Anak Kampung yang Terbuai Keramaian Metropolitan
Ide menghidupkan kembali pedesaan adalah gagasan yang patut dipertimbangkan di era serba pragmatis ini, sebuah opini yang ditulis oleh Alif Bareizy, mahasiswa Fakultas Kedokteran 2013. (Sumber foto: m.merdeka.com)
Namanya Mohammad Sholekan, biasa saya panggil Sholekan saja. Tiba-tiba saya teringat dengan nama itu ketika membaca Cerpen Pilihan Kompas 2013 di fragmen Lelaki Ragi dan Perempuan Santan. Ada suatu bagian, dia lebih memilih mengurus surau di kampung dengan ijazah sarjananya. Lalu menghidupkan kegiatan-kegiatan Karang Taruna. Sekali lagi, di kampung, dengan embel sarjana di belakangnya.
Maka, begitulah namanya menyembul di benak saya. Mengutarakan gagasannya untuk pembangunan dukuhnya di kampung sana. Entah, malaikat bumi mana yang menyampaikan hidayah semulia itu, membangun kampung dengan cara kota. Setidaknya, itulah yang dia sampaikan ke pertemuan terakhir kami di Semarang.
Kawan saya ini, katakalah, pejuang “ide pedesaan” sejati. Kalau ada aksi menginap di depan Gubernuran Jawa Tengah untuk penolakan pabrik semen Rembang, hampir dipastikan dia menemani para demonstran. Dia tidak takut memaki Ganjar Pranowo, Gubernur yang mungkin Anda kagumi karena seringnya terlihat di Mata Najwa itu. Begitu juga saya sering melihat dia bermain-main ke pedesaan untuk melepas penatnya Kota Semarang.
Dengan status mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes), serta jomblo sejati yang melekat padanya, saya tak habis berdecak kagum dengan gagasannya yang tak umum itu. Bahkan demi gagasannya, magang di Humas kampusnya ditinggal karena kedekatan birokrat dengan pabrik semen. Padahal toh saya tahu, kucuran honor magang di sana lumayan melenakan.
“Aku ingin mencalonkan diri jadi kamituwo (baca: kepala dusun dalam sistem pemerintahan Jawa), aku ingin membangun dusunku,” katanya berhenti sebentar, dan demi gagasan itu saya hampir tersedak kopi yang sedang saya teguk, “sarjana bali ndeso (bahasa jawa: sarjana pulang desa).”
Setelah itu, dia menyampaikan ide-idenya tentang desa, utamanya membangun pemuda kampungnya, daripada hanya memodif motor bebek tak jelas jadi lalu jadi tukang trek, atau malah mabuk-mabukan. Dia ingin memberdayakan masyarakat desanya, juga mengembalikan ritual dan adat desa yang sedikit demi sedikit tergerus karena rental PlayStation yang merangsek pedesaan.
Sejujurnya, gagasan untuk menjadi kamituwo adalah suatu hal yang menggelikan, setidaknya beberapa saat sebelum saya sadar bahwa saya sedang khilaf. Sama sekali tidak terpikir buat saya yang kesehariannya hidup di Samarinda (yang sebenarnya juga tidak besar betul dibanding Semarang).
Maka, gagasan Sholekan ini adalah sebuah ilham bagi saya. Tentu jauh lebih gagah dan aplikatif daripada program-program Kuliah Kerja Nyata saya tempo hari, yang hanya beriorientasi pada hasil dan nilai kampus.
Saya terbuai dengan ramai dan macetnya Samarinda. Merasa nyaman dengan kafe, mall, dan tempat hedon lain. Menyamankan diri dengan macet yang tidak jelas sebabnya, juga banjir yang sebabnya tidak bermutu sama sekali. Padahal, sebelumnya saya sembilan belas tahun hidup di Kabupaten Blora, kota paling ujung Jawa Tengah, juga paling “kampungan” mungkin seantero Jawa Tengah.
Bayangkan, bahkan jam sembilan malam pun pusat kota sudah amat sepi. Lalu, hanya karena sempat mencicip Semarang dan sekarang Samarinda saya lupa tentang Blora, lupa bahwa di kampung pun amat banyak celah untuk dibangun. Hanya karena mungkin di kota besar saya lebih bisa berkembang, opsi Blora saya lupakan begitu saja.
Setelah perbincangan itu, tidak lama saya berkunjung ke Blora. Lalu saya berkontemplasi, ternyata saya ini sebegini kurang ajarnya terhadap kampung saya sendiri. Dengan tetangga tidak akrab, hanya karena saya kesulitan mencari topik karena level pendidikan saya lebih tinggi (tetangga saya banyak yang setelah SMP langsung bekerja). Permasalahan kampung hanya sedikit tahu, padahal saya ini calon sarjana.
“Pribumi terpelajar harus membuat yang lain terpelajar juga, harus mampu berbicara dalam bahasa yang dimengerti rakyatnya. Karena setiap yang terjadi di kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berpikir, apalagi mereka yang terpelajar.”
- Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer.
Saya seakan-akan sedang mengkhianati perkataan di atas sejak dalam pikiran. Mengerikan sekali. Kalau betul nanti saya jadi sarjana, yang artinya seorang yang terpelajar, lalu lupa bahwa banyak manusia harus dibangun selain diri saya sendiri, betapa egoisnya saya?
Tahu Budiman Sudjatmiko, yang aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) lalu diculik Orde Baru itu? Sebelum reformasi dia memberdayakan masyarakat di pedesaan, utamanya petani. Karena kegiatannya itu, dia tidak sempat menyelesaikan kuliahnya di UGM, tapi toh akhirnya bisa selesai magister di Cambridge University. Dan setelah jadi wakil rakyat di Senayan sana, berkutat lagi dengan undang undang tentang desa.
Tanpa saya menjadi penggemarnya, saya setuju bahwa ide menghidupkan kembali pedesaan adalah gagasan yang patut dipertimbangkan di era serba pragmatis ini. Saya mengerti betul, manusia kota macam saya tidak bisa selamanya di desa, kembali ke kota untuk menempa diri lagi dengan ilmu adalah suatu keniscayaan.
Setidaknya, ada jeda waktu untuk membangun kampung, utamanya yang berkaitan dengan kualitas manusianya. Lagipula, tidak buruk juga menikmati segala “kelambanan waktu” di kampung, serba santai dan tak buru-buru.
Atau mungkin malah kembali lagi di kampung setelah menempa diri di kota untuk ke sekian kalinya, semenjak harga tanah dan rumah di kampung (masih) murah dan harga komoditas serupa di kota makin biadab saja, bahkan kredit rumah DP nol persen pun terindikasi hanya janji palsu.
Ditulis oleh Alif Bareizy, mahasiswa Fakultas Kedokteran 2013