Sumber Gambar: Beritajogja.id
"Patung Istana Merdeka Datang Ke Samarinda", demikian unggahan di akun instagram BEM KM Universitas Mulawarman (Unmul) dalam rangka merespon kedatangan Wakil Presiden ke Samarinda, Selasa 2 November 2021 lalu. Kalimat metaforik bernada kritik dan sedikit sarkastik ini, menimbulkan pro dan kontra di tengah publik. Sayangnya, pro dan kontra ini tidak berkaitan sama sekali dengan subtansi kritik BEM KM terhadap Wakil Presiden. Publik justru dominan terlibat dalam pro dan kontra terhadap pilihan diksi "patung istana merdeka" yang digunakan dalam unggahan BEM KM tersebut. Padahal membincangkan "isi", tentu jauh lebih baik daripada meributkan "kulit".
Metafora adalah gaya bahasa tingkat tinggi yang mencerminkan tingkat intelektualitas seseorang. Tak banyak pihak yang mampu sampai pada tingkat kecerdasan demikian, bahkan pejabat negara atau ilmuwan bergelar tinggi sekalipun. Olehnya, membungkam dan berupaya mematikan gaya bahasa metafor berarti berupaya mematikan kecerdasan dan intelektualitas sang empunya metafor.
Adapun sarkasme sendiri serupa dengan kata-kata pedas, cemoohan, atau ejekan yang biasanya dibungkus dengan perumpamaan dan sedikit humor. Dan dalam tradisi kritik, selain satire dan sinisme, sarkasme juga kerap digunakan untuk mengekspresikan rasa kesal dan amarah. Dan dalam kapasitas pejabat publik, sarkasme itu adalah hal yang lumrah. Terlebih terhadap pejabat publik yang cenderung menutup mata dan telinga atas berbagai persoalan rakyat. Yang tidak lumrah adalah, justru pejabat publik yang tipis telinga, anti kritik, bereaksi berlebihan, dan punya kebiasaan menyerang balik para pengkritiknya.
Terkait dengan diksi "patung istana merdeka", mestinya publik memahami konteks dibaliknya. Dan itu sudah dijawab oleh BEM KM Unmul sendiri dalam beberapa kesempatan. Intinya, Wakil Presiden dianggap terkesan lebih berdiam diri dan menghindar dari riuhnya protes publik terhadap kebijakan Pemerintah yang selama ini jauh dari harapan publik. Padahalnya layaknya Presiden, Wakil Presiden juga dipilih langsung oleh rakyat, sehingga memiliki tanggung jawab penuh untuk bertindak memperjuangkan kepentingan rakyat. Jadi mutlak, kalimat metaforik bernada sarkastik "patung istana merdeka" ini adalah kritik kepada Wakil Presiden yang dianggap gagal menjalankan fungsinya, bukan terhadap pribadinya.
Anehnya lagi, pihak kampus Universitas Mulawarman, tempat dimana BEM KM bernaung, justru memberikan respon di luar dugaan. Dalam akun instagram resminya, Unmul menyampaikan release terbuka terkait dengan unggahan BEM KM tersebut. Dari 6 poin isi press release Unmul tersebut, 3 poin ditujukan atau berhubungan langsung dengan BEM KM, yakni menginstruksikan BEM KM untuk menghapus unggahan, meginstruksikan BEM KM untuk meminta maaf kepada Wakil Presiden, masyarakat dan Unmul sendiri, serta segera melakukan tindakan internal untuk mengambil langkah tegas kepada BEM KM.
Ini jelas merupakan bentuk pembatasan kebebasan berpendapat bagi civitas akademik. UNESCO mendefinisikan kebebasan akademik sebagai, "hak atas kebebasan mengajar, kebebasan berdiskusi, kebebasan melakukan penelitian termasuk menyebarluaskan hasil-hasilnya, kebebasan menyatakan pendapat secara terbuka, kebebasan dari sensor institusional, dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam keputusan-keputusan politik, baik di dalam maupun di luar institusi pendidikan. Sikap Unmul secara kelembagaan tersebut, sangat jauh dari prinsip-prinsip kebebasan akademik yang dilindungi oleh konstitusi, khususnya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, ataupun dari apa yang telah ditegaskan secara eksplisit dalam Universal Declaration of Human Rights, ICCPR, dan Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM. Bahkan dalam aturan spesifik sendiri melalui Undang-Undang 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, pihak birokrasi kampus semestinya bertanggung jawab memastikan kebebasan akademik tersebut diperoleh dengan baik oleh setiap civitas akademik, bukan sebaliknya.
Press release Unmul tersebut membuktikan beberapa hal :
Pertama, kampus telah gagap dalam menghargai perbedaan pendapat, dengan seolah ingin menjadi penafsir tunggal terhadap satu peristiwa.
Kedua, pertanda kedangkalan pemahaman kampus tentang makna kebebasan akademik sebagai jantung perguruan tinggi. Tidak akan ada pendidikan, penelitian, dan pengabdian tanpa kebebasan akademik.
Ketiga, masih kuatnya kultur feodal di kampus yang membuat relasi antar civitas menjadi timpang. Dan mahasiswa cenderung menjadi sub-ordinat dari birokrasi.
Keempat, kampus telah terjebak dengan relasi kuasa dengan memberi pembelaan terhadap kekuasaan, namun sebaliknya justru menghakimi mahasiswa. Padahal kampus seharusnya menjadi fungsi kontrol terhadap kekuasaan, bukan sebaliknya.
Kelima, metafora dan sarkasme adalah kritik sosial dengan tingkat intelektualitas dan kecerdasan tinggi terhadap kekuasaan. Oleh karena itu, lumrah dialamatkan kepada pejabat publik. Mematikannya setali tiga uang dengan mematikan intelektualitas dan kecerdasan mahasiswa yang sedang bertumbuh sesuai spirit zamannya.
Sebagai bagian dari keluarga besar Unmul, maka kritik ini harus kami sampaikan sebagai wujud kecintaan kami terhadap Unmul. Kampus harus menjadi contoh yang baik bagaimana cara kita mengelola perbedaan pendapat dengan baik, sekaligus sebagai tempat yang dapat memberikan jaminan terhadap ruang kebebasan akademik, yang tidak hanya bagi civitas akademik, tetapi juga berjuang untuk memastikan kebebasan tersebut diperoleh oleh setiap kepala warga negara, tanpa terkecuali.
Samarinda, 6 November 2021
Kami yang menyepakati rilis bersama ini :
1. Esti Handayani Hardi (FPIK)
2. Sri Murlianti (FISIP)
3. Suryaningsi (FKIP)
4. Diah Rahayu (FISIP)
5. Eka Yusriansyah (FIB)
6. Alfian (FH)
7. Aryo Subroto (FH)
8. Orin Gusta Andini (FH)
9. Purwadi (FEB)
10. Haris Retno (FH)
11. Safarni Husain (FH)
12. Nasrullah (FIB)
13. Nurlia (FISIP)
14. Herdiansyah Hamzah (FH)
15. Dahri D. (FIB)
16. Rina Juwita (FISIP)
CP. Sri Murlianti (+6285229270449).
Rilis Bersama Dosen Unmul sebagai Respon Terhadap Press Release Universitas Mulawarman.