Opini

Generasi Pembangun Indonesia 2045

Sebuah opini yang ditulis oleh Nur Ahlina Hanifah, Kepala Departemen Keperempuanan KAMMI Komisariat Unmul.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Meski Hari Anak Nasional (HAN) yang diperingati setiap tanggal 23 Juli telah lewat, namun pemahaman mengapa hari anak ini ada, harus dan perlu diingat. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 yang disahkan pada tanggal 19 Juli 1984. Hari peringatan ini seharusnya tidak berlalu sebagai seremonial belaka, namun perlu adanya gagasan dan eksekusi perbaikan. HAN dibuat sebagai bentuk kepedulian kita terhadap hak dan kebutuhan anak. Anak tidak bisa hanya dipandang sebagai manusia dalam ukuran mini, namun hak dan kebutuhan mereka sangat bervariasi di setiap tumbuh kembangnya.

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990 Bab (1) Pasal (1), anak adalah setiap orang yang berusia sebelum 18 tahun. Anak tidak cukup dikenali berdasarkan definisi di atas, namun perlu pemahaman yang lebih mengenai proses pertumbuhan dan perkembangan mereka. Banyak hal penting dan menarik yang perlu menjadi perhatian dalam proses tersebut.

Perhatian terhadap hak dan kebutuhan anak tidak cukup saat dia sudah lahir, tapi perhatian tersebut juga perlu diberikan sejak mereka masih direncanakan. Bahkan perencanaan ini perlu dilakukan sejak masa pra-nikah, seperti pemenuhan gizi enam bulan sebelum menikah agar ibu memiliki gizi yang cukup untuk menjalani proses kehamilan.

Gizi merupakan hal yang penting. Berdasarkan penelitian dari WHO, kematian bayi 50% disebabkan oleh permasalahan gizi. Saat ini, anak Indonesia mengalami gizi ganda (double burden) yaitu gizi lebih atau obesitas dan gizi kurang. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013,  18,8 % balita di Indonesia mengalami kurang gizi dan 29% mengalami stunting (pendek dan sangat pendek) akibat kekurangan gizi menahun. Sementara, 1,6% balita lainnya mengalami obesitas. Berdasarkan penyampaian Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moeloek, Sp. M., di tahun 2016 angka anak kurang gizi di Kalimantan Timur masih mencapai 19,1%. Angka ini perlu diturunkan mencapai 10%. Permasalahan gizi ini tentunya akan mempengaruhi kondisi fisik dan mental anak di masa depan.

Perencanaan kehamilan yang baik dan pengetahuan yang baik dari orang tua menjadi bekal yang penting dalam proses tumbuh kembang anak. Pasangan suami istri tidak hanya merencanakan waktu kehamilan, tapi juga membuat perencanaan bagi kehidupan calon anak mereka. Seperti pendidikan, kesehatan, gizi, dan hal-hal lainnya yang akan dilalui sang anak setelah dilahirkan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 66 Tahun 2014, tentang Pemantauan Pertumbuhan, Perkembangan, dan Gangguan Tumbuh Kembang Anak menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak yaitu faktor gizi, faktor pelayanan kesehatan, faktor lingkungan baik fisik maupun sosial, dan faktor perilaku. Faktor tersebut perlu dikendalikan sejak anak dilahirkan melalui peran orang tua dan tenaga kesehatan di Puskesmas dan Posyandu. Hal ini bertujuan agar proses tumbuh kembang anak menjadi optimal.

Memasuki usia sekolah, anak memiliki pergaulan yang lebih luas. Tidak hanya di rumah, anak juga mulai aktif berinteraksi di sekolah dan ruang publik. Suasana rumah, sekolah, dan ruang publik harus ramah anak. Namun kenyataannya saat ini, suasana rumah pun tidak layak bagi anak. Seperti yang pernah disampaikan Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Ninik Rahayu, S.H., M.S., Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi kasus kekerasan tertinggi yang dialami anak.

Permasalahan lainnya yang dialami anak di rumah adalah ketidakharmonisan hubungan orang tua. Penelitian dari University of Sussex yang disponsori oleh Departemen Tenaga Kerja Inggris membandingkan kondisi anak yang hidup dalam keluarga harmonis dan tidak harmonis. Orang tua yang sering bertengkar memiliki perilaku yang agresif terhadap anak dan kurang memperhatikan kebutuhannya. Anak yang sering terpapar konflik keluarga dalam jangka waktu yang cukup lama akan tumbuh menjadi orang yang berperilaku agresif dan cenderung kasar. Selain itu, mereka juga memiliki rasa percaya diri yang rendah, mudah depresi, dan cemas. Dalam bidang akademik, anak kurang bisa bersaing dan optimis, sehingga dapat mempengaruhi kesuksesannya di masa depan.

Selain itu, kondisi sekolah dan ruang publik juga sangat memprihatinkan. Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komisi Nasional (Komnas) Anak tahun 2015 mencatat 62% kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah. Selebihnya 38% kasus terjadi di ruang publik. Pelaku-pelaku kekerasan anak bukan hanya orang asing saja, bahkan banyak kasus kekerasan dilakukan oleh orang terdekat mereka. Seperti ayah, guru, paman, tetangga, saudara, dan sebagainya.

Keluarga, guru, dan masyarakat di lingkungan sekitar memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang ramah anak. Anak membutuhkan lingkungan yang kondusif untuk memaksimalkan proses tumbuh kembangnya. Selain itu, peran serta lembaga pemerintahan juga sangat dibutuhkan dalam menentukan kebijakan dan regulasi yang pro terhadap anak. Seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komnas Perlindungan Anak, dan berbagai lembaga perlindungan anak lainnya.

Dengan kerjasama dari berbagai elemen masyarakat, maka cita-cita besar kita untuk membentuk lingkungan ramah anak akan tercipta. Lingkungan ramah anak ini sudah sepatutnya kita perjuangkan bersama. Seperti yang kita pahami bahwa anak adalah wajah masa depan bangsa. Bayi dan balita yang lahir tahun ini, akan menjadi penduduk usia produktif di tahun 2045. Anak usia 7-19 tahun di tahun ini, akan berusia 35-47 di tahun 2045 yang artinya akan menguasai pasar kerja di Indonesia. Jika ingin menciptakan Indonesia emas di usianya yang ke-100, maka sudah sepantasnya bagi kita untuk memperjuangkan pertumbuhan dan perkembangan anak saat ini dengan pantas dan strategis. Hal ini sebagai bagian dari usaha untuk menjayakan Indonesia di tahun 2045.



Ditulis oleh Nur Ahlina Hanifah, Kepala Departemen Keperempuanan KAMMI Komisariat Unmul.



Kolom Komentar

Share this article