Penyalin Cahaya: Realitas Penyintas Kekerasan Seksual Hari Ini

Penyalin Cahaya: Realitas Penyintas Kekerasan Seksual Hari Ini

Sumber Gambar: Instagram Penyalin Cahaya

SKETSA - Mengangkat kisah tentang penyintas kekerasan seksual, Penyalin Cahaya berhasil mencuri perhatian banyak orang. Film yang tayang di Netflix pada 13 Januari 2022 ini menjadi pembicaraan di media sosial sebab raih 12 nominasi dalam Festival Film Indonesia, serta tayang di ajang internasional, Busan International Film Festival (BIFF). Di sisi lain, keruh pula karena kabar co-writer film Penyalin Cahaya, Henricus Pria, yang menjadi pelaku pelecehan seksual.

Namun, film Penyalin Cahaya yang ditulis oleh Wregas Bhanuteja ini kadung jadi perbincangan hangat, karena memotret realitas masyarakat Indonesia. Berkisah tentang Suryani alias Sur, seorang mahasiswa tahun pertama yang menjadi perancang web di grup teater kampusnya, Mata Hari. Sur harus kehilangan beasiswa dan kepercayaan kedua orang tuanya, akibat swafoto yang tersebar saat Sur sedang mabuk di malam pesta kemenangan Teater Mata Hari.

Segelintir kecurigaan muncul ketika Sur mendapati baju yang dipakainya pagi itu terbalik. Ngotot karena waswas dirinya dilecehkan, ia terus mencari tahu kebenarannya. Meskipun teman teaternya yang lain tak mengimbau sesuatu yang serius dihadapi Sur. Akhirnya, ia mulai meretas ponsel orang lain di kampusnya diam-diam lewat jasa fotokopi teman dekatnya, Amin.

Singkat cerita, Sur melewati salah tuduh atas kasusnya. Diremehkan karena dianggap terlampau ‘heboh’ dalam menanggapi kejadian malam itu. Bahkan, ayahnya juga menganggap Sur hanya anak nakal yang tak menurut orang tua.

Sampai pada satu hari, ia mendapati fakta bahwa jasa transportasi online yang mengantarnya tiba satu jam lebih lama dari yang seharusnya. Ditambah bukti kuat mengarah kepada salah satu seniornya di kampus. Tetapi Sur sebagai penyintas kekerasan seksual malah diragukan suaranya. Sur terkena ancaman pencemaran nama baik.

Film ini mengisahkan perjuangan penyintas kekerasan seksual sebagaimana kenyataan hari ini. Tokoh Sur dalam mencari keadilan hanya ditemani oleh Amin, yang juga tak betul-betul berempati pada Sur. Kisah Sur menggambarkan budaya victim-blaming yang kerap terjadi pada korban pelecehan seksual di tengah dominasi patriarki. Seringkali, masyarakat malah menyalahkan dan menyudutkan korban alih-alih membela dan memberi ruang aman atas pelecehan seksual yang dialami korban. Banyak yang menganggap korban pelecehan seksual hanya bermodal imajinasi sebab tidak memiliki cukup bukti.

Tidak sampai di situ, ketika Sur telah mendapat bukti dan dukungan yang kuat, ia masih harus berhadapan dengan pelaku yang memiliki kuasa lebih besar darinya. Kerap kali korban kekerasan seksual harus menemui kekecewaan karena minim dukungan. Pelaku mampu membalikkan situasi yang ada guna terbebas dari hukuman. 

Akting para pemain film pun patut diacungi jempol. Shenina Cinnamon yang memerankan karakter Sur, mampu membawa para penontonnya untuk ikut merasakan guncangan emosional yang ia alami. Selain itu, pemeran pendukung lain seperti Chicco Kurniawan, Lutesha, Jerome Kurnia, dan Dea Panendra juga berhasil tampil memukau dalam film berdurasi 129 menit ini.  

Berbagai metafora serta simbol semiotika yang hadir, membuat Penyalin Cahaya tampil lebih dramatis. Contohnya saja seperti bingkai tak terucap, yakni scene Medusa yang diangkat dalam pertunjukan teater Mata Hari. Sebagaimana dalam mitologi Yunani, dikisahkan Medusa mengalami pemerkosaan oleh Poseidon, namun malah ia yang mendapat hukuman dari Athena dan dikutuk menjadi monster berambut ular. 

Film ini menyentuh berbagai macam isu berkaitan dengan sexual harassment, victim blaming, power abuse, dan mental health terutama pada laki-laki. Banyaknya pesan-pesan yang tidak dinyatakan secara gamblang, membuat penonton harus fokus dan konsentrasi untuk menangkap pesan-pesan yang ada.

Penyalin Cahaya menggambarkan betapa sulitnya perjuangan penyintas kekerasan seksual dalam meraih keadilan. Sebabnya, film ini berpotensi membangkitkan trauma-trauma para penyintas.

Meski begitu, film ini masih punya kekurangan. Selain bias di mana pelaku kekerasan seksual ikut andil dalam film dengan pesan utama ‘kekerasan seksual’ ini. Bias lainnya yaitu, Wregas Bhanuteja, bagaimanapun tetap laki-laki (male gaze) yang tak punya cukup pandangan terkait dalamnya emosi yang seyogianya dirasakan perempuan. Alih-alih menggambarkan Sur yang takut disetubuhi, Wregas mengabaikan potret emosi ketakutan dari Sur, yang seharusnya bisa merepresentasikan dilematisnya perempuan saat otoritas atas tubuhnya dilewati seseorang. 

Bagaimana, tertarik bersuara bersama Sur dalam Penyalin Cahaya? (kya/rst)