Opini

Haornas, Refleksi Kesejahteraan Olahragawan

Peraih medali emas dalam cabang Tolak Peluru Putri, Eki Febri Ekawati pertanyakan honor yang belum terbayar.(Sumber foto: encrypted-tbn1.gstatic.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Perolehan medali yang diboyong Indonesia pada ajang SEA Games 2017 yakni 38 emas, 63 perak, dan 90 perunggu, nampaknya menjadi berita pahit bagi dunia olahraga nasional. Indonesia mengirim 534 atletnya, namun hanya mampu berada di posisi kelima, sama seperti tahun 2015. Buruknya, raihan emas Indonesia di ajang ini paling sedikit, bila dibandingkan capaian sebelumnya.

Mengutip dari merdeka.com, Menteri Pemuda dan Olaharaga (Menpora), Imam Nahrawi mengatakan permohonan maafnya.

"Tentu tidak bisa apalagi panjang lebar. Mohon maaf, kita sudah melakukan upaya langkah besar," kata Menpora, saat menggelar konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (31/8).

Namun lupakan sejenak kabar pahit ini. Kini menyambut Hari Olahraga Nasional (Haornas) ke-34, tahun demi tahun pencapaian prestasi memang selalu berbeda. Indonesia mesti cukup puas dan bersyukur tak berada di bagian paling bawah dalam ajang olahraga dunia.

Permasalahan lain tiap tahunnya adalah kesejahteraan para atlet. Bangga dengan hasil itu pasti, tapi bagaimana nasib para atlet yang telah berjasa ini?

Pengakuan mengejutkan muncul, adapun atlet SEA Games 2017 ini belum menerima gajinya. Peraih medali emas dalam cabang Tolak Peluru Putri, Eki Febri Ekawati mengaku belum dibayar sejak Januari-Agustus lalu. Lebih lanjut, Eki mempertanyakan soal birokrasi di Indonesia.

Nampaknya, kabar kurang mengenakkan ini sampai ke telinga Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi. Imam membalas cuitan sang atlet dengan mengatakan bahwa akan menindak tegas jajarannya yang dinilai tidak becus dalam menangani kesejahteraan para aktor dalam dunia olahraga.

Eki satu contoh atlet masa kini, yang mengeluhkan birokrasi pemerintah dalam mengurusi kesejahteraan atletnya. Ada banyak atlet Indonesia yang berjasa dan perlahan dilupakan kesejahteraannya.

Seperti sindonews.com yang mengulas nama-nama atlet dan nasibnya kini. Salah satunya, Lenni Haeni. Lenni bekerja sebagai buruh cuci dan serabutan usai pensiun. Sebagai atlet Lenni dulu pernah menyabet 20 medali untuk Indonesia. Di antaranya di SEA Games Jakarta 1997, ia menyabet 3 medali emas dan 1 medali perak. Sejak menjadi atlet, pendidikan Leni terbengkalai, meski dulunya sempat dijanjikan kehidupannya dijamin oleh KONI.

Habis manis sepah dibuang? Mungkin begitu kata peribahasa yang tepat bagi birokrasi kini. Sepenggal cerita di atas nampaknya menunjukkan, bahwa usia bukanlah tolok ukur dari suatu keberhasilan. Usia boleh matang, namun di balik itu semua ternyata menyimpan serentetan permasalahan klasik yang ternyata belum berhasil diurai hingga saat ini.

Sudah sepantasnya pihak-pihak terkait mencurahkan perhatian lebih pada sang atlet. Demi menjaga eksistensi dunia olahraga Indonesia. Serta momentum Haornas, dapat dijadikan refleksi. Bukan sekadar perayaan yang hanya setahun sekali. Sebab, prestasi tak akan tercipta, karena kebetulan, ada dorongan yakni jaminan kesejahteraan bagi olahragawan.

Mengingat olahraga merupakan sektor paling digandrungi dan cukup menjanjikan di kancah dunia. Indonesia tak mau bukan, jika jalan di tempat saja? (sut/jdj)



Kolom Komentar

Share this article