Opini

16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan: Melawan dengan Sadar

Kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap perempuan. (Sumber foto: sumutpos.co)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Kesengsaraan rakyat di bawah kediktatoran rezim Trujillo di Dominika lebih dari 30 tahun tidak bisa terbendung lagi. Pemerintahan yang menghabisi siapa saja yang menentangnya, rakyat disiksa bahkan dibunuh tanpa alasan yang jelas.

Hal ini lah yang mendorong gerakan perlawanan dari rakyat tertindas, tidak terkecuali dengan keterlibatan kaum perempuan di dalamnya, seperti Patria Marcedez Mirabal, Minerva Mirabal, dan Maria Teresa Mirabal (Mirabal bersaudara).

Perlawanan yang berhadapan langsung dengan kediktatoran Republik Dominika ini pun harus berujung pada kematian Mirabal bersaudara, mereka diculik dan dibunuh tepatnya 25 November 1960. Seperti bara kecil yang dilempar ke dalam gudang jerami kering, kematian Mirabal bersaudara dengan cepat menyulut kemarahan rakyat, semakin besar dan terus meluas.

Akibatnya, rezim Trujillo dipaksa lengser. Kematian Mirabal bersaudara ini telah menjadi simbol perlawanan kaum perempuan yang populer di negeri-negeri Amerika Latin. Kemudian, dalam Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama 1981, untuk pertama kalinya 25 November dideklarasikan sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.

Lebih lanjut, tanggal 25 November juga dipilih sebagai tanggal dimulainya kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) hingga tanggal 10 Desember yang diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.

Kampanye internasional yang berjalan selama 16 hari tersebut, menekankan kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM serta momentum kemanusiaan lainnya. Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991, yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.

Kampanye 16 HAKTP kemudian menjadi momentum bagi seluruh perempuan di dunia yang berani untuk melawan. Namun, hampir keseluruhan kampanye ini hanya memohon kepada negara melalui kebijakannya untuk menjawab persoalan kekerasan seksual yang terjadi.

Kekerasan Seksual dan Pelanggaran HAM di Indonesia

Sejarah berkali-kali menunjukkan betapa kekerasan seksual dan pelanggaran HAM (yang sampai hari ini tidak ada kejelasan penyelesaiannya) justru dilakukan oleh negara. Hingga hari ini, kasus kekerasan seksual dan pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965, di Aceh, di Papua, di Timor Leste, di Jakarta pada Mei 1998 dan di berbagai tempat lainnya. Hingga kematian Marsinah, tidak ada satupun yang bisa diselesaikan oleh negara.

Satu-satunya alasan kenapa persoalan ini begitu sulit untuk diungkapkan, karena pelaku dibalik kejahatan kemanusiaan tersebut memiliki kaitan erat dengan lingkaran kekuasaan negara dan menyeret aparatur keamanan negara. Uniknya di negeri ini, para pelaku kejahatan HAM diberi ruang untuk menduduki jabatan menteri, menjadi ketua partai, bahkan diberi penghargaan HAM.

Benar apa yang dikatakan oleh Widji Thukul, penguasa di negeri ini pandai bermain akrobatik, tubuhnya mampu dilipat-lipat yang akhirnya pantat dan kemaluannya mampu dijilat-jilat. Sudahlah, kebohongan-kebohongan di negeri ini, tidak akan mampu menutupi kepahitan hidup rakyat akibat kebengisan penguasa yang serakah. Kenyataannya adalah, kekerasan seksual dan pelanggaran HAM tersebut hingga kini masih terjadi.

Catatan Akhir Tahun 2016 yang dikeluarkan Komnas Perempuan juga turut menunjukkan beragam bentuk kekerasan seksual yang dialami perempuan di Indonesia.

Di antaranya, pemerkosaan sebanyak 2.399 kasus (72%), pencabulan mencapai 601 kasus (18%), dan pelecehan seksual mencapai 166 kasus (5%). Kekerasan ini juga turut melibatkan orang-orang terdekat seperti keluarga, pasangan dan wilayah privat lainnya.

Biadabnya kasus kekerasan seksual dengan beragam bentuknya tersebut, membuat negara seolah-olah hadir menjadi penjaga moral melalui kebijakannya. Dengan memberi hukuman yang lebih berat bagi si pelaku, seperti kebijakan Perpu kebiri. Tapi karena kebiri juga dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM, kini kembali dengan arahan untuk memaksimalkan hukum yang sudah ada. Di lain hal, terdapat tuntutan pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Seksual serta mempermudah proses pelaporan kasus bagi korban kekerasan seksual.

Sembari semua kebijakan yang membuat negara seolah-olah sebagai tempat untuk menyelesaikan persoalan kekerasan seksual dan pelanggaran HAM, pada saat yang sama negara juga turut menarik subsidi, menurunkan upah buruh, menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourcing, menetapkan PP 78 tentang pengupahan, menaikkan tarif daya listrik, menggusur lahan-lahan petani dan kaum miskin kota atas nama pembangunan untuk kepentingan umum. Akibat dari kebijakan tersebut, justru akan semakin meningkatkan angka kekerasan dalam rumah tangga ataupun kekerasan seksual terhadap mereka yang rentan.

Melawan dengan Sadar

Persoalan kekerasan terhadap perempuan di negeri ini, harus dilihat sebagai satu kesatuan dengan struktur sosial kehidupan manusia hari ini. Hukum-hukum sosial masyarakat menunjukkan hubungan produksi yang saling menindas. Kondisi tersebut akan sejalan dengan interaksi produktif antara manusia dan alam. 

Sederhananya, kita sedang berada pada situasi di mana minoritas orang pemilik modal memiliki kuasa dalam segala aspek mengatur kehidupan mayoritas manusia yang hanya memiliki tenaganya untuk dijual agar bisa makan dan bertahan hidup. Selama sistem yang mengakibatkan kemiskinan ini terjaga, selama itu pula akan tetap ada kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM.

Lalu, bagaimanakah agar kita ikut mengambil peran dalam perubahan sejarah selanjutnya? Jawabannya adalah dengan tidak mengulangi kesalahan sebelumnya. Jika kita masih berharap kepada elit politik dan anggota-anggota dewan perwakilan rakyat hari ini, agar bisa menyelesaikan persoalan kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM, berarti kita memberi ruang bagi rakyat untuk di tipu berkali-kali. Tidak ada perubahan yang didapat dengan menitipkan nasib, perubahan hanya akan lahir atas usaha dan pengorbanan dari mereka yang sadar, yakni kaum perempuan itu sendiri.

Oleh karena itu, kita membutuhkan perempuan yang sadar dengan ketertindasannya. Perjuangan untuk membangun kesadaran perempuan ini bisa dibangun melalui kelompok-kelompok belajar perempuan. Khususnya dari sektor mahasiswa, yang mempunyai waktu belajar lebih banyak dan dekat dengan akses ilmu pengetahuan.

Kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM juga tidak bisa dihapuskan dengan perjuangan sendiri-sendiri. Karena itu, kita membutuhkan gerakan perempuan yang terorganisir, dan menyatukan diri dalam perjuangan sektor tertindas lainnya.

Selamat Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Mari melawan dengan sadar.

Ditulis oleh Hema Malini Situmorang, Anggota Lingkar Studi Kerakyatan.



Kolom Komentar

Share this article