berjatuhan. Berbenah di segala aspek tentu menjadi prioritas. Bukan hanya pembatasan konten hiburan. Tapi edukasi dini dari sistem pendidikan negeri ini harus menjadi tameng yang kokoh. Karena akan sangat sulit menilai siapa yang salah ketika ada kesempatan dan ada dorongan untuk melakukan pelecehan.

Momentum 4 September 2019 yang bertepatan dengan International Hijab Solidarity Day atau disingkat IHSD, kami mengajak seluruh elemen masyarakat agar bersama-sama mengampanyekan kebebasan dan pentingnya berhijab. Jangan sampai modernisasi yang mewabah saat ini malah membiaskan fungsi penting dari hijab itu sendiri. Karena sejatinya hijab itu melindungi serta memuliakan, bukan membatasi bahkan mendiskriminasi.

Ditulis oleh Pandu Fazri Harmawan, Ketua Umum LDF An Nuur Fakultas Ekonomi dan Bisnis.



Kolom Komentar

Share this article