Namaku Alam 1: Konflik Identitas Diri Melawan Bayang-Bayang Tragedi Sejarah Kelam 1965

Namaku Alam 1: Konflik Identitas Diri Melawan Bayang-Bayang Tragedi Sejarah Kelam 1965

Sumber Gambar: Siti/Sketsa

SKETSA – Sejarah ditulis kelompok berkuasa dalam sebuah negara, kalimat yang cocok untuk menggambarkan kondisi pencatatan masa lalu di Indonesia. Karena dalam novel Namaku Alam (2023) bagian satu karya Leila S. Chudori, pembaca diajak sadar akan sisi lain sejarah resmi 30 September yang selama ini dipelajari di sekolah.

Dengan latar belakang di masa Orde Baru (Orba), novel ini menceritakan seorang anak laki-laki bernama Segara Alam yang berasal dari keluarga yang dianggap pemerintah berhubungan dengan gerakan komunis. Sehingga, mau tidak mau keluarganya harus memikul label keluarga Tapol atau tahanan politik.

Alam sendiri sudah disebut dalam novel Pulang (2015) yang juga menceritakan perihal tokoh yang terdampak label eksil politik. 

Baca: Pulang: Gejolak Eksil Politik Pasca Tahun 1965

Dianggap sebagai tokoh yang memberi dampak besar pada kisah Dimas Suryo dan Lintang Utara, sehingga lahirlah Namaku Alam sebagai turunan dari Pulang.

Pada kisahnya sendiri, Alam digambarkan memiliki kemampuan Photographic Memory. Dirinya mampu mengingat apa yang dialaminya dengan sangat detail, bahkan pengalaman-pengalaman traumatis. Dengan alur cerita yang dibawa olehnya sebagai sudut pandang orang pertama, membuat novel dengan tebal 438 halaman itu terkesan rinci dalam menggambarkan setiap bagian cerita.

Alam mengisahkan bagaimana perjuangan dirinya yang harus dicap sebagai anak pengkhianat negara oleh sepupunya sendiri. Dirinya juga mengisahkan cerita orang-orang terdekatnya seperti saat keluarganya, ibu dan kedua kakak perempuannya, harus ditahan untuk dimintai keterangan ke mana bapaknya pergi saat masa-masa penangkapan itu.

Tidak hanya keluarganya, Alam juga turut mengisahkan sahabatnya, Bimo Nugroho–si pelukis andal–dengan pengalaman kelamnya sebagai anak eksil politik. Dan masih banyak lagi tokoh yang berperan mengukir sejarah hidup Alam, seperti Umayani, guru sejarahnya, Trimulya Rahardi, Amelia Andara, hingga Dara Ariani.

Tidak hanya persoalan kisah masa lalu yang berat, dalam novel ini juga Alam bercerita tentang kisah-kisah selama dirinya bersekolah di SMA Putra Nusa. Sekolah dengan standar kurikulum yang sangat jauh berbeda dengan SMA di Indonesia pada umumnya. Ditambah lagi kisah romansa Alam dengan Dara Ariani yang terhalang dengan perbedaan latar belakang keluarga.

Leila S. Chudori membuka mata pembaca terhadap sisi lain yang ada di balik sejarah G30S 1965 yang diketahui rakyat Indonesia selama ini. Kisah yang memperlihatkan bagaimana nasib orang-orang yang dianggap simpatisan PKI oleh pemerintah. Penulis menunjukkan hal yang kerap terlupa yakni bagaimana nasib keluarga simpatisan yang tak bersalah dengan stigma yang harus dipikulnya. 

Melalui Namaku Alam, pembaca diajak melihat sejarah dengan kritis. Tidak hanya melihat dari satu fakta melainkan mencoba menemukan sisi lain yang belum tercatat. Ada yang sudah membacanya? (myy/ner)