Opini

Dilema BPJS Kesehatan, Dilema Kesehatan Indonesia

(sumber foto: nusantaranews.co)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan satu-satunya harapan bagi kebanyakan masyarakat Indonesia untuk merasakan pelayanan kesehatan dengan tidak terbebani ekonomi yang cukup besar. Hadirnya BPJS Kesehatan untuk masyarakat Indonesia merupakan sebuah cara agar dapat berobat dan mendapatkan pelayanan kesehatan dengan baik.

Data terakhir yang didapatkan dari BPJS Kesehatan, peserta yang terdaftar yaitu sebanyak 215.784.340 jiwa. Hal ini tentu membuktikan bahwa masyarakat luas mengandalkan BPJS Kesehatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Bahkan pemerintah Indonesia pun melakukan program Universal Health Coverage 2019, dengan target setidaknya 90% dari keseluruhan masyarakat sudah terdaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan di tahun 2019.

Pelayanan kesehatan tentu merupakan hak bagi rakyat Indonesia. Hal ini sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28 H Ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Maka dari itu, pelayanan kesehatan demi hidup sejahtera lahir batin merupakan hak masyarakat Indonesia yang harus mereka rasakan.

Di tengah-tengah harapan masyarakat kepada BPJS Kesehatan, terdapat Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) agar dapat memperoleh pelayanan kesehatan. Nyatanya hari ini BPJS Kesehatan pun tidak mampu mengatasi permasalahannya sendiri. Hari ini BPJS Kesehatan “dilema” dengan berbagai masalah yang mereka terima.

Salah satu permasalahan tersebut yaitu defisit. Perlu diketahui defisit BPJS Kesehatan di tahun 2018 mencapai lebih dari Rp10 Triliun, data yang didapat dari Rencana Kinerja dan Anggaran Tahunan mencapai Rp16.5 Triliun (Dirut BPJS Kesehatan). Bahkan menteri keuangan pun harus turun tangan untuk menambal defisit tersebut yang dananya diambil dari APBN sebesar 10.1 Triliun Rupiah. (Menteri Keuangan).

Defisit tentu menjadi permasalahan yang belum bisa diselesaikan oleh BPJS Kesehatan yang kemudian dapat berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Salah satu penyebab defisit tersebut ialah terkait kepatuhan peserta BPJS dalam membayar premi. Data yang didapatkan dari BPJS Kesehatan 54% peserta mandiri menunggak iuran.

Penyebab lainnya selain kepatuhan adalah fraud, yaitu kecurangan dalam klaim rumah sakit kepada BPJS Kesehatan. Data dari KPK menyebutkan bahwa ada indikasi kecurangan dalam 175 ribu klaim senilai Rp400-500 miliar pada tahun 2015. Hal ini tentu sangat merugikan BPJS Kesehatan. Di sisi lain pun BPJS Kesehatan masih belum mampu mengatasi permasalahan tersebut agar mengurangi besarnya defisit.

Permasalahan defisit kemudian merambat ke masalah pelayanan kesehatan yang didapatkan oleh peserta BPJS. Dirundung masalah defisit BPJS Kesehatan, menteri kesehatan pun turut dilema. Hingga kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2018 Tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Bayar dalam Program Jaminan Kesehatan. Peraturan ini tidak berlaku bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan peserta yang didaftarkan oleh pemerintah daerah. Namun yang perlu diketahui, BPJS Kesehatan pun masih belum bisa mengatasi masalah ketepatan penerima peserta BPI JKN-KIS PBI, apakah sudah sesuai sasaran atau belum. Selain itu  ketersediaan kamar kelas 3 dan PBI pun masih sangat kurang di kebanyakan rumah sakit. Seharusnya sesuai aturan, yakni menyediakan sebanyak 20% dari total ruangan.

Buruknya kinerja BPJS Kesehatan, dan dilema terkait defisit, hari ini muncul masalah baru terkait pengenaan urun biaya dan selisih bayar. Isi dari peraturan tersebut ialah, setiap kunjungan rawat jalan harus membayar urun biaya sebesar Rp20 ribu untuk rumah sakit kelas A dan B, serta Rp10 ribu untuk rumah sakit Kelas C, D dan Klinik Utama, dan paling tinggi sebesar Rp 350 ribu untuk jumlah kunjungan paling banyak sebesar 20 kali dalam jangka waktu 3 bulan. Untuk rawat inap, peserta akan membayar sebesar 10% dari biaya pelayanan. Urun biaya tersebut dibayarkan setelah peserta mendapatkan pelayanan kesehatan, namun harus disetujui oleh peserta atau keluarganya sebelum mendapatkan pelayanan kesehatan. Dan membayar selisih biaya bagi peserta yang mendapatkan pelayanan diatas dari hak mereka, seperti peserta kelas 3 namun menjadi kelas 2 (Humas BPJS Kesehatan)

Peraturan tersebut tentu berpotensi dapat menimbulkan kecurangan yang baru. Bisa saja pihak fasilitas kesehatan mengaku bahwa pasien harus dirawat inap atau mengklaim kamar kelas yang sesuai dengan hak peserta penuh dan kemudian peserta harus membayar urun atau selisih biaya sesuai peraturan tersebut. Selain itu hal ini tentu sangat membebankan ekonomi masyarakat, karena masyarakat telah membayar premi setiap bulannya, namun ketika ingin mendapatkan pelayanan kesehatan harus membayar urun biaya lagi yang telah ditentukan. Hal tersebut tentu bersinggungan dengan kata “jaminan kesehatan”. Apakah hari ini pemerintah mengorbankan hak masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan hanya untuk mengatasi permasalahan defisit BPJS Kesehatan?

Berbagai masalah di atas yang dialami oleh BPJS Kesehatan tentu menjadi bukti bahwa kesehatan Indonesia hari ini sedang dilema, sekalipun peraturan yang dikeluarkan tersebut belum diberlakukan hadirnya kabar itu dapat membebani pikir masyarakat yang kemudian mengganggu kesehatan mereka.

Maka dari itu BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unmul sebagai garda terdepan dalam setiap permasalahan kesehatan bangsa menawarkan beberapa poin solusi untuk menimbulkan titik terang cahaya kembali, bagi permasalahan BPJS:

1. Untuk mencegah terjadinya tindakan kecurangan klaim rumah sakit (fraud) seharusnya BPJS Kesehatan menggunakan layanan informasi teknologi untuk memberika kesempatan kepada pasien mengecek layanan yang mereka peroleh di fasilitas kesehatan, sehingga pasien dapat melaporkan jika hal tersebut berbeda dengan layanan yang didapatkan oleh pasien. Dan memberikan sanksi denda dengan tegas kepada pihak rumah sakit yang didapati melakukan klaim fiktif.

2. Melakukan pemahaman kepada masyarakat terkait pembayaran premi/iuran dan menindak tegas masyarakat yang tidak patuh dalam membayar premi tersebut. Dan melakukan survei yang bijak terkait pendaftar peserta BPJS JKN-KIS PBI yang masih dinilai belum tepat sasaran.

3. Melakukan penyesuaian besar iuran premi yang harus dibayar oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan BPJS. Jangan hanya karena di tahun politik pemerintah jadi takut untuk menaikan biaya iuran yang kemudian malah menjadi dilema dan mengeluarkan peraturan yang jika diterapkan dapat sangat membebani masyarakat.

4. Memperbaiki fasilitas kesehatan dengan ketersediaan jumlah kamar yaitu dengan cara memperbanyak jumlah kamar untuk peserta kelas 3 dan PBI sesuai peraturan yang telah ditentukan

5. Mengingatkan dengan tegas kepada pemerintah agar berpikir ulang dan bijak terkait peraturan yang baru ini dikeluarkan. Jangan sampai peraturan tersebut ditetapkan dan malah mempersulit masyarakat Indonesia yang ingin mendapatkan hak mereka pelayanan kesehatan sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Poin tersebut kami persembahkan kepada pemerintah dan BPJS Kesehatan, agar dapat mengobati rasa dilema mereka dan berfikir jernih untuk memutuskan kebijakan yang berhubungan dengan nasib kesehatan orang banyak. Mahasiswa akan selalu mengingatkan bagi pemimpin yang sudah mulai melupakan bahwa kami selalu memantau setiap keluarnya sebuah kebijakan.


Ditulis oleh Bayu Rosandy, Gubernur BEM FKM Unmul 2019. 



Kolom Komentar

Share this article