Opini

BBM Kembali Naik, Masyarakat Tercekik

Ilustrasi kenaikan harga BBM. (Sumber: liputan6.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Stabilitas harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi instrumen utama dalam kesejahteraan masyarakat. Jika pemerintah salah kaprah dalam mengelola, maka masyarakat akan sulit menggapainya.

Ketika masyarakat sedang tertidur dengan lelapnya, ada pula sebagian yang asyik dalam euforia piala dunia, namun pada saat itulah, gegap gempita suka cita tim andalan yang menang dirusak oleh pemerintah yang kembali menaikkan harga BBM non subsidi secara diam-diam. 

Tepat 1 Juli 2018, pemerintah melalui Pertamina kembali menaikkan harga BBM jenis pertamax. Pemerintah dengan alasan manisnya, beralasan kenaikan ini menyesuaikan kenaikan harga minyak dunia. Tentu, kebijakan ini terkesan diam-diam lantaran dilakukan tanpa terlebih dahulu disampaikan kepada publik.

Sudah 5 kali pemerintah menaikkan BBM secara diam-diam, apakah ini wajar? Jelas tidak wajar.  Dalam kurun waktu 6 bulan yang lalu BBM jenis pertalite mengalami kenaikan yang sangat besar, dan sekarang kembaliharga BBM non subsidi kembali naik yakni pertamax, pertamax turbo, dexlite, dan pertamina dex, yang tentunya sangat memberatkan masyarakat.

Kenaikkan harga BBM ini berlaku di seluruh Indonesia, besaran kenaikkan nya sangat signifikan, dengan rata-rata kenaikan Rp600 per liter, bahkan hingga Rp1000 per liter menyesuaikan dengan provinsi masing-masing. Tentu, kebijakan mekanisme satu harga dan ditambah besaran pajak masing-masing daerah membuat masyarakat terkena imbasnya karena harus merasakan harga yang selalu naik dalam menjalani aktivitasnya.

Kenaikan BBM non subsidi saat ini adalah akibat adanya liberalisasi harga BBM sesuai dengan mekanisme pasar. Liberalisasi ini sesungguhnya tidak cocok dengan landasan konstitusional di negeri ini yang mengatur bahwa minyak dan gas (migas) harus dikuasai negara termasuk penetapan harga BBM yang tidak diserahkan kepada mekanisme pasar. 

Peran Pemerintah seolah menjadi pengikut yang hanya menetapkan dan menyesuaikan mekanisme pasar. Padahal, Indonesia adalah penghasil minyak, tetapi fakta di lapangan pemerintah melakukan liberalisasi migas sehingga "kelatahan" pemerintah mengorbankan kesejahteraan masyarakat.

Kenaikkan ini akan memicu kenaikan harga barang pokok, bahkan dapat memicu terjadinya inflasi. Kenaikan BBM non subsidi ini pun terjadi akibat dari buruknya kondisi makro ekonomi nasional, khususnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang sekarang telah mendekati Rp14.450 per dolar AS.

Kebijakan menaikkan BBM tanpa sosialisasi ini merupakan sebagai bentuk kepanikan presiden Jokowi, dikarenakan pemerintah kesulitan membayar cicilan tagihan utang luar negeri yang telah jatuh tempo. Dengan jumlah utang negara yang sudah mencapai Rp5.425 triliun.

Dan cara mudah pemerintah mencari uang untuk membayar utang yang telah jatuh tempo tersebut salah satunya ialah dengan menaikkan harga BBM tersebut. Pemerintah sudah tidak peduli terhadap kesengsaraan rakyat pada saat ini.

Kondisi saat ini, masyarakat dihadapkan dengan pilihan konsumsi yang cukup berat, karena secara faktual alokasi BBM jenis premium yang semakin terbatas dan BBM non subsidi yang terus merangkak naik.

Kini semua lapisan masyarakat sedang menerima beban yang berat dari kebijakan pemerintah. Dengan kenaikan ini akan mengakibatkan daya beli menurun, ditambah harga barang-barang yang tinggi, dan pengangguran yang semakin meningkat.

Pemerintah secara berkelanjutan terus menyampaikan keberhasilan mengalihkan subsidi energi untuk membangun infrastruktur yang selalu diklaim sebagai belanja produktif. Padahal faktanya pemerintah lempar tanggung jawab pengalihan subsidi energi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke BUMN. Subsidi tetap berjalan atas nama BBM penugasan dan BBM satu harga dengan selisih harga jual yang ditanggung oleh Pertamina. Rapor di APBN terlihat bagus, tapi rapor keuangan Pertamina berbanding terbalik.

Tentu, gelombang kebijakan yang menyusahkan masyarakat sudah tak wajar. Dalam pengelolaan harga minyak seharusnya pemerintah menetapkan formulasi yang tepat dan tidak mengikuti arus kenaikan harga minyak. Dengan adanya kebijakan seperti ini, pemerintah malah memperparah jurang defisit neraca perdagangan dengan tidak diimbangi kondisi daya beli masyarakat yang hanya 23% dalam mengonsumsi pertamax.

Kenaikan harga BBM saat ini menyebabkan dampak lain yang tidak langsung dirasakan oleh masyarakat namun tidak boleh dikesampingkan adalah terancam membengkaknya defisit APBN 2018. Saat ini, defisit APBN dipatok sebesar 2,19% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau kurang lebih Rp353 triliun.

Dalam menanggapi tren kenaikan harga minyak dunia, pemerintah memutuskan untuk tidak menaikan harga BBM bersubsidi serta berencana untuk kembali mengintervensi pembentukan harga BBM non subsidi dengan alasan untuk menjaga daya beli masyarakat dan menjaga tingkat inflasi. Kebijakan tersebut tentunya akan semakin menambah beban Pertamina yang selama ini juga masih menanggung kerugian dari penjualan BBM non subsidi jenis pertalite maupun pertamax.

Rakyat menjerit dengan kondisi ekonomi yang semakin mencekik. Maka dengan ini pemerintah harus kembali menurunkan BBM non subsidi dan memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menyediakan BBM premium.

Di saat semua tim andalan gagal melaju ke babak selanjutnya dalam gelaran piala dunia yang membuat kecewa. Kekecewaan diperparah saat saya berangkat ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) pagi tadi dan bertambah uang saya saat membayar. Ternyata, diam-diam harga pertamax sudah naik dari Rp8.900 menjadi Rp9.700. Saya semakin lemas dan tidak bersemangat kalau kita tahu angka utang luar negeri kita sudah menyentuh angka 356,9 miliar dolar AS, sementara rupiah makin melemah terhadap dolar, artinya utang luar negeri kita semakin besar karena dihitung dengan satuan dollar AS.

Sudah saatnya kita lantang meyuarakan aspirasi dan keluhan masyarakat, Mahasiswa akan selalu menjadi garda terdepan dalam setiap hal yang tidak berpihak terhadap rakyat.

“Sungguh sulit untuk kita mencari alasan mengapa kita harus berjuang, tetapi lebih sulit mencari alasan untuk kita hanya diam ketika rakyat sedang menjerit dan tercekik oleh kebijakan yang tidak berpihak terhadap rakyat.”

Ditulis oleh Muhammad Sukma P, Staf Departemen Advans BEM FEB Unmul.



Kolom Komentar

Share this article