Opini

Antara Hak Sebagai Manusia dan Warga Negara

Opini terkait pemulangan WNI eks ISIS

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Istimewa

Dalih khawatir akan menyebarkan virus terorisme di Indonesia dan mengancam keamanan nasional, presiden Jokowi memutuskan untuk tidak memulangkan Warga Negara Indonesia (WNI) eks anggota/simpatisan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) ke Indonesia. Penyebaran virus radikalisme ini merupakan masalah yang berbeda dengan penyebaran virus korona yang sedang mewabah akhir-akhir ini.

Walaupun belum ditemukan vaksin pencegah penyebaran virus korona, namun wabah ini masih dapat ditangkal dengan budaya hidup dan lingkungan yang sehat. Berbeda halnya dengan penyebaran virus radikalisme yang tidak dapat ditangkal dengan hanya budaya hidup sehat, penyebaran virus ini dapat mewabah secara gerilya melalui berbagai cara yang selanjutnya akan bermuara pada ancaman keamanan nasional.

Polemik penolakan pemulangan WNI eks ISIS ini menuai daya tarik tersendiri, pasalnya persoalan mengenai hal ini merupakan masalah yang kompleks. Di satu sisi negara menjamin rasa aman bagi warga negaranya dengan menghindari masuknya virus radikalisme ke Indonesia, namun di sisi lain hal ini berbenturan dengan hak asasi manusia (HAM) dari mantan kombatan ISIS tersebut. Apakah keamanan nasional merupakan hal yang dapat membatasi atau mengurangi HAM seseorang?

Alasan pembatasan HAM diserahkan kepada negara masing-masing, namun harus tetap konsisten dengan hak-hak asasi lainnya serta tidak boleh menyalahi peraturan yang bersifat internasional. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights/ICCPR) mengatur bahwa tidak ada seorangpun dapat dirampas haknya secara sewenang-wenang untuk memasuki negaranya sendiri. Dari sini timbul pertanyaan, apakah para eks ISIS ini sudah hilang status ke-WNI-annya hingga hak untuk pulang ke Indonesia turut hilang?

Masalah yang akhir-akhir ini panas dibahas dalam media dan tidak kalah panas dari pembicaraan masalah banjir di Jakarta adalah mengenai status kewarganegaraan dari WNI eks ISIS. Viralnya pembakaran paspor oleh WNI kombatan ISIS tidak serta merta menghilangkan status kewarganegraan atau stateless secara yuridis. Indonesia adalah negara hukum, maka semua aspek yang ada di negeri ibu pertiwi ini diatur dalam hukum tak terkecuali mengenai kewarganegaraan. 

Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan PP No. 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, dan Pembatalan Kewarganegaraan. Namun, jika ditilik dari pasal 23 huruf (d) mengenai kehilangan kewarganegaraan, frasa “masuk dalam dinas tentara asing” seakan menyentil alasan hilangnya kewarganegaraan WNI eks ISIS tersebut.

Topik selanjutnya yang penulis rasa sangat membutuhkan perhatian adalah mengenai nasib anak-anak eks ISIS. Di bawah naungan instrumen HAM internasional ICCPR maupun Konvensi Hak Anak (The United Nations Convention on the Rights of The Child/UNCRC), hak-hak anak sangat dilindungi tanpa mengecualikan anak-anak eks ISIS. Di samping itu, Indonesia sendiri memiliki payung hukum bagi perlindungan hak-hak anak yakni UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Dilangsir dari laman KOMPAS.com, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD menjadikan rencana pemulangan anak yatim piatu WNI eks ISIS sebagai kebijakan resmi dengan kualifikasi-kualifikasi tertentu, di antaranya seperti anak-anak usia di bawah 10 tahun dan anak-anak yang tidak terpapar virus terorisme. Mengenai anak-anak yang akan dipulangkan ternyata telah terpapar paham radikalisme, Mahfud MD menjawab bahwa pemerintah akan mengkajinya lebih dalam secara case by case.

Mengingat anak-anak memiliki masa depan yang panjang, secara pribadi penulis berpendapat bahwa setiap anak berhak untuk menikmati masa kecil.

Mengisinya dengan pengetahuan sekaligus pengalaman serta berhak untuk berada di lingkungan yang baik yang nantinya akan mengantarkan mereka pada masa depan cemerlang.

Namun, realita kerap kali menampar asa, di lain sisi pemikiran polos anak sangat mudah untuk diisi dan akan selalu melekat dalam ingatan mereka bahkan membentuk karakter mereka. Bagi anak-anak yang telah terjangkit virus terorisme, apakah dengan proses rehabilitasi, deradikalisasi, hingga mencekoki dengan ramuan berbau Pancasila akan menjamin mereka tidak akan menularkan virus tersebut?

Selama menulis opini ini, sempat tersirat dalam benak penulis bagaimana jika penulis berada dalam posisi korban yang notabenenya sama sekali tidak memiliki niat untuk bergabung dengan ISIS, namun karena terdesak dengan keadaan harus pergi ke Suriah dan dianggap sebagai kombatan ISIS.

Rasa tidak adil dan tidak adanya jaminan keamanan serta dirampasnya hak-hak asasi sebagai manusia akan terus menyiksa. Ditambah dengan penolakan pemulangan ke tanah kelahiran. Adapun jika halnya diizinkan pulang, dapat dipastikan susah untuk kembali diterima masyarakat.

Melalui tulisan ini, penulis tidak bermaksud memengaruhi siapa untuk memihak siapa. Sebagai kaum terpelajar yang dielu-elukan sebagai agent of change, sudah seharusnya kita tidak menutup mata dengan hal-hal yang telah, sedang, dan yang akan terjadi. Penulis harap tulisan ini dapat membuka pintu kepekaan para pembaca untuk lebih peka dan lebih waspada dan bijaksana terhadap hal-hal disekitar dan situasi terkini.

Ditulis oleh, Enggal Triya Amukti mahasiswi Fakultas Hukum 2018



Kolom Komentar

Share this article