Dilema Tinggalkan KRUS dan Mitra Setia

Dilema Tinggalkan KRUS dan Mitra Setia

SKETSA - Cikal bakal KRUS bermuara dari CV. Kayu Mahakam yang pada tahun 1974, menyerahkan wilayah seluas 300 hektare kepada Unmul. Lantas dijadikan kawasan hutan konservasi, kegiatan penelitian, dan tempat berkumpulnya mahasiswa.  Pada tahun yang sama, kawasan ini diresmikan sebagai hutan pendidikan. Lalu, pada 2001 sebanyak  62 hektare dialihkan sebagai tempat wisata.

Praktis, hal ini membuka peluang kerja. Agus dan istrinya, Retno Wulandari adalah satu dari sekian yang mendapat kesempatan bekerja di sana. Mereka juga disediakan hunian untuk mempermudah tugasnya. Saat itu tahun demi tahun dilewati dan nama KRUS kian dikenal sebagai objek wisata. Setiap lebaran tiba, wisatawan selalu meningkat. Berbagai wahana dan satwa menjadikan KRUS tujuan favorit untuk berlibur.

Saat uang mulai terkumpul, pasangan ini pun mulai memperbaiki huniannya di KRUS, juga membuka warung makan dan berjualan kecil-kecilan. Di sekitar rumahnya ia jadikan kolam pemancingan. Ketika tahun-tahun terbaik itu lewat dan KRUS menjadi sepi, pendapatan yang mereka terima pun ikut turun. Sampai tibalah hari itu, ketika Agus dan Retno menerima surat edaran yang meminta mereka pergi meninggalkan KRUS. Padahal hunian dan usaha pemancingan mereka percantik dari uang jerih payah sendiri.

"Ya mau gimana lagi, memang berat. Soalnya sudah lama, ini juga bangunannya sebagian uang sendiri. Sudah ngomong sama Pak Anto, untungnya ngerti aja sih. Kita minta pelan-pelan sambil nunggu rumah yang kita bangun jadi dulu," kata Retno yang memiliki 5 anak ini.

"Kita enggak mau ngeyel. Nanti kalau gitu, kitanya yang dicap gimana-gimana. Paham aja kan KRUS mau dibaikin, nanti kalau sudah baik kan kita bisa usaha lagi," sambungnya.

Selain Retno, adapula Indah yang juga tinggal di dalam KRUS. Rumahnya dekat dengan kandang-kandang hewan. Tak terlalu besar, namun cukup untuk ia, suami dan anaknya. Ketika Sketsa datang berkunjung, keluarga itu sedang berkemas. Hendak membawa perabotan rumahnya untuk menghuni rumah mereka yang baru jadi. Meski berat meninggalkan KRUS, Indah dan keluarga tak ingin jadi beban.

“Saya sama suami saya pindah, kebetulan suami juga sudah keterima jadi PNS di tempat kerjanya. Kita nurut aja, ini nyicil ngangkutin barang-barang sudah dari kemarin,” kata Indah.

Pekerja dan Gaji Buta

Ariyanto dan Dekan Fahutan Rudianto Amirta, berupaya agar KRUS bisa jadi wisata yang lebih baik. Meski yang dihadapi sekarang ini adalah kenyataan bahwa KRUS dan pengelolaannya tak lagi sehat. Sistem yang pernah diterapkan sebelumnya tak berjalan dengan baik, pun pengawasan akan kinerja pegawai KRUS kurang. Akhirnya, lengah terlalu lama dan berujung KRUS seperti sekarang.

Ariyanto atau akrab disapa Anto bercerita bahwa para pekerja saat itu tak bekerja profesional. Sebagian pekerja pun mengeluhkan teman kerjanya, lantaran malah sibuk dengan usaha pemancingannya.

"Ya mereka (pekerja) ada yang bikin pemancingan di sini. Terus temannya ngeluh, 'kita capek-capek kerja, dia malah sibuk sendiri. Padahal digajinya sama’," ujarnya menirukan.

Selain itu menurutnya, kerja yang dilakukan pun tak maksimal. Seperti dalam perawatan terhadap satwa, kebersihan kandang juga dalam kebersihan KRUS. "Ya itu, ada yang kerja ada yang enggak. Kan kasihan mereka yang kerja," ucapnya saat ditemui 9 April.

Optimis, Bisa Lebih Baik

Perbaikan yang dilangsungkan pun, tak bisa dipastikan akan memakan waktu berapa lama. Sembari berjalan, pihaknya akan menggaet civitas kampusnya untuk membenahi KRUS. Saat Sketsa berkunjung ke KRUS Sabtu lalu, ada dua orang pria sedang membersihkan area musala.

"Iya ini mahasiswa, mereka juga dari LDK Al-Fath. Jadi, saya ngajakin untuk bersih-bersih di sini. Sekalian bantu-bantu ngebenahin KRUS," jelasnya.

Anto, memang kerap mengajak mahasiswanya untuk turun langsung, selain penelitian juga untuk menjaga KRUS. "Bukan dimanfaatkan, tapi kita mengajak mereka juga buat pembelajaran, lagian ini kan tempat mereka untuk praktek, neliti. Kita bangun rasa kepeduliannya lewat itu," imbuhnya.

Anto punya angan tinggi dalam membenahi KRUS. Ia akan mengajak serta mahasiswanya, untuk membangun berbagai hal baru nantinya, seperti taman bunga dan rumah kupu-kupu. "Iya itu nanti mahasiswa neliti, nanti bakal buat seperti itu di sini," katanya.

Melihat keadaan KRUS saat ini, bukan jadi pilihan untuk pesimis. Anto optimis, apalagi dengan dukungan fakultas juga mahasiswanya, KRUS bisa menjadi kebanggaan Samarinda lagi. Ia dan pengelolanya sekarang akan menggaet berbagai mitra demi kemajuan KRUS.

Mitra Setia KRUS

Perihal mitra, ada satu mitra yang setia dengan KRUS. Ialah Edi Purwanto, pemilik sepeda air yang  menancapkan usahanya di sini. Sepeda air yang berjumlah belasan itu, dipesannya dari Jakarta. Ia paham benar, bagaimana warga Samarinda menyukai wahana yang satu ini. Bahkan, tak jarang saking sukanya warga dengan sepeda air, mereka tak sadar bahwa waktu telah habis.

"Dikasih waktu 10 menit, kalaunya habis waktunya dipanggilin nomornya. Ada juga enggak nyadar waktunya habis, jadi saya diemin aja. Biarin, mikir kok aku enggak dipanggil-panggil. Saya diemin aja," celetuknya.

Kadang pengguna sepeda air juga sering menabrak kendaraannya satu sama lain. Tak ayal, itu yang membuat sepeda air bocor dan perlu ditambal.

"Ya mau nggak mau, memang kita mesti pinter benerin sendiri. Enggak ngandelin orang," tambah Edi.

Sebagai mitra yang masih tersisa di KRUS, ia datang tiap hari demi merawat usahanya meski tahu bahwa KRUS sedang tutup. Lagipula, memang sudah kewajibannya menjaga aset miliknya itu. Ia juga ingin menambah wahana nantinya, jika KRUS dibuka kembali. Juga memperbaiki fasilitas yang ada seperti air mancur yang berada di tengah kolam dan outbound. (lel/met/jdj/wal)