Ibumu adalah ibu yang direbut negara
demi kepentingan seremonial di deretan
perayaan hari-hari besarnya
Ibumu adalah hari-hari besar yang kau
sembah selama kau hidup di facebook dan instagram
Ibumu adalah facebook dan instagram yang
tak pernah dimengerti orang-orang di
kampung apalagi dukun yang membantu kelahiranmu
Ibumu adalah kelahiranmu yang kau rayakan dengan
kue tar dan balon warna-warni yang kau beli
di toko-toko bernama asing
Ibumu adalah orang asing yang bersekongkol
dengan kepala desa untuk membakar pohon dan hutanmu
Ibumu adalah pohon dan hutan yang berserakan dan kekeringan,
di atas tanah,
Tempat serigala-serigala pascakolonial mendendang pesta
Ibumu adalah pesta yang kau semarakkan,
di akhir tahun yang menyedihkan di jalan-jalan,
di hotel-hotel, di bar-bar, di langit yang dipanggang kembang api
dan petasan
Ibumu adalah kembang api dan petasan yang meledak
bersama tangis pengemis, di tepi jembatan,
di lampu merah kuning hijau
tak dapat apa-apa karena aturan denda bagi yang
merogoh kantong-kantongnya
Ibumu adalah kantong-kantong berisi tubuh mayat yang membusuk
di sepanjang tanah Palu, tanah Bima, tanah Mamasa
juga tanah lainnya setelah gempa
Ibumu adalah gempa yang meluluhlantakan rumah, sekolah, dan tempat bermain di masa kecilmu yang bahagia
Ibumu adalah masa kecilmu yang bahagia,
yang tak dirasakan anak-anak yang tenggelam di lubang-lubang tambang
batu bara bersama cita-citanya
Ibumu adalah cita-cita yang telah lama kau dengungkan, di atas becak,
di parade agustusan hari itu, menjadi polisi, menjadi guru, dan dokter
Ibumu adalah polisi, guru dan dokter yang tak bisa kau capai sebelum kau tebus dengan seluruh hartamu yang juga kau pinjam di mana-mana.
Ditulis oleh Irwan Syamsir, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. (Disebabkan Saut Situmorang)