Opini

Dari Produksi Pengetahuan Hingga Kebijakan

Kampus, parlemen, dan pemerintah adalah tiga institusi penting dalam menentukan arah, tujuan, dan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Walpaper Cave

Kampus memproduksi pengetahuan, parlemen memproduksi aturan, pemerintah memproduksi kebijakan. Disadari atau tidak, ketiganya adalah tiga mata rantai menentukan dalam kehidupan di masyarakat.

Kampus, parlemen, dan pemerintah adalah tiga institusi penting dalam menentukan arah, tujuan, dan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ke mana arah kehidupan berbangsa dan bernegara, sedikit banyaknya ditentukan oleh ketiga institusi ini.

Kerja sama ketiga institusi ini sangat menentukan. Produksi pengetahuan, aturan dan kebijakan ditentukan oleh ketiganya. Bahkan, persekongkolan ketiganya pun juga membahayakan. Sebuah kebijakan oleh pemerintah yang ingin diloloskan, bisa saja dibuatkan aturan oleh parlemen dan dibenarkan secara ilmu pengetahuan oleh kampus.

Nantinya, kebijakan akan berbuah kontroversi dan atau bertentangan dengan kemaslahatan orang banyak. Di belakang persoalan, yaang jelas aspek formalnya lolos dulu. Ada "kesepakatan" melalui aturan dan ada "pembenaran" oleh ilmu pengetahuan dari kampus. Sah.

Sebut misalnya, sebuah aturan mengenai pendidikan tinggi. Justifikasi moral filosofis, argumen ilmu pengetahuan hingga menjadi aturan dan mewujud ke kebijakan adalah sebuah perjalanan panjang. Perdebatan di tataran ilmu pengetahuan panjang sekali. Hanya saja, yang menentukan adalah kekuasaan, pemerintah dan parlemen tentunya. Mazhab dan orientasi pengetahuan apa yang ingin dipakai: konservatif, liberal atau kritis? Atau ada kombinasi dari ketiganya?

Dalam konteks ini, produksi pengetahuan tidak boleh tidak dianggap sebagai hal yang politis. Produk pengetahuan yang dihasilkan, terutama yang berkenaan dengan aturan dan kebijakan pada umumnya adalah sepaket. Sebuah kebijakan ekonomi dan pendidikan misalnya, membutuhkan aturan untuk menjalankannya. Sementara itu, sebuah aturan paling tidak membutuhkan backing atau landasan pengetahuan minimal berupa naskah akademik.

Sementara itu, dalam ranah akademik, perdebatan teoritik dan filosofis tak berkesudahan. Lantas filsafat, paradigma, teori dan pendekatan mana yang digunakan pada naskah akademik aturan tersebut? Apakah berupa pesanan dari pembuat aturan atau empunya (calon) kebijakan? Perlu diperiksa baik-baik untuk membuktikannya. Yang jelas, harus dipilih dari sekian banyak pilihan.

Dengan begitu, berarti apakah ilmu pengetahuan bukanlah hal yang netral dan bebas nilai? Memang.

Tak ada ilmu pengetahuan yang bersifat netral dan bebas nilai, sesungguhnya. "Ilmu pengetahuan memiliki kepentingannya sendiri," kata Jurgen Habermas dalam karyanya, Knowledge and Human Interest. Selalu ada kepentingan manusia pada setiap ilmu pengetahuan. Disadari atau tidak, disengaja atau tidak.

Habermas membagi tiga jenis ilmu pengetahuan, berikut kepentingan atau agendanya. Pertama, ilmu-ilmu alam. Kedua, ilmu-ilmu sosial (masyarakat). Ketiga, humaniora atau ilmu-ilmu budaya.

Jenis ilmu pengetahuan pertama bersifat positivis. Jenis kedua bersifat konstruktifis dan yang ketiga bersifat kritis. Kepentingan yang pertama adalah regulatoris, keteraturan. Kepentingan yang kedua adalah agenda eksplanatoris, yaitu menjelaskan konstruksi masyarakat. Lantas yang terakhir adalah agenda emansipatoris, yakni membebaskan keterkungkungan manusia.

Dari ketiga paradigma pengetahuan di atas, maka dapat mencerminkan aturan dan kebijakan yang dihasilkan. Ke mana arah suatu aturan dan kebijakan, dapat dilihat dari paradigma pengetahuan apa yang digunakan. Kepentingan di baliknya dapat dibaca. Untuk mengatur, menjelaskan, atau membebaskan?

Dari uraian Habermas di atas, pahamlah kita bahwa interest atau kepentingan selalu menyertai hadirnya ilmu pengetahuan.

Ilmu-ilmu alam dengan paradigma positivismenya memang dihadirkan untuk menciptakan kepastian dan keteraturan. Sementara itu, ilmu-ilmu sosial dengan paradigma konstruktivismenya tercipta untuk mengurai dan menjelaskan bagaimana sebuah tatanan sosial masyarakat tercipta. Sedangkan, humaniora dengan paradigma kritisnya hadir untuk membebaskan manusia dari keterkekangan.

Keterkekangan manusia dinilai oleh para ilmuwan kritis adalah hasil dari pencerahan yang terlalu menonjolkan positivisme ilmu-ilmu alam di segala bidang pengetahuan. Dengan kata lain, kekangan ilmu pengetahuan yang bersifat saintifik ini adalah hasil dari beroperasinya paradigma dan metode ilmu-ilmu alam atau sains di ranah ilmu sosial dan humaniora. Termasuk pula di bidang ilmu hukum yang menghasilkan aturan dan bidang sosial politik yang menghasilkan kebijakan.

Ditulis oleh Nasrullah, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unmul.



Kolom Komentar

Share this article