Sumber Gambar: Merdeka.com
Revolusi industri 4.0 sudah menjadi tantangan besar bagi manusia di era automasi saat ini. Banyak pekerjaan bahkan profesi sudah diambil alih oleh teknologi. Hal tersebut menjadi sinyal bahwa jika kita masih tidak peka dan tidak peduli terhadap kondisi sosial politik yang ada di masyarakat, maka kita akan digilas dan ditinggal oleh zaman.
Persoalannya memang banyak sekali variabel yang mempengaruhi kita dalam bertindak. Tapi itu bukan menjadi alasan untuk tidak bersaing dengan kecerdasan buatan. Karena kreativitas dan kemampuan berpikir kritis menjadi modal utama manusia di masa depan. Bukan lagi tentang nilai dan angka yang tertera di ijazah.
Di Indonesia, penggunaan teknologi dan internet tidak diimbangi dengan kemampuan bersikap kritis masyarakatnya. Hal ini membuat kita dengan gampangnya termakan berita bohong. Belum lagi di tahun 2030 Indonesia akan mengalami bonus demografi, yang di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibanding usia tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Oleh karena itu, menjadikan sumber daya manusia memegang peranan penting dalam kemajuan bangsa.
DPR RI secara resmi menyetujui 248 RUU (Rancangan Undang Undang) yang masuk dalam PROLEGNAS (Program Legislasi Nasional) tahun 2020-2024. Sebanyak 50 RUU masuk dalam PROGLEGNAS prioritas tahun 2020, salah satunya RUU tentang Profesi Psikologi.
Penulis yang sedang menempuh pendidikan S1 Psikologi di Universitas Mulawarman ini sangat prihatin dengan keprofesian psikologi, karena sampai saat ini RUU Keprofesian Psikologi masih sebatas rancangan saja.
Sedangkan kalau kita lihat secara historis, RUU ini sudah dirancang sejak tahun 2007 oleh HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) yang kemudian Draft RUU dan Naskah Akademiknya disiapkan oleh DPR. Artinya, jarak waktu pada tahun 2007-2020 atau 13 tahun UU Keprofesian Psikologi ini hanya sebatas rancangan saja. Hal ini menjadi bukti ketidakseriusan HIMPSI dan DPR menangani hal ini.
Kenapa RUU Keprofesian Psikologi harus segera disahkan?
Saat ini, banyak oknum yang keilmuan mereka bukan psikolog maupun sarjana psikologi melanggar kode etik psikologi. Contohnya penyalahgunaan alat psikotes, soal psikotes yang disebarluaskan padahal merupakan dokumen rahasia negara, dan analisis psikologi serta penanganan tak berdasarkan keilmuan psikologi yang diberikan kepada klien. Mungkin masih banyak lagi yang kita tidak tahu.
Oleh karena itu, penting adanya UU yang mengatur tentang Keprofesian Psikologi secara menyeluruh sebagai payung hukum dan sebagai bentuk legitimasi profesi psikolog di mata hukum, sehingga tidak ada lagi psikolog yang mengeluhkan contoh di atas.
Akan sangat disayangkan jika kita masa bodoh terhadap hal ini. Sebab akan berdampak terhadap masa depan kita dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi atau era revolusi industri 4.0. Sudah menjadi tugas kita bersama yaitu psikolog, sarjana psikologi, dan mahasiswa psikologi untuk mengawal dan memperjuangkan RUU tentang Profesi Psikologi untuk segera disahkan menjadi UU di DPR.
Ditulis oleh Ikzan Nopardi, Mahasiswa Psikologi, FISIP 2018.