Mr. Sunshine: Senjata, Kemenangan, dan Akhir Tragis

Mr. Sunshine: Senjata, Kemenangan, dan Akhir Tragis

Sumber Gambar: Website Pinterest

SKETSA — Mr. Sunshine bak sebuah bunga mawar yang indah nan mewangi, namun menyimpan sekumpulan duri yang menyakitkan. Sebuah serial kolosal megah yang menampilkan sinematografi apik, namun dibalut oleh kisah pilu membiru yang begitu kompleks.

Serial besutan Lee Eung-bok ini berlatar pada awal abad ke-20, ketika Korea yang saat itu masih disebut dengan Joseon adalah negara lemah yang perlahan mulai dibabat oleh kekaisaran Negeri Matahari Terbit. 

Di tengah huru-hara itu, seorang gadis bangsawan sadar akan negaranya yang berada di ambang kehancuran. Go Ae-shin (diperankan oleh Kim Taeri), gadis muda yang merupakan keturunan salah satu bangsawan Joseon itu ingin privilese yang ia miliki bisa menjadi penolong bagi negaranya yang sudah ringkih. 

Ketika rakyat biasa menganggapnya sebagai wanita bangsawan yang kerap mendekam di balik tandu mewah, tak ada yang tahu bawa di dalam tandu itu, ia sembunyikan sosok lain dalam dirinya. 

Kala sang surya sudah terlelap, Ae-shin berkamuflase layaknya pria dengan pakaian serba hitam guna melancarkan aksinya. Lengkap dengan senapan yang ia bopong, dirinya dengan lincah melompati tiap atap bangunan Hanseong. Sebuah hal yang tak akan dipercayai oleh masyarakat ketika melihat tingkah lakunya yang tak lagi anggun.

Agaknya cukup sulit jika harus menjelaskan plot Mr. Sunshine secara singkat, sebab ceritanya begitu kompleks. Setiap tokoh dalam serial ini punya kisah dan latar belakangnya masing-masing. Selain Ae-shin, Eugene Choi (diperankan oleh Lee Byung Hun) juga jadi tokoh sentral dari serial ini. 

Tokoh lainnya seperti Gu Dongmae (diperankan oleh Yoo Yeonseok), Kim Huiseong (diperankan oleh Byun Yohan), dan Kudo Hina (diperankan oleh Kim Minjung) turut memegang peran penting dalam serial ini.

Cerita Mr. Sunshine berpusat pada kisah romansa pelik dari dua tokoh utama, namun, Kim Eun-sook selaku penulis drama ini tak serta merta membuat kisah romansanya hambar. Dengan memasukkan konflik politik antara Korea, Jepang, dan Amerika Serikat ke dalam Mr. Sunshine, hubungan asmara antara Eugene Choi dan Go Ae-shin bukan sekadar percintaan muda mudi pada biasanya. 

Ada sebuah dinding besar yang menghalangi kisah cinta keduanya. Namun, kisah romansa dalam Mr. Sunshine tak hanya berputar pada Ae-shin dan Eugene Choi semata. Akan ada tiga tokoh penting yang mempermainkan hubungan asmara keduanya sehingga menjadi makin rumit.

Ah, omong-omong, agaknya tak cocok jika saya katakan “percintaan muda mudi”, sebab jarak usia keduanya pun cukup jauh. Sejujurnya, melihat dari usia, latar belakang, dan beberapa aspek lainnya, baik Ae-shin maupun Eugene Choi seharusnya tak cocok untuk bersatu. 

Untungnya, berkat tangan ajaib Kim Eun-sook, tak ada yang mustahil bagi keduanya untuk menjalin hubungan, meski harus menghadapi segala tantangan agar dapat terus bersatu.

Kisah romansa itu dibalut pula oleh kehadiran tokoh penting lainnya. Seluruh tokoh dalam serial ini punya kepentingan dan kompas moralnya masing-masing. Mereka memiliki dendam yang ingin dibalaskan dengan caranya sendiri. Pengkhianatan adalah cara terbaik untuk membalaskan luka masa lalu. 

Gun, glory, dan sad ending. Senjata, kemenangan, dan akhir tragis. Tiga kata berbahasa Inggris yang pertama kali Go Ae-shin pelajari. Terdengar cukup bertolak belakang dengan perangainya yang anggun. Namun, tiga kata itu agaknya cukup untuk mendeskripsikan bagaimana serial historikal ini berjalan. Senjata untuk menumpas atau memulai penjajahan, harapan atas kemenangan, serta mereka yang telah atau akan merasakan akhir tragis.

Joseon di dalam cengkeraman tradisi feodal dan patriarki

Sebuah tradisi yang menekankan pada sistem hierarki sosial dalam kehidupan bermasyarakat sejatinya merupakan hal yang lumrah di masa lalu. Namun, alih-alih menciptakan kehidupan yang harmonis, tradisi feodal itu justru hanya melahirkan dendam dan rasa benci.

Go Ae-shin, seorang wanita bangsawan paham betul bahwa dirinya tak bisa menjalin hubungan asmara atau bahkan sekadar berteman dengan bekas budak. Tradisi adalah sebuah dinding besar yang begitu sulit untuk ia panjat, meski dirinya begitu piawai menaklukan dinding bangunan tinggi manapun. Sulit bagi dirinya untuk menerima restu agar dapat menikah dengan Eugene Choi, seorang mantan budak.

Tradisi inilah yang membentuk kisah kelam para tokoh di masa lalu yang kemudian bermuara pada aksi balas dendam. Gu Dongmae, seorang anak dari tukang jagal, penyandang status sosial terendah, bahkan begitu hinanya daripada budak, berevolusi menjadi seorang pemimpin Yakuza dan ahli pedang yang tak kenal ampun atas dasar kebencian akan aturan dari Tanah Airnya.

Memang, ia tak bisa memilih takdirnya untuk dilahirkan dari keluarga mana, namun, ia bisa mengubah nasibnya untuk angkat kaki dari tanah kelahiran dan membalaskan dendamnya. 

Go Ae-shin bukan semata hanya melawan penjajahan atas negaranya, tetapi turut berupaya dalam memutus budaya patriarki yang diwariskan oleh leluhurnya. Meski tak secara terang-terangan, ia kukuh hendak mendobrak tradisi yang telah mengekang dirinya.

Aturan yang kental akan patriarki seperti larangan untuk bersekolah turut Ae-shin alami. Perempuan bangsawan yang bersekolah, terlebih di sekolah untuk rakyat jelata dianggap sebagai aib. Belum lagi soal dirinya yang dituntut untuk selalu tunduk atas keputusan apapun dari orang-orang tua di keluarganya, terkhusus laki-laki. 

Meskipun dirinya mungkin punya privilese yang tak dimiliki semua perempuan berupa izin untuk melakukan pemberontakan—yang itupun dilakukan secara diam-diam, Ae-shin tak sepenuhnya bebas. Ia cenderung tak memiliki kesempatan untuk berpendapat dan harus menurut.

Tak berhenti di situ, budaya patriarki yang membebankan perempuan Joseon untuk melahirkan anak laki-laki sebagai penerus keturunan juga begitu kental terasa. Ironisnya, budaya itu malah dilanggengkan oleh kaum perempuan itu sendiri yang menganggap bahwa  gagal melahirkan seorang anak laki-laki adalah aib. 

Sebuah female gaze dari Kim Eun-sook, penulis perempuan dalam serial ini untuk melahirkan karakter Go Ae-shin. Ia ingin membuktikan bahwa perempuan sejatinya cukup tangguh untuk dapat melawan dan berupaya untuk mendobrak stigma buruk dan tradisi berbau patriarki yang merugikan para perempuan.

Ketika para maestro Mr. Sunshine “memasak” dengan baik

Produksi Mr. Sunshine tak dikerjakan dengan setengah-setengah. Begitu apiknya sinematografi yang diciptakan hingga serial kolosal ini terlihat megah. Menampilkan empat musim di Korea, Mr. Sunshine rela menggelontorkan biaya yang fantastis agar menghasilkan sinematografi yang indah sekelas film layar lebar.

Jika berbicara soal teknis, tak ada satupun aspek yang gagal dalam Mr. Sunshine. Pemilihan scoring maupun lagu latar resmi serta para aktor yang menjadi pilar dalam serial ini tak perlu diragukan. Satu hal yang ingin saya soroti dari kisah romansa antara Go Ae-shin dan Eugene Choi adalah betapa mesranya mereka tanpa adanya adegan intim. Hanya pertemuan yang diselimuti oleh pelukan hangat dan tatapan mata hangat pun sudah bisa menggambarkan rasa cinta tulus dari keduanya.

Plot dari drama ini memang berjalan lambat di episode awal. Harap maklum, sebab jumlah episodenya memang cukup banyak. Mungkin terasa membosankan ketika menonton cerita bagian awalnya, tapi setidaknya tahan dulu rasa bosan itu sampai di episode kelima, sebab konflik sudah mulai terasa memanas, ditambah pula dengan hadirnya tokoh-tokoh baru.

Kim Eun-sook sebagai salah satu maestro dalam serial ini agaknya sudah begitu piawai menjadi penulis drama setelah menuangkan ide-idenya ke dalam drama Korea populer. Inilah yang membuat Mr. Sunshine menjadi salah satu drama Korea dengan kisah yang begitu epik. Sebuah mahakarya yang mungkin akan menaikkan standar kita terhadap drama Korea. 

Bukan sekadar drama romansa manis dengan kisah tragedi yang pilu membiru, Mr. Sunshine juga mampu membangkitkan semangat patriotisme warga Korea berkat kisah sejarah kelam yang tertuang. 

Seluruh protagonis pada akhirnya berjuang dengan caranya masing-masing demi menyelamatkan tanah kelahirannya: Ae-shin dan Eugene dengan pistolnya, Gu Dongmae dengan Katana-nya, Kudo Hina dengan bisnis hotelnya, dan Kim Huiseong dengan tulisannya.

Meski telah dirilis sejak enam tahun silam, tepatnya pada tahun 2018, Mr. Sunshine tetap menjadi salah satu drama Korea yang tak akan lekang oleh waktu, bahkan dapat bersanding dengan drama populer dan legendaris lainnya. Terima kasih atas Kim Eun-sook yang berhasil menuliskan cerita sehebat ini. (dre/mar)